Rumitnya Merancang Strategi Pembangunan

Sumber:Kompas - 01 Desember 2007
Kategori:Climate
Berbicara soal pemanasan global, Indonesia bisa dikatakan berada di posisi yang unik secara alamiah. Secara alamiah geografis dan meteorologis, posisi Indonesia rawan terhadap dampak perubahan iklim akibat pemanasan global. Posisi ini semakin "ekstrem" karena Indonesia berada di ekuator yang dinamika iklimnya paling kacau.

ecara geografis, wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan diapit dua samudra besar dunia, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dua samudra itu bisa dikatakan "mesin iklim" dunia. Di ekuator, gaya-gaya yang berlaku menjadi bersifat unik karena Bumi berbentuk elips. Selain itu, secara geografis, wilayah Indonesia juga terpecah-pecah menjadi pulau-pulau kecil yang menghadapi situasi rawan tersendiri dalam perubahan iklim global karena terancam tenggelam. Bahkan, sudah muncul angka bahwa sekitar 200 pulau Indonesia akan tenggelam pada beberapa dekade mendatang.

Indonesia dengan keunikannya hanya "sendirian" di dunia. Akibatnya, dalam berbagai isu internasional, posisi Indonesia serba sulit dan sering disalahartikan. Khusus bagi Indonesia yang diapit oleh dua samudra besar, kondisi iklim amat dipengaruhi oleh fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena ENSO akan berpengaruh pada maju-mundurnya awal musim hujan dan sifat hujan. Peristiwa ENSO ditandai dengan terjadinya El Nino. Persoalan sains yang dikemukakan IPCC soal pemanasan global mulai dari penyebabnya, yaitu aktivitas manusia, hingga dampak yang diperkirakan terjadi di masa mendatang bukan lagi basis perdebatan.

Menjelang Konferensi Para Pihak Ke-13 (COP) di Bali mendatang, Indonesia sebagai tuan rumah niscaya bukan lagi harus menjadi tuan rumah yang baik, tetapi juga selayaknya berhasil memetik hasil dari berbagai skema dalam konteks adaptasi, mitigasi, dan mekanisme pembangunan bersih sesuai Protokol Kyoto.

Untuk mencapai hasil itu, dibutuhkan persiapan matang. Tidak ingin kehilangan momentum, pemerintah membentuk tim dengan focal point Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang secara maraton menjelang pertengahan Agustus lalu merancang Rencana Aksi Nasional. Rencana aksi ini nantinya akan menjadi cetak biru pembangunan Indonesia dengan tema besar menghadapi perubahan iklim. Membuat cetak biru ternyata tidaklah gampang. Kendalanya beragam, mulai dari kondisi fisik alam Indonesia, birokrasi, hingga struktur sosial.

Seorang panelis mengemukakan, wilayah Indonesia secara kasar setidaknya terbagi menjadi beberapa karakteristik iklim. Di daerah Jawa Barat saja bisa ada lebih dari enam karakteristik, salah satunya berdasarkan awal musim hujannya.

Karena karakteristik iklim sedemikian kompleks, masa berlaku sebuah prakiraan cuaca pun hanya pendek, sekitar dua atau tiga hari saja. Dengan kondisi demikian, yang dibutuhkan adalah peralatan yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas serta penelitian secara intensif sekaligus ekstensif terhadap pola cuaca dan iklim.

Pada kenyataannya, peralatan untuk pengamatan dan penelitian cuaca amat tidak memadai jumlahnya. Kualitasnya pun tidak standar. Kepemilikannya tersebar di berbagai instansi. Untuk mengatasi kendala itu, dibutuhkan komunikasi dan kerja sama yang amat baik antarinstansi untuk bisa saling melengkapi. Pemerintah menunjuk Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sebagai instansi yang berwenang menangani persoalan iklim dan gempa bumi nasional.

Seorang panelis mengakali kerumitan itu dengan cara pragmatis, yaitu menggabungkan data dari berbagai instansi yang mengurus soal tanah dan pertanian, antara lain dari Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah, dan departemen atau dinas pertanian. Data itu menyangkut data luas tanah, jenis tanah, jenis tanaman, dan data cuaca. Padahal, tidak tertutup kemungkinan penelitian di setiap instansi menerapkan asumsi yang berbeda.

Mengingat karakteristik iklim yang sedemikian kompleks dan bersifat regional, bahkan terkadang amat lokal, perencanaan pembangunan pun menjadi hal rumit untuk dilakukan secara presisi bagi setiap daerah. Kerumitan dan kompleksitas menetapkan pola iklim dan cuaca menjadi kendala tersendiri bagi upaya menyejahterakan masyarakat.

Ini terutama karena daya adaptasi masyarakat rendah terhadap perubahan pola cuaca yang sifatnya amat temporal tersebut. Fakta di lapangan bermunculan. Kekeringan terjadi di mana-mana, longsor semakin sering dan terjadi di lebih banyak lokasi, demikian juga gagal panen dan gagal tanam telah menjadi berita keseharian.

