Sampah dan Pemerintah

Sumber:Kompas - 10 Januari 2004
Kategori:Sampah Jakarta
TIGA tahun lalu seorang koresponden televisi publik Jepang terperangah begitu tiba di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi. "Fantastic..!" katanya dengan ekspresi kagum baur jijik. Selama belasan tahun jadi wartawan yang telah menjelajah berbagai negara, belum pernah ia jumpai gunungan sampah sehebat itu.

SAMBIL mendaki belasan meter gunungan sampah seluas seratusan hektar itu, dia menyebutkan persoalannya bukan pada ketiadaan teknologi canggih untuk mengelolanya, melainkan pada perilaku warga sampai pemerintah terhadap sampah. Terkesan tanpa nada menyombongkan diri, katanya, "Di negeriku otak setiap orang, dari yang bocah sampai lansia, sudah tersetel untuk memilah sendiri mana sampah organik mana yang anorganik."

Prof Oekan S Abdoellah PhD, pakar ilmu lingkungan dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran, Bandung, berpendapat senada. Perilaku dan cara pandang orang terhadap sampah merupakan akar masalah mengapa pengelolaan sampah di kota- kota besar Indonesia begitu amburadul. Juga merupakan penanda niat dan komitmen pemerintah yang rendah membangun sistem kelola sampah yang beradab.

"Selain kesadaran khalayak yang memang dibutuhkan, yang tak kalah penting adalah niat, komitmen, dan kemauan politik pemerintah untuk mempercepat kesadaran khalayak," kata Oekan.

Ia menyebutkan dua indikator untuk mengetahui beres tidaknya pemerintah. Pertama adalah ada tidaknya pengelolaan air bersih di setiap kota dan yang kedua, baik buruknya pengelolaan sampah di setiap kota. "Sama seperti kalau kita ke restoran, kantor, atau rumah orang. Lihat saja WC-nya, maka kita bisa menilai kualitas orang-orang yang bertempat di situ," katanya.

Sebagai ahli yang mengikuti riwayat pengelolaan sampah di Tanah Air, Oekan mengaku bosan dan malu setiap kali hal ini ditanyakan kepadanya. Setiap tahun persoalannya berulang, padahal resep atau konsep pemecahan sudah dipahami banyak orang. "Kebiasaan birokrat kita menyelesaikan masalah apa pun, seperti sampah ini, selalu parsial, latah, dan berorientasi kepada proyek," katanya.

Hal pertama yang harus dibongkar habis, menurut Oekan, ialah cara pandang orang terhadap sampah: dari semula "sampah adalah sampah" menjadi "sampah adalah sumber daya". Kalau cara pandang ini telah terpatri di kepala setiap anak manusia di Indonesia, perilaku yang positif terhadap sampah akan terbentuk. Soalnya, ketika sesuatu sudah diposisikan sebagai sumber daya, orang berpikir akan manfaatnya.

"Setiap orang kan secara alami mencari manfaat bagi dirinya," katanya. "Manfaat konkret apa yang bisa dia dapat ketika sampah menjadi sumber daya, itu yang harus dipahamkan."

Ambil contoh Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. Setiap hari sekitar 6.000 pemulung mendapat penghasilan dari sampah plastik, pecahan gelas atau kaca, dan seng. Dari kegiatan itu, tiap pemulung saban hari bisa mendapat Rp 60.000150.000. Nilai transaksi antara pemulung dan juragan lapak bisa mencapai Rp 1,5 miliar setiap hari.

Ihwal pemanfaatan sampah organik adalah masalah penting di Bantar Gebang. Sementara yang anorganik dikumpulkan pemulung untuk dijual ke pabrik-pabrik pendaur ulang, sampah organik yang dapat diubah menjadi pupuk atau sumber daya bagi pembangkit listrik tenaga uap belum terkelola dengan baik.

