RUU Lingkungan Terus Dibahas

Sumber:Kompas - 11 Juli 2009
Kategori:Lingkungan

Jakarta, Kompas - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat hendak merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsekuensinya, mereka memotong libur reses yang dimulai awal pekan ini.

Apabila pembahasan menunggu masa reses selesai, pembahasan RUU tersebut dipastikan tertunda hingga periode anggota DPR masa bakti 2009-2014 mendatang. Kalau itu yang terjadi, dibutuhkan waktu lama bagi DPR baru karena harus memahami persoalan.

”Kami berusaha agar RUU itu bisa disahkan pada Rapat Paripurna DPR terakhir pertengahan September 2009 mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (10/7). Menteri Negara Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang selama ini mendorong isu lingkungan di DPR tersebut, tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR.

Dukungan penyelesaian pembahasan materi RUU itu juga datang dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Pertimbangannya, kerusakan lingkungan membutuhkan penanganan cepat dengan keberadaan UU lingkungan baru.

”Kami berharap RUU itu selesai tahun ini. Kami sedang menyiapkan Daftar Isian Masalah versi pemerintah (eksekutif),” kata Deputi V Menteri Negara LH Bidang Penataan Lingkungan Ilyas Asaad.

Pembahasan RUU pengganti UU No 23/1997 merupakan hak inisiatif DPR setelah pembahasan sebelumnya mandek di tingkat eksekutif. Statusnya sebagai hak inisiatif dinilai mempermudah pembahasan karena suara- suara fraksi di DPR relatif sama.

”Tinggal menunggu usulan pembahasan per materi dari eksekutif. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” kata Sonny.

Hari Rabu lalu sejumlah anggota Komisi VII DPR bertemu beberapa aktivis LSM lingkungan. Mereka mendiskusikan beberapa isu yang dinilai penting diadopsi dalam RUU pengganti UU No 23/1997 tersebut.

Wewenang PPNS

Salah satu isu penting draf versi legislatif adalah pemberian kewenangan lebih kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Kewenangan PPNS tak lagi sebatas koordinasi, tetapi juga penuntutan hukum. Menjadi semacam polisi lingkungan.

”Konsekuensinya, profesionalitas PPNS harus ditingkatkan lagi,” kata Sonny. Usulan tersebut merupakan terobosan.

Semangat awal pembahasan RUU itu adalah adanya kewenangan lebih kuat kepada KNLH. Selama ini kewenangan KNLH dinilai masih sangat lemah.

Namun, upaya memperkuat kewenangan KNLH tersebut dikhawatirkan menghadapi kendala. Salah satu penyebabnya adalah bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur kewenangan kementerian sebatas koordinasi.

”Prinsipnya, kementerian lingkungan hidup dimungkinkan melakukan penegakan hukum langsung,” lanjut Sonny.

Usulan lain mengenai adanya kewenangan pemerintah pusat mencabut amdal di daerah yang terbukti melanggar prosedur. Kerusakan lingkungan, yang sebagian di antaranya disumbangkan kegiatan di daerah, menjadi alasan utamanya.

Sementara itu, KNLH mengusulkan pengaturan sanksi lebih berat bagi pemberi izin amdal yang melanggar. Sanksi minimal diusulkan dua tahun penjara dan denda jutaan rupiah.

”Kalau memungkinkan, amdal dijadikan salah satu komponen izin lingkungan yang memiliki semacam hak veto bagi kegiatan lain,” kata Ilyas. Komponen lainnya adalah limbah berbahaya dan beracun (B3).

Setiap kegiatan usaha yang melanggar ketentuan dalam izin lingkungan, nantinya dapat diberhentikan sementara atau selamanya apabila sangat berisiko.

Selama ini kegiatan usaha yang menimbulkan dampak lingkungan berbahaya tetap beroperasi. (GSA)



Post Date : 11 Juli 2009