Seorang panelis memaparkan data, angka keluarga prasejahtera (baca: warga miskin) meningkat setiap kali terjadi El Nino, yang menyebabkan kekeringan panjang sehingga sawah puso menjadi pandemi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi terhadap masyarakat petani yang lebih dari 50 persen merupakan petani subsisten jika pola cuaca menjadi semakin tidak mudah diramalkan atau dipolakan. Kehidupan mereka akan semakin terpuruk akibat ketidaktersediaan informasi yang akurat menyangkut pola cuaca dan iklim.

Bak satu noktah di tengah selembar kertas putih, BMG bekerja sama dengan Balai Penelitian Klimatologi Institut Pertanian Bogor dan Pemerintah Kabupaten Indramayu mendirikan sekolah pendidikan iklim bagi masyarakat setempat. Melalui pendidikan itu, diupayakan pemberdayaan petani untuk memanfaatkan iklim guna mengatasi risiko perubahan iklim sekarang dan di masa mendatang.

Iklim dan cuaca

Mengambil contoh keragaman pola iklim dan cuaca di Oekabiti, Kupang, Nusa Tenggara Timur, seorang panelis menggambarkan perkiraan perubahan pola iklim terkait dengan awal musim hujan, intensitas curah hujan, dan panjang periode musim hujan. Setidaknya ada tiga pola.

Pola pertama, puncak musim hujan tetap berada di waktu yang sama dengan sekarang, tetapi curah hujan semakin tinggi dan periode musim hujan lebih pendek. Pola kedua, awal musim hujan maju, intensitas hujan lebih rendah pada saat puncak musim hujan, periode musim hujan lebih panjang. Pola ketiga, awal musim hujan mundur, intensitas saat puncak musim hujan lebih rendah dibandingkan dengan sekarang, dan periode musim hujan lebih panjang.

Dari ketiga faktor itu sebenarnya bisa terdapat 27 varian, termasuk pola sekarang! Bukan hal yang tidak mungkin terjadi mengingat cuaca sangat ditentukan oleh kondisi fisik lokal. Ketika terjadi perubahan fisik di suatu tempat, misalnya terjadi penggundulan hutan dengan luas yang signifikan, pola cuaca di wilayah itu akan berubah pula.

Data dari Pulau Sumatera dengan gamblang menunjukkan sudah terjadinya perubahan pola iklim yang variatif. Sebagian wilayah musim hujannya mundurdari 1 dasarian hingga 5 atau 6 dasarian (sepuluh harian). Sebagian wilayah lainnya menunjukkan hal senada, tetapi pergeserannya berkebalikan, yaitu maju dari 1 hingga 6 dasarian juga. Artinya, dalam satu pulau, bisa terjadi perbedaan cara bercocok tanam. Ketika tetangganya sudah mulai panen, dia justru mulai menanam.

Dengan fakta yang sedemikian rumit dan kompleks, sementara hal itu amat berpengaruh bagi kelangsungan ketersediaan pangan secara nasional, dibutuhkan sebuah rencana pembangunan nasional berwawasan kewilayahan yang lebih rinci menyangkut soal iklim dan pola cuaca. Tentu harus didukung dengan kebijakan soal tata guna tanah. Harus diingat, masalah ketersediaan pangan jelas tidak berdiri sendiri, tetapi berkait berkelindan dengan persediaan air tanah, yang (juga) bergantung pada iklim dan cuaca.

Jalan keluar lainnya tak lain ilmu pengetahuan dan teknologi tentang cuaca dan iklim yang harus ditingkatkan secara serius dengan pendanaan yang mencukupi. Pendanaan, dalam konteks strategi global menghadapi perubahan iklim, bisa diajukan dari pendekatan transfer teknologi atau program adaptasi dan mitigasi. Yang pasti, baik pemerintah maupun masyarakat harus sadar akan pentingnya mengenali pola cuaca dan iklim jika tidak mau kekurangan pangan di beberapa waktu mendatang. Bisa setahun, dua tahun, tiga tahun, atau 10 tahun lagi ketika kita manusia Indonesia harus berebut beras, atau impor beras yang ekstra mahalironisnya negara lain penghasil beras juga menghadapi persoalan serupa akibat dampak perubahan iklim yang berpotensi menyebabkan produktivitas tanaman pangan menurun drastis.

Sinkronisasi

Karakteristik iklim yang sedemikian kompleks di negara kepulauan di khatulistiwa ini bukan satu-satunya kendala. Muncul tantangan yang lebih berat, yaitu bagaimana membuat suatu term of reference yang terpadu. Salah satu kendala besar yang dihadapi sekarang ini adalah belum adanya sinkronisasi antara pusat dan daerah. Ada yang "tidak nyambung" antara hal-hal yang didiskusikan di Jakarta dengan penerjemahannya dalam bentuk rencana aksi dan implementasi di lapangan, mulai dari level provinsi, kabupaten, dan seterusnya.

Seorang panelis menekankan perlunya suatu upaya luar biasa (extraordinary efforts) dari semua pemangku jabatan untuk membuat rencana aksi nasional dan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim ini bisa berjalan dan menjadi suatu gerakan nasional di seluruh level, baik level akar rumput maupun gerakan sosial di level birokrasi. Oleh karena itu, peran inisiator-inisiator atau para pemimpin, baik di pemerintahan, sektor swasta maupun masyarakat, menjadi sangat penting.Oleh Sri Hartati Samhadi dan Brigitta Isworo



Post Date : 01 Desember 2007