Pakar lingkungan Prof (Em) Dr Otto Soemarwoto merujuk Protokol Kyoto dan Mekanisme Pembangunan Bersih sebagai instrumen bagi pengelolaan sampah untuk mendapatkan manfaat yang sangat menguntungkan. "Saran saya, pemerintah daerah di mana pun mempelajari Protokol Kyoto. Protokol supaya sampah tidak dianggap lagi sebagai persoalan, sumber bau, atau sumber penyakit," katanya.

Dalam Protokol Kyoto (1997) yang sampai saat ini belum diratifikasi Indonesia, khususnya pada Annex A, disebutkan bahwa jenis-jenis buangan yang bisa diperdagangkan adalah gas- gas rumah kaca, buangan bahan bakar, serta buangan industri mineral, logam, pelarut, dan limbah.

Persoalannya, kata Otto, Indonesia belum meratifikasi Protokol Kyoto. Jadi, belum banyak pihak yang memahami apa yang bisa dimanfaatkan menurut protokol tersebut. "Semua pihak yang berurusan dengan emisi sebaiknya mempelajari Protokol Kyoto dan pengaturannya melalui Mekanisme Pembangunan Bersih sehingga ketika diratifikasi, mereka bisa segera memanfaatkannya," katanya menambahkan.

Mengapa sampah organik belum termanfaatkan secara maksimal? Pada hemat Oekan, sebabnya ialah sampah organik dan sampah anorganik tidak dipilah-pilahkan sebelum dan setelah memasuki kawasan Bantar Gebang. Bila sampah sudah dipilah-pilah sejak dari rumah tangga, selain efisien pemanfaatan kedua jenis sampah itu, pemulung pun dapat bekerja dalam kondisi yang beradab dan sehat. "Mereka tak perlu mengorek-korek gunungan sampah yang campur-baur," katanya.

Kesadaran khalayak untuk mau memilah sampah organik dan anorganik sebetulnya dapat dipicu dengan memberikan insentif. Tidak sekadar iklan layanan masyarakat versi Pemerintah DKI di radio yang menayangkan percakapan Pak RT yang asal menuduh seorang ibu buang sampah seenaknya, padahal-menurut dialog di iklan itu-si ibu sudah memilah sampah organik dan sampah anorganik sejak di rumahnya. Bentuk insentif itu, misalnya, pengurangan pajak bagi restoran, kantor, dan pusat bisnis yang kooperatif dalam pemilahan sampah ini.

"Kebijakan sederhana seperti itu juga bisa diterapkan kepada para produsen barang-barang konsumsi. Jika produknya ramah lingkungan, diberi pengurangan pajak yang kentara," kata Oekan. "Produksi sampah dengan sendirinya dapat ditekan. Pemerintah jangan kemudian berpikir setoran ke pundi- pundi negara akan berkurang, namun yang dipikirkan justru sebaliknya, bahwa cost yang harus keluar untuk memperbaiki lingkungan yang rusak akan berkurang."

Pada kasus Bantar Gebang, Pemerintah Provinsi DKI tidak dapat bersikap bahwa selama sudah membayar kepada Pemerintah Kota Bekasi untuk urusan sampah, DKI kemudian lepas tanggung jawab begitu saja. "Sikap seperti ini jelas bikin Pemkot Bekasi mentok berpikir, akhirnya memutuskan penutupan TPA," katanya.

HILMI Salim, spesialis kelola sampah dari Kajian Ekologi Industri PPSDAL Unpad, berpendapat, adalah salah memandang pengelolaan sampah sebagai pekerjaan sosial. TPA seharusnya dikelola layaknya sebagai sebuah industri. Karena nilai pokok dalam pengelolaan industri adalah manajemen, hal itu mau tak mau harus dilakukan.

Sistem pembuangan sampah tersentral di satu tempat yang luas seperti Bantar Gebang, menurut Hilmi, sangat tidak efisien baik secara ekonomi maupun ekologi. Sampah seharusnya diletakkan di tempat-tempat pembuangan berdasarkan rayon. Beberapa kecamatan dengan jumlah penduduk tertentu memiliki satu tempat pembuangan sampah sendiri sekaligus tempat pengolahannya. TPA tersentral yang demikian luas akan menjadi persoalan besar jika tiba-tiba ada masalah yang tidak dapat terkendali dengan cepat.

