RUMAH-RUMAH TANPA JAMBAN

Sumber:Republika - 30 Oktober 2012
Kategori:Sanitasi
Rumah-rumah panggung semipermanen memunggung i bantaran Kali Ciliwung. Pakaian-pakaian terjemur menghadap badan sungai dengan lebar sekitar delapan meter. Di atas aliran kali berwarna cokelat, beberapa warga Manggarai Utara pun tampak melakukan aktivitas rumah tangga. 
 
Seorang ibu tampak sedang menunggu anaknya buang air besar di atas bangunan dari bambu setinggi tiga meter. Sesekali sang ibu menyiramnya dengan seember air agar kotoran mengalir langsung ke sungai. 
 
Tak jauh dari lokasi tersebut, seorang pria setengah baya mengambil air dari Ciliwung untuk ditampung di ember yang lebih besar. Terlihat pula lelaki yang bersiap mandi di bilik yang dianggapnya sebagai kamar mandi di atas kali.
 
Hampir setiap punggung rumah di bantaran Ciliwung mempunyai bangunan tanpa atap. Bangunan itu disangga dengan empat buah tiang, berdinding bambu, dan tanpa atap. Sedangkan, bangunan untuk buang hajat orang dewasa berukuran sekitar satu kali satu meter persegi.
 
Warga Berlan, Matraman, Jakarta Timur, Budi (38 tahun), yang ditemui dekat pintu air Manggarai mengatakan, hampir semua warga yang tinggal di tepi kali Manggarai melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) di lokasi tersebut.
 
Menurut pria yang berprofesi sebagai tukang ojek tersebut, mereka melakukan hal tersebut karena tidak mempunyai tempat. "Bagaimana mau membangun kalau tempat saja tidak punya," ujar dia, Ahad (28/10).
 
Budi juga mengaku, ada satu jamban umum di kampung tersebut. Namun, jamban tersebut tidak seimbang dengan jumlah warga yang ada. Selain itu, warga tidak suka jika harus berjalan jauh dan masih harus mengantre. Sehingga, warga memilih yang lebih praktis dengan membuat jamban seder- hana dan langsung mengalir ke Kali Ciliwung.
 
Kondisi ini tidak hanya terlihat di Manggarai, bantaran Ciliwung di Bukit Duri Selatan terpantau juga didesak oleh kampung padat di kiri-kanannya.
 
Aktivitas warga untuk keperluan sehari- hari, seperti mencuci, juga dilakukan tak jauh dari aliran kali. Saluran pembuang - an limbah rumah tangga terhubung langsung ke Kali Ciliwung. 
 
Di Jakarta memang banyak rumah yang tidak memiliki fasilitas sanitasi atau mandi, cuci, dan kakus. Warga di RT 15 dan RT 17, RW 17, Kelurahan Lagoa Kecamatan Koja, Jakarta Utara, harus mengandalkan fasilitas MCK yang dibangun pemerintah. 
 
Tapi, jumlahnya juga terbatas. Setiap RT memiliki MCK dengan fasilitas tujuh atau delapan ruangan, sedang - kan masyarakat penggunanya mencapai ratusan. Akibatnya, terjadi antrean setiap pagi dan sore hari, baik itu untuk keperluan mandi, buang air, hingga mencuci pakaian. 
 
Percepat penataan permukiman 
 
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta M Tauchid mengakui buruknya sanitasi di Ibu Kota. Kasus seperti itu banyak terjadi di daerah padat penduduk, seperti Tambora, Kalideres, dan daerah bantaran kali. "Banyak yang tidak dilengkapi tempat mandi, cuci, kakus (MCK)," kata dia.
 
Kondisi ini turut memengaruhi kuali tas kehidupan warga Ibu Kota. Contohnya, tingkat pencemaran pada badan air meningkat setiap tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan aktivitas manusia. 
 
Namun, BPLHD menolak anggapan masalah sanitasi dan penataan lingkungan hidup di Ibu Kota tidak menjadi perhatian utama. "Kami sudah melakukan pemotretan tentang kondisi sanitasi. Ini memang butuh percepatan," kata Tauchid. 
 
