Rekor "Septic Tank" untuk Indonesia

Sumber:Kompas - 16 Maret 2007
Kategori:Sanitasi
Sekitar 65 persen rumah di perkotaan Indonesia memiliki septic tank. Di Jakarta saja terdapat lebih dari sejuta septic tank. Bisa dibayangkan berapa jumlah tangki penampung kotoran manusia itu di seluruh Indonesia.

Jika ada lembaga pencatatnya, Indonesia mungkin menjadi salah satu nominator, atau bahkan pemegang rekor negara dengan septic tank terbanyak di dunia! Sebab, septic tank masih jadi pilihan favorit untuk menangani masalah sanitasi rumah tangga di negeri ini.

Ini bisa menjadi persoalan besar karena hingga saat ini hampir tidak ada ketentuan yang mengatur septic tank. Memang ada standar nasional Indonesia untuk konstruksi septic tank, tetapi aturan lainnya belum ada. Juga soal batasan jumlah septic tank per satuan luas kawasan dan kewajiban bagi pemilik rumah untuk secara rutin melakukan penyedotan. Selain itu, tak ada pula pihak yang merasa berkepentingan memeriksa kondisi septic tank di wilayahnya.

Padahal, dari data Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP), lebih dari 60 persen rumah di Indonesia memiliki sumur dan septic tank yang jaraknya satu sama lain tidak sampai 10 meter. Bahkan, banyak sumur di suatu rumah letaknya dekat dengan septic tank rumah tetangganya. Tak heran kalau penghuni rumah tidak tahu kalau air sumurnya telah tercemar air tinja dari septic tank tetangganya.

Masalah lain adalah 35 persen jamban di kawasan perkotaan tidak dilengkapi sarana air bersih dan tidak tersambung dengan septic tank. Jamban seperti ini biasanya terdapat di pinggir sungai, atau yang mengalirkan airnya limbahnya ke sungai.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 menunjukkan, 12 persen penduduk perkotaan Indonesia tidak memiliki akses ke sarana jamban. Tidak mengherankan bila 70 persen air tanah di perkotaan telah tercemar berat bakteri tinja.

Hal ini terjadi karena urusan tinja masih dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing penghuni rumah. Layak atau tidak septic tank yang ada dianggap hanya penghuni rumah itu sendiri yang merasakan untung ruginya. Padahal, secara kolektif adanya jutaan septic tank akan memengaruhi kualitas air tanah dan pada akhirnya berdampak pada kesehatan jutaan orang.

Buangan tinja bagi jutaan penduduk bukanlah soal sepele. Bayangkan, bila setiap orang setiap hari membuang tinja 125250 gram, jika di perkotaan Indonesia penduduknya 100 juta, akan dihasilkan 25.000 ton tinja setiap hari. Jika ini tidak ditangani dengan baik, bukan saja masalah volume yang besar yang harus dihadapi, tetapi juga soal mikroba, materi organik, nutrien, dan telur cacing, yang biasa menjadi empat komponen yang terdapat di dalam tinja, harus juga dihadapi.

Sistem "sewerage"

Dalam hal menangani limbah rumah tangga, Indonesia memang ketinggalan. Kota-kota di Asia, misalnya, saat ini sudah meninggalkan septic tank. Mereka sudah menggunakan sistem saluran pembuangan kotoran (sewerage system), yakni dengan membuat jaringan dari rumah- rumah ke saluran pengumpul, dan selanjutnya ke instalasi pengolahan. Di instalasi itu, air tinja diolah sampai mencapai baku mutu effluen yang ditetapkan sehingga aman bagi lingkungan.

Sistem ini sebenarnya pernah diterapkan di Indonesia pada zaman Belanda. Tahun 1910-an, pemerintah kolonial Belanda bahkan sudah membangun sewerage di banyak kota: Bandung, Cirebon, Solo, dan Yogyakarta.

Ironisnya, sistem itu justru berhenti saat Indonesia Merdeka dan baru populer lagi tahun 1980-an meski tidak meluas.

Saat ini baru 10 kota di Indonesia yang memiliki sewerage system, yaitu Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, Cirebon, Jakarta, Medan, Parapat, Surakarta, Tangerang, dan Yogyakarta. Namun, kondisi dan kinerja sewerage system juga ada yang belum optimal. Rumah tangga yang terlayani baru sekitar 10 persen.

