REDD: Solusi atau Beban?

Sumber:Koran Tempo - 07 Desember 2007
Kategori:Climate
Program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)--pengurangan emisi karena penggunaan hutan--akan diusung pemerintah Indonesia pada Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 di Bali sebagai sarana untuk menstabilkan iklim dunia. REDD sangat penting artinya karena menyangkut "survival" dunia beserta seluruh isinya.

Dampak negatif terkait dengan perubahan iklim terjadi di berbagai belahan bumi. Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Bangladesh, Filipina, Vietnam, dan negara-negara di Amerika Tengah dan menelan korban ribuan jiwa diklaim berkaitan langsung dengan perubahan iklim. Sebagian dari negara-negara kepulauan seperti Fiji dan Maladewa dilaporkan tenggelam bila permukaan air laut meninggi. Sejumlah ahli melaporkan peningkatan jumlah kematian sekitar 50 persen untuk setiap dekade sejak 1950-an dan kerugian ekonomi sebesar 14 kali lipat dibanding 1950-an, yaitu sekitar US$ 50-100 miliar.

Di Indonesia, kegagalan panen meningkat tiga kali lipat dalam periode 1991-2000 dibanding 1981-1990 sebagai akibat dari kemarau panjang, merebaknya hama dan penyakit, dan pergeseran musim. Dari 2001 hingga 2004 tercatat 530 kejadian banjir. Sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang banyak menggantungkan hidupnya pada alam, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Petani semakin sulit menentukan waktu yang tepat untuk bercocok tanam. Nelayan pesisir harus menghadapi cuaca yang tidak menentu, gelombang tinggi, dan tempat tinggal mereka terancam tenggelam bila terjadi kenaikan permukaan air laut.

Tingginya konsentrasi gas karbon di atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global, dan penanganannya perlu dilakukan dengan segera. Bila tidak, IUCN memperkirakan pada 2050 korban jiwa akibat bencana iklim bisa mencapai 100 ribu orang per tahun dan kerugian ekonomi dunia dapat mencapai US$ 300 miliar per tahun. Dampak negatif perubahan iklim akan dirasakan berbeda bagi negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang akan membayar kerugian lebih tinggi dan beban yang ditanggung semakin berat, karena belum mempunyai teknologi yang memadai untuk mengatasi dan beradaptasi dengan berbagai perubahan.

Hutan diyakini mempunyai kemampuan menyerap karbon dan menstabilkan iklim. Karena itu, pencegahan terhadap deforestasi dan perusakan hutan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh. Hingga saat ini belum ada mekanisme insentif atau kompensasi terhadap upaya pencegahan deforestasi dan degradasi di bawah UNFCCC. REDD akan diusulkan sebagai mekanisme insentif bagi pemerintah dan masyarakat yang berkomitmen terhadap pengurangan gas rumah kaca pasca-Protokol Kyoto tahun 2012. Dalam COP ke-13 di Bali nanti, Indonesia akan mencari dukungan agar mekanisme insentif untuk mengatasi peningkatan suhu global dan aplikasinya setelah protokol Kyoto berakhir mendapat pengesahan internasional. Dari skema ini, diperkirakan sekitar US$ 2 miliar per tahun (13,33 persen) potensi pasar REDD dapat diserap Indonesia untuk mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Tentunya dana yang besar ini akan meminta tanggung jawab serius.

Terkonsentrasi pada hutan

Terlepas dari perdebatan tentang besaran emisi karbon yang dikeluarkan, di peringkat dunia Indonesia tergolong penghasil emisi karbon yang besar. Data yang dirilis oleh PEACE (2007) menunjukkan bahwa sekitar 2563 Mt CO2e (85 persen) gas rumah kaca yang dilepas Indonesia berasal dari sektor kehutanan. Diperkirakan emisi CO2 ini berasal dari deforestasi dan degradasi hutan serta pengeringan/kebakaran gambut yang sebagiannya ditujukan untuk program pembangunan nasional dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat setempat yang minim perekonomiannya. Sangat disayangkan bahwa banyaknya karbon yang teremisi tidak sebanding dengan besarnya peningkatan pendapatan negara, perbaikan kehidupan masyarakat, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, serta besarnya biaya perbaikan lingkungan.

