Sampah Bojong, Bojong Sampah

Sumber:Kompas - 24 Nopember 2004
Kategori:Sampah Jakarta
TAING tidak bisa berbuat banyak. Kakek berusia 60 tahun, bercucu empat itu hanya pasrah ketika polisi membawanya pergi dari rumahnya. Istri, anak, dan cucunya hanya bisa menangis. Tak berdaya. Tamah (70-an), orangtua Taing, lebih tak berdaya. Mereka hanya manusia-manusia lemah yang tidak punya kekuatan, kecuali tangis.

KAKEK itu dituding sebagai salah satu provokator kerusuhan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Kecamatan Kelapanunggal, Bogor, hari Senin kemarin. Karena itu, Taing dibawa polisi untuk dimintai keterangan.

Kalau cerita yang dimuat sebuah surat kabar terbitan Jakarta itu benar, maka inilah ironi kemanusiaan yang sangat nyata. Sebuah kisah yang untuk kesekian kalinya menegaskan bahwa rakyat benar-benar wong cilik yang tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan aparat, dengan kekuasaan.

Padahal, rasanya baru kemarin, kata-kata manis dan janji-janji diobral kepada rakyat. Rasanya baru kemarin rakyat dijanjikan akan diberi hidup aman, tenteram, makmur, tidak ditindas, tidak dipaksa, diperlakukan secara adil, dimanusiakan, dan dihargai serta dihormati sebagai saudara.

Rasanya baru kemarin rakyat kecil diperlakukan dengan sangat santun, begitu dihargai, suaranya didengar bahkan dicari-cari, dikumpulkan, dan diberi harga tinggi. Rasanya baru kemarin rakyat dibujuk, dirayu, dininabobokkan dengan kata-kata manis, dan disanjung-sanjung. Semuanya masih membekas dan mengiang di telinga.

Pesta memang sudah usai. Kehidupan kembali ke suasana normal. Hidup tidak lagi di antara janji-janji, tetapi kembali ke alam nyata di mana hukum "yang kuat yang menang" kembali berkuasa. Akan tetapi, apakah rakyat harus selalu menjadi korban, selalu menjadi yang disalahkan untuk setiap perkara dalam kehidupan yang normal?

ITU juga pertanyaan yang diteriakkan rakyat Bojong. Semuanya bermula setelah Bupati Bogor Agus Utara Effendi pada tanggal 1 Maret 2001 mengeluarkan surat keputusan. Surat Keputusan bernomor 591/31/ KPTS/HUK/2001 itu memberi izin kepada PT Wira Gulfindo Sarana (PT WG, yang kemudian berubah menjadi Wira Guna Sejahtera) untuk membangun tempat pembuangan akhir sampah seluas 20 hektar di Desa Bojong, Kelapanunggal, Bogor.

Sejak itu, aksi dan reaksi bermunculan. Sebutlah, pada tanggal 30 Juli 2003, sekitar 400 warga Bojong mendatangi Gedung DPRD dan Balaikota DKI Jakarta. Mereka berunjuk rasa dan "membuang" sampah ke pelataran kedua gedung tersebut. Sekitar 500 warga dari Desa Bojong, Cikahuripan, dan Situsari pada tanggal 1 Agustus 2003 berunjuk rasa di areal TPST.

Penolakan warga terhadap pembangunan TPST terus berlanjut. Pada tanggal 29 September 2003, mereka mengungkapkan penolakan secara lebih nyata lagi. Mereka melintangkan sebatang pohon tepat di pintu masuk lokasi TPST. Dua bulan kemudian, warga desa itu kembali berteriak lantang menolak pembangunan TPST.

Ketika mesin pengolah sampah dikirim ke Bojong, warga protes lagi. Kali ini, protes diwarnai tindak kekerasan oleh aparat. Sejumlah warga yang menghadang laju kendaraan yang mengangkut mesin pengolah sampah dipukuli. Selain itu, ada pula warga yang ditangkap.

