Rehabilitasi Gambut Prioritas REDD-Plus

Sumber:Kompas - 25 Mei 2010
Kategori:Lingkungan

Jakarta, Kompas - Rehabilitasi lahan gambut menjadi prioritas implementasi bantuan pendanaan negara maju untuk program pengurangan emisi dari sektor kehutanan di Indonesia. Norwegia adalah salah satu negara maju yang ingin merealisasikan bantuan ke Indonesia melalui program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation.

”Norwegia akan membantu Indonesia untuk pendanaan REDD-Plus sebesar 1 miliar dollar AS. REDD-Plus ini diatur di dalam Copenhagen Accord,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dalam konferensi pers, Senin (24/5) di Jakarta.

Gusti mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Mei 2010 akan menandatangani letter of intent (LoI) untuk proses bantuan itu di Oslo, Norwegia. Perolehan dana REDD-Plus merupakan insentif dari negara maju untuk negara berkembang agar menjaga kelangsungan hutan tersisa.

”Implementasi REDD-Plus itu nanti jangan sampai melibatkan peran ’broker’ pedagang karbon,” kata Gusti.

Dia menambahkan, sebaiknya implementasi dana REDD-Plus diatur sebesar 60 persen untuk masyarakat yang hidup di wilayah kehutanan. Selebihnya untuk kepentingan operasional pemerintahan.

Sebanyak 41 persen

Staf Ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja sama Internasional Liana Bratasida mengatakan, penerimaan dana bantuan internasional seperti melalui REDD-Plus membawa konsekuensi Indonesia harus meningkatkan target reduksi emisi 26 persen menjadi 41 persen tahun 2020. ”Target penurunan emisi karbon pada 2020 akan meningkat 0,422 gigaton,” kata Liana.

Program pencapaian target 41 persen tersebut, menurut Liana, belum diatur. Sebelumnya, ditargetkan 26 persen reduksi emisi karbon (0,767 gigaton).

Mengenai REDD-Plus, seperti ditulis Liana dalam bukunya, Perspektif dan Analisis Copenhagen Accord, memang disebutkan di dalam Copenhagen Accord tersebut. Pada urutan keenam, REDD-Plus disebutkan sebagai mekanisme insentif dengan sumber pendanaan dari negara maju.

Copenhagen Accord sendiri disebutkan memiliki persoalan status hukum karena ditetapkan di luar mekanisme Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Hanya 26 negara terlibat dalam penyusunannya ditambah 3 negara lain yang bergabung menyetujui Copenhagen Accord ini.

Sebanyak 29 negara mengasosiasikan diri ke Copenhagen Accord. Jumlah ini masih jauh di bawah jumlah negara anggota UNFCCC yang mencapai 194 negara. (NAW)



Post Date : 25 Mei 2010