RI Pimpin Konsultasi Menteri Lingkungan

Sumber:Jurnal Nasional - 16 Desember 2009
Kategori:Climate

Indonesia dan Jerman memimpin pertemuan konsultasi informal tingkat menteri tentang target negara maju pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, Selasa pagi waktu setempat.

"Pagi tadi sudah disepakati, para peserta tidak keberatan untuk dipimpin oleh Indonesia dan Jerman," kata juru bicara delegasi Indonesia Tri Tharyat, di sela acara tersebut.

Pertemuan konsultasi informal dipimpin Ketua Delegasi RI Rachmat Witoelar dan Menteri Lingkungan Hidup Jerman Noerbert Roettgen menyusul macetnya semua perundingan, sehari sebelumnya.

"Pak Rachmat diminta secara resmi oleh Presiden COP ke-15 (Connie Hadegaard) karena Indonesia dipandang mempunyai kredibilitas dan telah berpengalaman sejak di Bali (COP-13, 2007)," kata Tri Tharyat.

Rachmat Witoelar mengatakan, pertemuan dilanjutkan setelah pada Senin sore dilakukan pertemuan selama 2,5 jam dengan 35 delegasi. "Mereka menyampaikan pendapat-pendapat prinsip dengan tuntutan solusi yang mereka inginkan," kata Rachmat.

Menurut dia, tuntutan yang terungkap sangat bervariasi dari tuntutan penurunan emisi karbon yang lebih besar untuk negara maju daripada negara berkembang sampai keinginan negara maju agar mereka jangan menjadi tertuduh dalam perubahan iklim.

Rachmat mengatakan, posisi Indonesia sama seperti semula yaitu agar negara maju menetapkan komitmen yang jelas untuk target penurunan emisi gas rumah kaca. "Posisi Indonesia sama saja (dengan negara G77), tetapi karena saya memimpin maka saya tidak mempunyai pendapat," katanya.

Hentikan Perundingan

Sebelumnya, perundingan di Konferensi Perubahan Iklim sempat terhenti karena kelompok negara 77 dan China serta Afrika meminta komitmen lebih jelas dari negara maju untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Bahkan, kelompok negara Afrika menghentikan perundingan di Kopenhagen.

Anggota delegasi RI yang juga Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo mengatakan, G-77 menghentikan perundingan di COP-15 karena adanya tekanan dari kelompok negara maju untuk menggabungkan perundingan AWG-LCA dan AWG-KP.

AWG-LCA, kelompok kerja ad-hoc untuk kerja sama jangka panjang, merupakan perundingan negara-negara peserta Konvensi Badan Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas kerja sama jangka panjang dalam menangani perubahan iklim. Sedangkan AWG-KP merupakan perundingan dari negara-negara UNFCCC yang meratifikasi Protokol Kyoto untuk membahas komitmen tahap kedua yang dimulai 2013.

G77 meminta prioritas perundingan pada AWG-KP diutamakan atau diselesaikan dulu, baru dilanjutkan perundingan di AWG-LCA.

Negara-negara Afrika memprotes dan menuduh negara-negara kaya berusaha membunuh Protokol Kyoto agar tidak berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca mereka.

Zia Hoque Mukta, delegasi Bangladesh, mengatakan negara-negara berkembang menginginkan Presiden COP 15 Connie Hadegaard menempatkan persoalan target emisi negara industri sebagai agenda utama sebelum pembicaraan dilanjutkan.

"Ini benar-benar sebuah persoalan utama. Kami telah kehilangan kepercayaan terhadap Hadegaard," kata Mukta kepada Al Jazeera kemarin (15/12).

Blok G77-China, yang berbicara atas nama negara berkembang, mengatakan tuan rumah Denmark telah melanggar proses demokratis. Negara-negara berkembang, didukung China, menyatakan Hadegaard memicu kecurigaan bahwa konferensi berniat mengabaikan Protokol Kyoto 1997.

"Sangat jelas bahwa presidensi Denmark, dengan cara yang tidak demokratis, memajukan kepentingan negara-negara kaya dengan cara menyeimbangkan kewajiban antara negara maju dan negara berkembang," kata Ketua G77 Lumumba Di-Aping.

Wakil Menteri Luar Negeri China He Yafei berbicara lantang mengenai pendanaan. "Jika anda membuat prioritas, maka persolan yang paling menekan dimana negara-negara berkembang ingin melihat hasilnya adalah: pertama pembiayaan, kedua target pengurangan emisi, dan ketiga transfer teknologi," kata He Yafei. Astri Ihsan/Reuters/BBC/Al Jazeera/Antara



Post Date : 16 Desember 2009