Lalu, sampah yang tiba di tempat pembuangan mesti dipandang sebagai sumber daya yang dapat dibakar, dapat didaur ulang, dan landfill. "Sekarang pemerintah mau gampangnya saja, semua sampah organik dibakar, terus ramai- ramai deh buat proyek beli insinerator," kata Hilmi yang menyebutkan insinerator atau mesin pembakar berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah bukanlah jawaban tepat dan cerdas untuk mengatasi sampah.

"Bayangkan saja kalau sampah landfill dibakar. Kandungan airnya tinggi!" tambahnya. "Sudah bikin polusi udara, buang-buang energi juga. Sangat tidak ekonomis."

Insinerator sebaiknya digunakan untuk sampah rumah sakit yang memang harus dibakar. Potongan daging, perban, atau alat suntik yang mengandung bibit penyakit harus dimusnahkan dengan pembakaran suhu tinggi.

Sementara itu, sampah landfill yang diproduksi pasar dan rumah tangga, seperti sisa makanan, sisa sayur-mayur, atau segala yang cepat busuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan sumber energi untuk membangkitkan listrik dari tenaga uap.

Tempat pembuangan dengan rayonisasi juga mempersingkat waktu dari pengambilan ke tempat pembuangan sampah untuk langsung diolah. Durasi ini penting untuk meminimalkan bau akibat proses pembusukan yang tidak dapat ditunda.

Truk-truk yang menutup sampahnya dengan terpal plastik tebal, menurut Hilmi, adalah cermin betapa orang tidak paham mengelola sampah. Dengan ditutup rapat seperti itu, bau yang timbul akan lebih dahsyat sebab proses anaerob menghasilkan gas asam sulfida, metan, dan licit. Sampah cukup ditutup dengan semacam jaring halus yang memungkinkan proses aerob: menyerap oksigen dan mengeluarkan CO2 yang tidak berbau.

Rayonisasi pembuangan sampah, menurut Hilmi, tidak akan membuat warga sekitarnya terganggu apabila tempat pembuangan dan pengolahan sampah dikelola dengan baik dan tidak menimbulkan polusi. Kompensasi sosialnya, warga sekitar mendapat tambahan subsidi kesehatan dan pendidikan sebagai insentif.

Edi Tri Haryanto, seorang warga di kawasan Margahayu, Bandung, mencontohkan betapa sederhana pengolahan sampah organik itu.

Setiap hari ia pilah sampah organik dan anorganik di rumahnya. Sisa-sisa makanan, kulit buah-buahan, sisa potongan sayur oleh istri dan pembantunya dikumpulkan dalam bekas karung beras, kemudian dicampur dengan serbuk gergajian kayu. Karung lalu diikat dan didiamkan satu hingga dua minggu.

Dalam satu hingga dua minggu, sampah terfermentasi sendiri menjadi pupuk. Warnanya berubah jadi hitam. Pupuk itu ia pakai untuk tanaman tomatnya. "Hasilnya bagus sekali," katanya bangga. "Bahkan, tukang tanaman hias keliling sering kali membeli pupuk organik saya, Rp 5.000 per lima kilogram."

Tetangganya kini mengikuti apa yang ia lakukan bersama istri dan pembantunya.

"Makanya, kalau tukang sampah enggak datang-datang, keluarga saya tenang-tenang saja sebab yang menumpuk paling sampah kering terbungkus plastik yang tidak bikin bau," kata Edi. Syukur masih ada orang Indonesia seperti Edi. Dia layak jadi Gubernur DKI. (SARIE FEBRIANIE/ RAKARYAN SUKARJAPUTRA)

Post Date : 10 Januari 2004