Revitalisasi Air

Sumber:Kompas - 27 Maret 2007
Kategori:Air Minum
Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret lalu bertema Coping with Water Scarcity (Mengatasi Kelangkaan Air) kurang bergema di masyarakat. Air yang semakin langka dan mahal tetap saja dianggap barang gratisan yang dapat diperlakukan seenaknya.

Sungai tempat buang sampah, situ diuruk, dan air hujan dibuang. Konsumsi air bersih di semua lini sangat boros. Padahal, 49 persen air bersih penduduk Jakarta diambil dari air tanah permukaan dan air tanah dalam.

Kota sehat adalah kota yang segenap warganya bisa hidup layak, terpenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), pendidikan yang mendukung pembangunan kota, dan kesehatan dasar terjamin (air bersih, sanitasi, lingkungan bersih, bebas penyakit lingkungan).

Jakarta harus melakukan perubahan besar secara mendasar. Terobosan hanya akan berarti jika perubahan dilakukan secara fundamental, skala prioritas fokus, dan tidak setengah-tengah.

Skala prioritas pembangunan dimulai dari titik-titik rawan bencana sesuai apa yang dibutuhkan di lokasi.

Revitalisasi air kota dimulai dengan mengembangkan drainase ramah lingkungan (ekodrainase). Air hujan diparkir ke daerah resapan air (taman kota, lapangan olahraga, situ, waduk, hutan mangrove), menekan debit air ke saluran air kota dan sungai, dan mengisi saluran air bawah tanah.

Keluasan ruang terbuka hijau (RTH) menjamin keluasan resapan air, besar kapasitas serapan, dan penampungan air tanah pada musim hujan. Konsekuensinya, semakin sempit RTH semakin sedikit air terserap dalam tanah. Terbukti, Jakarta mengalami kelangkaan air bersih untuk kebutuhan hidup atau memadamkan kebakaran, amblesan tanah dan instrusi air laut kritis.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan mensyaratkan pemerintah memperbanyak daerah resapan air melalui pembangunan taman di kawasan padat bangunan dan padat penduduk, taman kota, lapangan olahraga, rumputisasi halaman sekolah dan perkantoran, serta hutan mangrove.

Empat puluh persen air bersih penduduk Jakarta diambil dari air tanah permukaan dan air tanah dalam. Kini baru 5.000 rumah dari 1,5 juta rumah di Jakarta yang membuat sumur resapan air. Setiap bangunan (rumah, taman, lapangan parkir di perkantoran, sekolah, dan pusat perbelanjaan) sudah harus membuat sumur resapan air.

"Septic tank"

Public Outreach Communication USAID Indonesia (18/3/2007) menyebutkan, 63 persen air tanah di Jakarta tercemar bakteri e-coli, sementara pemerintah menyatakan tingkat pencemaran mencapai 80 persen.

Keterbatasan lahan memaksa penempatan sumur atau pompa air (di belakang) dan septic tank (di depan) berjarak kurang dari 10 meter, serta konstruksi septic tank kurang bagus membuat air limbah meresap ke dalam tanah. Dalam jangka panjang warga pun terancam penyakit kolera dan diare.

Pembuatan sistem jaringan air limbah kotor dan septic tank kolektif di taman lingkungan akan meminimalkan pencemaran air tanah. Juga refungsionalisasi jalur hijau kolong jembatan/jalan layang, bantaran rel kereta api, dan bantaran kali, revitalisasi situ, danau, dan waduk yang hilang diuruk ke fungsi semula sebagai daerah tangkapan air.

Kawasan RTH pascapenertiban sebaiknya segera ditata untuk mencegah kembalinya pemanfaatan lain yang tidak sesuai peruntukan RTH semula.

Pemerintahan kota yang bersih, kreatif, berkomitmen dan konsisten menyejahterakan masyarakat akan menumbuhkan rasa percaya dan inspirasi warga untuk kontributif dan partisipatif dalam pembangunan kota.

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap



Post Date : 27 Maret 2007