Hari Senin lalu, 22 November 2003, tragedi itu terjadi. Aksi unjuk rasa menolak uji coba pengoperasian TPST berubah menjadi rusuh. Warga bentrok dengan aparat. Warga mengamuk. Merusak, membakar mobil aparat. Mereka juga membakar beberapa bangunan. Polisi melepaskan tembakan dan mengenai lima warga. Tidak berhenti di sini. Polisi juga menyisir warga dari pintu ke pintu. Sebanyak 35 orang ditangkap! Ditahan!

MENGAPA semua itu harus terjadi? Mengapa dari dulu hingga kini cerita selalu berulang? Sejarah perjalanan bangsa ini sangat banyak memberikan cerita tentang bentrokan antara rakyat dan penguasa. Konflik pertanahan-dalam hal TPST adalah konflik peruntukan tanah-di negeri agraris ini tidak pernah lekang.

Setiap kali konflik itu terjadi, rakyat selalu dalam posisi berhadapan dengan penguasa. Cara penyelesaian masalah selalu menempatkan rakyat sebagai pihak yang kalah. Tak pelak lagi, dalam posisi seperti itu, maka radikalisasi massa menjadi satu-satunya jawaban untuk melawan.

Sekadar ilustrasi. Masih ingat tragedi Jenggawah, Jember, Jawa Timur? Petani Jenggawah pada pertengahan tahun 1995, marah besar. Oleh karena tidak puas terhadap keputusan pemerintah dalam pemberian hak guna usaha kepada PTP XXVII Jember, sekitar 400 petani penggarap melancarkan aksi.

Hasilnya, rumah dinas administrator perkebunan pun porak-poranda. Tidak cukup sampai di situ, 19 gudang tembakau, kantor arsip perkebunan, koperasi, dan bermacam kendaraan operasional perkebunan dibakar.

Kasus Bojong tidak jauh berbeda. Ketika kekuasaan lebih diutamakan untuk menyelesaikan sebuah masalah, maka amuklah yang terjadi. Aparat yang represif, dijawab radikalisasi massa. Senjata api, ditandingi bambu runcing. Tebaran gas air mata, dijawab dengan pembakaran gedung.

Di sini orang lalu mengatakan, kekuasaan itu absurd. Oleh karena, kekuasaan itu memeluk sekaligus baik kebesaran maupun kekerdilan manusia. Meminjam istilahnya Thomas Aquinas, filsuf terbesar Abad Pertengahan di Eropa, kekuasaan pada pokoknya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas hukum yang persis.

Sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi penguasa (pengusaha) atau kelompok tertentu. Dengan lain kata, kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang.

Sebaliknya, kekuasaan akan mencerminkan kekerdilan manusia bila kekuasaan itu semata-mata demi kekuasaan. Kekuasaan akan menggambarkan kekerdilan manusia apabila hanya berdasarkan atas kebrutalan dan kelicikan.

Di Bojong semua itu tergambar. Rakyat dianggap sebagai bagian dari sampah. Karena itu, penyelesaian masalah TPST pun semena-mena, seperti menyelesaikan masalah sampah belaka. Sampah selalu kalah-dibuang dan dibakar-karena sampah adalah yang terbuang. Rakyat pun demikian, mereka selalu kalah.

Oleh karena selalu diposisikan sebagai pihak yang kalah, selalu ditekan, maka memunculkan potensi perlawanan luar biasa. Hal itu terjadi manakala tekanan tidak lagi dapat ditolerir. Biasanya perlawanan itu meledak sebagai demonstrasi yang di luar batas, dengan agresivitas yang membabi-buta.

Itulah yang terjadi di Bojong. Di Bojong, kekuasaan tidak lagi berwajah manusiawi, tetapi justru menampilkan kekerdilan manusia. Di Bojong, kekuasaan mengobyekkan manusia menjadi fenomena kebendaan, sampah. Potensi nonmaterial manusia diingkari. Akhirnya, orang pun akan berujar: peristiwa Bojong adalah sampah! (Trias Kuncahyono)

Post Date : 24 November 2004