Menurut Tauchid, ada empat persoalan utama dalam sanitasi di Jakarta, yaitu ketersediaan air bersih, air limbah, sampah, dan drainase. Ketersediaan air bersih dipenuhi PDAM Jaya, sampah oleh Dinas Kebersihan DKI, sedangkan drai - nase oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI. 
 
Terkait air limbah, Tauchid mengatakan, pengelolaannya membutuhkan instalasi khusus. Tapi, menurut dia, pelayanan jangkauan dan kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) masih sangat terbatas. 
 
Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengupayakan penataan permukiman kumuh sejak 2010 lalu. Program penataan RT/RW kumuh di DKI juga mengedepankan penataan sanitasi lingkungan hidup di wilayah kumuh tersebut. "Tapi, memang belum di setiap wilayah," kata dia.
 
Tauchid mengatakan, untuk bisa menjangkau seluruh wilayah dibutuhkan percepatan. Sebab, persoalan sanitasi ini akan terus ada menyusul pertumbuhan penduduk. "Jadi, tidak bisa menunggu," kata dia.
 
Menurut dia, Pemprov DKI sudah memiliki rencana pengaturan sanitasi melalui Jakarta Sewerage System. Jakarta Sewerage Systemadalah proyek yang telah direncanakan sejak 15 tahun lalu. Masterplan Jakarta Sewerage Systemmerupakan hibah dari Jakarta International Cooperation Agency (JICA) yang juga akan memberikan pinjaman kredit agar proyek ini berjalan.
 
Proyek bernilai triliunan rupiah itu dicanangkan untuk membangun pengem bangan enam zona sanitasi terpadu. Wilayah yang masuk zona satu, di antaranya Pejagalan, Muara Angke, Sunter, Marunda, Duri Kosambi, Srengseng, Waduk Ulujami, Taman Bendi, Ragunan, Waduk Kampung Dukuh, dan Waduk Ceger. 
 
"Nantinya limbah yang dibuang bakal diolah terlebih dulu dengan cara disaring, baru kemudian dialirkan ke waduk yang menampung air tersebut," ujar Tauchid.
 
Tauchid mengatakan, buruknya sanitasi suatu perkotaan bukan saja disebabkan terbatasnya akses masyarakat dan kualitas fasilitas sanitasi, tetapi juga masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang isu-isu sanitasi dan kesehatan.
 
Karena itu, Pemprov DKI akan melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan penanganan sanitasi. Pendekatan dilakukan dengan mengon- disikan masyarakat pada suatu kebiasaan atau perilaku tertentu. Manajemen pengelolaan lingkungan yang disertai dengan partisipasi masyarakat ini sudah dilakukan di 12 Kelurahan yang berbatasan dengan Sungai Ciliwung. 
 
Anggota Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi menyatakan, usaha Pemprov DKI Jakarta dalam menata lingkungan dan sanitasi sebetulnya telah memiliki format rencana yang cukup bagus. Namun, realisasi dan hambatan di lapangan menjadikan program-program pemerintah tidak berjalan maksimal. "Tapi, nilai invetasi untuk penataan sanitasi di Jakarta memang belum tinggi," ujar dia.
 
Menurut Sanusi, ada dua persoalan dasar yang bisa dijadikan sebagai langkah awal dalam penataan sanitasi di Jakarta, yaitu penataan perkampungan dan penggunaan kearifan budaya lokal dalam melakukan penataan lingkungan hidup.
 
Sanusi menuturkan, buruknya sanitasi berawal dari permukiman kumuh. Karena itu, Pemprov DKI harus melakukan penataan permukiman kumuh secara konsisten. Selanjutnya, menggiatkan kembali budaya kerja bakti sembari memberikan edukasi yang sifatnya mudah diserap dan terus-menerus.
 
Untuk mendorong masyarakat melakukan budaya ini, pemerintah juga diharapkan menyediakan fasilitas. "Misalnya, peralatan, pengolahan sampah, dan pembuangannya seperti apa. Warga harus didampingi agar mengerti," ujar dia. (ratna puspita)


Post Date : 30 Oktober 2012