Solusi atau beban

Meski REDD bertujuan mulia, ada kekhawatiran atas sikap negara-negara terhadap insentif ini, antara lain negara berkembang menolak insentif REDD selama negara-negara maju tetap mengeluarkan emisi karbon yang tinggi, atau ikut menentukan arah pengelolaan hutan. Kondisi ini menyangkut harga diri dan kedaulatan bangsa; negara maju seharusnya memberi insentif karena keterbatasan opsi yang dimiliki negara berkembang untuk membangun negara selain dengan "memanfaatkan" hutan, dan mereka harus menerima risiko serta beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh negara maju; negara berkembang dan negara maju berbagi peran dalam mengatasi pengurangan emisi karbon, di mana negara maju memberi insentif REDD dan negara penerima (insentif REDD) sepenuhnya menentukan kegiatan yang akan dilakukan dalam upaya pengurangan emisi karbon.

Menarik untuk dilihat bagaimana negara-negara maju dan berkembang akan menyikapi insentif tersebut pada COP ke-13 di Bali. Dulu Australia bersama Amerika tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto, kini di bawah Perdana Menteri baru, Kevin Rudd, memberikan komitmen lisan untuk mendukung program REDD. Tampaknya, dalam mengatasi perubahan iklim sikap yang paling bijaksana dari semua negara bukan pada adu kekuatan dan saling menyalahkan, tetapi pada kesadaran bersama untuk berbagi peran dan tanggung jawab sesuai dengan potensi yang mereka miliki.

Kesiapan Indonesia

Indonesia memiliki hutan yang amat berperan dalam penyerapan CO2, tapi pengelolaannya masih melepas banyak karbon hingga menempatkan negara ini sebagai penghasil emisi karbon tinggi. Mau tidak mau Indonesia harus mempertahankan sisa hutannya dan mencegah terjadinya lebih banyak deforestasi dan degradasi hutan, serta melakukan penanaman untuk perbaikan lingkungan.

Pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer memerlukan waktu cukup panjang, sementara penanganannya melibatkan masyarakat kecil yang berkutat dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak paham tentang perubahan iklim yang melanda kehidupannya, tapi harus ikut berperan di dalamnya. Menarik untuk dicermati bagaimana masyarakat kecil yang mestinya dilindungi kepentingannya harus turut serta mengatasi perubahan iklim.

Perubahan iklim sudah terjadi. Masyarakat luas perlu memahami permasalahan yang ada dan perlu dipersiapkan dalam menghadapi segala konsekuensi dari "kemungkinan" disetujuinya REDD. Kesepakatan ini akan mengikat pemerintah dan masyarakat serta mempengaruhi pola pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.

Meski berbagai persiapan telah dilakukan, banyak pihak yang mempertanyakan siapa yang akan mendapat insentif REDD, bentuk insentif tersebut, dan mekanisme penyalurannya. Apakah masyarakat desa yang mengelola hutan rakyatnya dan mempraktekkan sistem agroforestry di lahan pekarangan dan ladangnya bisa mendapatkannya? Dengan insentif REDD, mampukah pemerintah mengajak peladang berpindah yang mempraktekkan tebang bakar mengubah pola budi dayanya? Demikian pula halnya dengan para pengusaha kelapa sawit dan industri pulp, dapatkah bentuk insentif REDD yang ditawarkan menjadikan mereka bersedia melakukan pengelolaan lahan yang ramah lingkungan?

Pengalaman menunjukkan berbagai proyek/program pembangunan sebelumnya terkendala dengan praktek korupsi, peraturan yang dinilai kurang mendukung, sistem monitoring dan pelaporan yang lemah, resistansi sebagian pihak, dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan banyak pihak menyangsikan bahwa insentif REDD dapat terimplementasi dengan baik di lapangan. Dipertanyakan juga bagaimana insentif ini dapat menjadikan berbagai pihak tertarik memperbaiki kualitas hutan dan bukan sebaliknya.

Kekhawatiran-kekhawatiran di atas perlu ditanggapi serius. Selayaknya permasalahan ini menjadi tanggung jawab bersama dan menjadikan insentif REDD sebagai sarana untuk perbaikan kualitas kehidupan manusia. Hal ini akan sangat bergantung pada sikap semua pihak untuk mengesampingkan ego sektoral mereka demi kepentingan bersama. Terlepas dari berhasil-tidaknya REDD, sudah selayaknya Indonesia menjaga sumber daya alamnya untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.

Niken Sakuntaladewi, spesialis masalah sosial kehutanan Litbang Departemen Kehutanan. Artikel ini ditulis bersama Gamma Galudra, spesialis masalah kehutanan World Agroforestry Center; dan Endri Martini, spesialis agroforestry pepohonan World Agroforestry Center.



Post Date : 07 Desember 2007