Maka, jangan bandingkan cakupan sewerage system di Indonesia dengan kota-kota di Asia. Sewerage system di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya, cakupannya telah mencapai 80 persen, sementara di New Delhi (60 persen), Phnom Penh (41 persen), dan Dhaka (30 persen).

Sewerage system yang lengkap, baik, modern, dan dilengkapi sarana penanganan lumpur yang lengkap, seperti yang ada di negara-negara maju, mungkin hanya ada di kawasan permukiman modern, seperti Jababeka dan Lippo di Cikarang, Bekasi, dan Lippo Karawaci.

Masalah bersama

Meski dampaknya sangat terasa, sampai sekarang buruknya sanitasi di negeri ini belum mendapat perhatian bersama. Bahkan, pemerintah pun belum memberikan perhatian sebagaimana mestinya.

Dalam 30 tahun terakhir, misalnya, pemerintah hanya menyediakan sekitar 820 juta dollar AS untuk sektor sanitasi. Itu berarti, hanya Rp 200 per tahun untuk setiap penduduk Indonesia. Padahal, kebutuhan minimal agar masyarakat memiliki akses terhadap sarana sanitasi yang memadai sekitar Rp 47.000/orang/tahun.

Anggaran pemerintah untuk sektor sanitasi memang jauh dari mencukupi, apalagi bila dibandingkan dengan anggaran untuk air bersih yang mencapai enam miliar dollar AS untuk periode yang sama. Padahal, menyediakan sarana air bersih saja tanpa memperbaiki sanitasi akan sia-sia, sebab kedua hal itu saling terkait untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.

Buruknya sanitasi bukan hanya terkait kesehatan, tetapi juga citra sebuah kota, bahkan negeri. Selain dianggap sebagai negeri yang kotor, buruknya sanitasi juga menimbulkan kesan tidak memiliki pola hidup yang sehat.

Masalah sanitasi juga bukan hanya soal ketidakmampuan negara dalam pendanaan atau ketidakmampuan ekonomi masyarakat.

Masalah sanitasi juga erat kaitannya dengan persoalan gender. Berdasarkan survei ISSDP, tersedianya sanitasi yang memadai hanya menjadi prioritas nomor delapan bagi kaum pria, tetapi bagi perempuan dan anak-anak sanitasi menjadi prioritas nomor dua. Ini terjadi karena perempuan lebih membutuhkan tempat yang aman, nyaman, dan terlindung dari penglihatan orang saat buang air.

Bagi sebagian besar keluarga, perempuanlah yang bertanggung jawab terhadap kebersihan jamban keluarga. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika perempuan menjadi pihak (stakeholder) yang harus diperhitungkan dalam peningkatan pelayanan sanitasi dan air bersih. Sayangnya, perempuan sebagai stakeholder "utama" acap kali justru terlupakan dalam perencanaan dan pelaksanaan program peningkatan pelayanan sanitasi dan air bersih.

Menurut Brian Steven Smit, Senior Financial Specialist Water and Sanitation Program Bank Dunia di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu, hal itu terkait dengan kemauan politik (political will) para pengambil kebijakan di negeri ini. "Persoalan sanitasi sangat tergantung dari political will para pemimpin negeri ini. Program sanitasi akan bisa berjalan baik jika kebutuhan terhadap sanitasi yang memadai disuarakan dengan kuat dan terus-menerus, serta ada kekuatan lobi dari kelompok kepentingan di masyarakat terhadap hal itu," ujarnya.

Artinya, masalah sanitasi tidak akan selesai bila tidak ada kemauan politik yang kuat untuk melaksanakan pembangunan yang prorakyat miskin, prokesehatan, dan prolingkungan.

Untuk itu, diperlukan gerakan yang menyeluruh dan sanitasi harus menjadi program regional yang didukung kekuatan hukum. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Desember 2006 telah mendeklarasikan tahun 2008 sebagai tahun sanitasi internasional. MDG (Millenium Development Goal) telah mencanangkan tahun 2015 sebanyak 72,5 persen rakyat Indonesia harus terlayani sarana sanitasi yang memadai.

Faktanya, saat ini hanya sekitar 45 persen penduduk yang mendapat akses sarana sanitasi yang memadai. Karena itu, sebuah kerja besar harus dilakukan untuk mencapai semua itu dan harus dimulai segera. Dukungan politik dari DPR dan pimpinan negeri ini dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota sangat diperlukan.... (Elly Rosita dari Bangkok)



Post Date : 16 Maret 2007