Punggung Berkeringat di Atas Tanah Retak

Sumber:Buletin Cipta Karya - 01 April 2008
Kategori:Air Minum

Ada yang ganjil dari Desa Blado, Kec. Juwangi, Kab. Boyolali. Jumlah kaum laki-laki di desa tersebut hampir nihil pada musim kemarau. Mereka melancong ke kota-kota terdekat untuk mencari alternatif nafkah keluarga. Hal itu disebabkan karena saat kemarau, air menjadi barang langka di desa itu. Pekerjaan utama mereka di ladang dan sawah ditinggalkan sementara karena langkanya air.

Praktis hanya ibu-ibu dan remaja puteri dan anak-anak yang tinggal di desa itu. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka mengandalkan satu-satunya sumber dari Sungai Kangkung yang kering kerontang. Lima desa di Kecamatan Juwangi dilintasi sungai ini, sehingga mereka menggantungkan kebutuhan air bersih pada sungai ini jika sumur mereka juga mengering. Sebetulnya di Kecamatan Juwangi sudah terlayani air perpipaan dari PDAM, namun karena jarak antar desa sangat jauh, maka jika boleh memilih, PDAM lebih memilih untuk angkat tangan.

Secara geografis, Desa Blado dan desa sekitarnya berada di dataran tinggi. Padahal kecamatan sebelah utara Kabupaten Boyolali tersebut terbilang dekat dengan Waduk Kedungombo. Namun karena faktor gravitasi, air dari waduk tak bisa mengalir ke kecamatan itu. Tak heran, air hujan pun tak betah lama-lama di tempat mereka karena kurangnya penampungan dan penyerapan.

Terpaksa Mbok Giyem dan tetanggatetangganya harus berjalan jauh untuk menemukan sisa-sisa air di Sungai Kangkung yang kerontang. Punggung berkeringat di atas tanah yang retak, tak salah untuk menyebut fenomena perjuangan Mbok Giyem dan warga lainnya dalam mendapatkan air bersih.

Lantaran langkanya air juga tak jarang menyebabkan ketegangan di tengah masyarakat sendiri. Bagi mereka yang ingin memanfaatkan air sungai yang sangat terbatas untuk menyiram tanaman, maka warga yang lain akan melarang. Dari kondisi tersebut bahkan saling menguatkan solidaritas di antara mereka.

Tak semua memiliki ketahanan hidup di daerah sulit air seperti Mbok Giyem. Menurut pengakuannya, beberapa teman dan tetangganya memilih pindah ke desa lain yang lebih baik. "Kenapa kalian mau pindah? Buktinya saya saja masih bisa hidup, tidak mati kehausan. Jika teman kita masih banyak yang hidup kenapa takut kehausan?," Tanya Mbok Giyem pada tetangganya yang berniat pindah.

Cerita di atas adalah sepenggal kisah dari film pemenang pertama Kompetisi Film Dokumenter berjudul Punggung Berkeringat di Atas Tanah Retak yang disutradarai oleh M. Toha Nuhson Hajji. Sebagai pemenang kedua diduduki film berjudul Sang Pawang Air karya Bowo Leksono, dan pemenang ketiga adalah Badai (Berharap Air di Atas Air) karya Onny Kresnawan.

Kompetisi film dokumenter diprakarsai oleh Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Indonesia (Forkami) dalam rangka peringatan Hari Air Dunia 2008. Forkami bekerja sama dengan Water and Sanitation Network, Thames PAM Jaya (TPJ), Environmental Service Program United States Agency for International Development (ESP USAID), dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).

Menurut Ketua Forkami, kompetisi filim ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat dan pihak-pihak lainnya akan realita mengenai eksistensi air di Indonesia serta hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia. Sajian kondisi nyata tentang eksistensi air dan hubungannya dengan perilaku dan eksistensi manusia di sekitarnya diraskan sangat penting dalam membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam segala bentuk upaya konservasi air. (Bcr)



Post Date : 01 April 2008