Proyek Masih Tambal Sulam

Sumber:Kompas - 03 Januari 2011
Kategori:Banjir di Jakarta

Jakarta bisa bebas banjir. Di atas kertas, dalam sebuah rangkuman percakapan secara terpisah dengan para praktisi, itu bukan mimpi. Yang membuatnya tetap menggantung sebagai mimpi, ya, pemerintah sendiri karena tumpang-tindih pekerjaan antarinstansi pusat dan daerah.

Percakapan secara terpisah itu berlangsung di antara Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Ery Basworo, Kepala Bagian Tata Usaha Departemen PU Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung- Cisadane Mansye Nahumury, Pejabat Pembuat Komitmen Banjir Kanal Timur (BKT) Parno, dan Kepala Suku Dinas PU Tata Air Heryanto, pertengahan Desember lalu.

Inti percakapan yang berlangsung pada pertengahan Desember tahun lalu itu adalah membangun sistem saluran air yang lancar, baik air dari limbah rumah tangga, industri, air hujan, kiriman dari hulu tidak tertahan permukaan yang rata, maupun ketimpangan antara debit air dan kapasitas saluran.

Sistem pembuangan air berawal dari saluran kecil di kawasan pemukiman yang tersambung ke saluran penghubung, yang selanjutnya tersambung ke kali terus ke kanal. Setiap saluran kecil, saluran penghubung, hingga banjir kanal idealnya memiliki bibir di kiri kanan yang tersambung dengan turap.

Menurut Heryanto, lebar dan kekuatan konstruksi bibir harus disesuaikan dengan besar kecilnya saluran air yang diapit agar memberi ruang untuk membersihkan saluran dari sampah.

Bibir kiri-kanan untuk saluran air kecil dibuat sederhana, sedangkan bibir saluran penghubung mulai dibuat dengan konstruksi yang lebih kuat. Selain itu, di tepian saluran kali dibangun site pile atau turap dan tanggul (pagar tembok di tepian kali) beton.

Pembangunan turap di Jakarta, kata Ery Basworo, wajib karena untuk menahan derasnya air dan tanah yang amblas karena pembangunan gedung-gedung bertingkat di Jakarta, pengambilan air tanah, serta beban kendaraan bermotor.

Pembangunan tanggul kali pun, kata Mansye dan Parno, wajib hukumnya. Tanggul dibuat untuk mencegah luberan air. Menurut mereka, sebagian banjir di Jakarta disebabkan karena arus air meluap ke jalanan sebelum sampai banjir kanal. ”Banjir kanalnya belum penuh, tetapi kotanya banjir,” ucap Parno.

Pada banjir kanal, kata Parno, selain dibangun trotoar dan jalan raya yang mengapit, juga dibangun taman di sepanjang banjir kanal sebagai kawasan resapan air. Hal ini untuk mengantisipasi okupasi lahan oleh para pemukim liar ataupun para pedagang kaki lima. Jalan itu sendiri, kata Heryanto, disiapkan untuk kepentingan darurat parkir kendaraan pemadam kebakaran.

Begitulah idealnya sistem jaringan air pembuangan dibangun. Setiap jaringan dibangun sesuai dengan kapasitasnya, kata Heryanto.

Menurut Ery Basworo, arus air kadang terhambat oleh permukaan yang tinggi di hilir. Untuk mengatasi hal itu, dibangunlah pompa-pompa air atau perbaikan saluran air kotor sehingga ketinggian jaringan saluran air dari hulu ke hilir berangsur merendah hingga laut.

Koordinasi lemah

Nah, beres bukan? Tak akan ada lagi banjir di Jakarta. Akan tetapi, ternyata tidak mudah mewujudkan hal itu karena tidak ada kerja sama antarinstansi pusat dan daerah. Hingga sekarang, misalnya, belum ada kerja sama yang baik antara Jakarta, Pusat, dan kawasan penyangga dalam proyek pemulihan jaringan saluran air dari hulu hingga hilir Kali Ciliwung, dengan meremajakan Bendungan Katulampa dan menurap, membangun taman, serta trotoar Kali Ciliwung.

Padahal, menurut Ery Basworo, pemulihan kondisi bendungan dan Kali Ciliwung penting untuk meredam banjir kiriman dari Bogor, Jawa Barat. ”Maunya begitu, tetapi itu, kan, wewenang Pusat,” ucapnya.

Kesulitan lain adalah lambannya pekerjaan karena keputusan elite yang tersandera birokrasi. Contoh, pengerukan 13 kali utama di Jakarta belum bisa dilakukan karena masih menunggu peraturan presiden. Padahal, pengerukan diperlukan untuk meningkatkan daya tampung sungai.

Begitu aturan sudah siap, muncul persoalan lain, yakni praktik calo tanah dan korupsi. Akibatnya, pekerjaan di lapangan menjadi lamban. Saat pekerjaan baru berjalan sebagian, dananya habis. Proyek pun terhenti dan menunggu alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berikutnya. Akibatnya, penanganan banjir dari hulu hingga hilir dilakukan secara tambal sulam. Banjir di Jakarta pun tetap saja sulit diatasi.  Windoro Adi



Post Date : 03 Januari 2011