Sampah Elektronik Berbahaya bagi Kesehatan dan Lingkungan

Sumber:Kompas - 14 Mei 2005
Kategori:Sampah Jakarta
PADA abad informasi ini, barang-barang elektronik seperti komputer, telepon genggam, tape recorder, VCD player, dan televisi bukanlah benda yang asing lagi bagi kita. Barang-barang elektronik tersebut bukan hanya akrab di kalangan penduduk kota, tetapi juga telah dikenal dengan baik oleh masyarakat yang tinggal di pelosok desa sekalipun. Dan bahkan, bagi sebagian orang, barang tersebut merupakan kebutuhan vital yang harus terpenuhi seperti layaknya sembako. Kebutuhan akan layanan informasi dan pengolahan data telah menempatkan barang-barang elektronik menjadi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, seperti layaknya barang-barang lainnya, setelah masa tertentu, produk-produk elektronik itu tentu saja menjadi benda yang tidak dipakai lagi karena sudah ada penggantinya dalam versi terbaru atau karena rusak. Jika sudah demikian, barang-barang tersebut menjadi rongsokan elektronik atau sampah yang biasanya mengokupasi sudut- sudut ruang kerja dan gudang di rumah atau kantor kita. Kita kadang kala mengalami kesulitan untuk membuangnya karena tidak semua tukang servis atau pemulung mau menerima rongsokan yang sudah kedaluwarsa dan tidak ada lagi pasarnya.

Tahukah Anda status sampah dari rongsokan elektronik dan tingkat bahayanya? Rongsokan atau sampah elektronik mengandung sekitar 1.000 material, sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) karena merupakan unsur berbahaya dan beracun seperti logam berat (merkuri, timbal, kromiun, kadmium, arsenik, dan sebagainya.), PVC, dan brominated flame-retardants. Merujuk PP Nomor 18 Tahun 1990 jo PP No 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, maka limbah tersebut tergolong limbah B3 berkarakter racun.

Seperi layaknya limbah B3 lainnya, sampah elektronik menimbulkan masalah ketika dibuang, dibakar, atau didaur ulang. Ketika dibuang di TPA, sampah elektronik menghasilkan lindi yang mengandung berbagai macam logam berat terutama merkuri, timbal, kromiun, kadmium, dan senyawa berbahaya seperti polybrominated diphennylethers (PBDE). Logam merkuri dikenal dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf otak, serta menyebabkan cacat bawaan seperti yang terjadi pada kasus Teluk Minamata, Jepang. Sedangkan timbal, selain dapat merusak sistem saraf, juga dapat mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, dan perkembangan otak anak. Timbal dapat terakumulasi di lingkungan dan dapat meracuni tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Sementara itu, kromium dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga mengakibatkan berbagai efek racun, alergi, dan kerusakan DNA. Lantas kadmium adalah logam beracun yang efeknya tidak dapat balik bagi kesehatan manusia. Kadmium masuk ke dalam tubuh melalui respirasi dan makanan dan kemudian merusak ginjal.

Sementara itu, senyawa PBDE merupakan salah satu jenis brominated flame-retardants, suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi tingkat panas (flammability) pada bagian produk elektronik seperti PCB, komponen konektor, kabel, dan plastik penutup TV atau komputer. Ekspos terhadap PBDE diduga dapat merusak sistem endokrin dan mereduksi level hormon tiroksin di hewan mamalia dan manusia sehingga perkembangan tubuhnya menjadi terganggu.

Jenis lain dari brominated flame-retardants adalah polybrominated biphennyls (PBB). Sekali PBB terlepas ke lingkungan, senyawa tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan dan terakumulasi di dalam jaringan makhluk hidup. Seperti halnya ikan-ikan yang hidup di beberapa wilayah perairan Artik (AS), terdeteksi mengandung PBB yang diduga berasal dari lindi (leachate) tumpukan sampah elektronik. Satwa burung dan mamalia, seperti anjing laut yang mengonsumsi ikan di perairan tersebut, pada akhirnya juga mengandung PBB dalam kadar yang cukup tinggi.

SEMENTARA itu, sebuah laporan riset yang dipublikasikan pada 1998 yang menyelidiki insiden tercampurnya PBB ke dalam pakan sapi di Michigan, AS, pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa ekspos terhadap PBB berlanjut dari sapi yang mengonsumsi pakan tersebut ke sembilan juta warga yang mengonsumsi daging sapi itu. Disebutkan, manusia yang mengonsumsinya menghadapi risiko 23 kali lebih tinggi terserang kanker saluran pencernaan, seperti kanker lambung, pankreas, liver, dan limfa.

Oleh karena itu, pembuangan limbah B3 tidak boleh asal timbun, tetapi harus pada timbunan limbah B3 kategori I sesuai Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Limbah B3.

Pembakaran sampah elektronik di insinerator juga sangat berbahaya karena menghasilkan dioksin dan logam berat. Senyawa polyvinylchloride (PVC) biasanya terdapat di kabel dan bodi barang elektronik, ketika dibakar akan membentuk polychlorinated dibenzodioxins (dioksin) dan polychlorinated dibenzofurans (furan), suatu senyawa yang bersifat persisten, terakumulasi secara biologis, dan bersifat karsinogen. Selain itu, dioksin juga mengganggu sistem hormon, memengaruhi pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan sistem kekebalan tubuh. Diketahui pula bahwa slag, fly ash, flue gas, dan filter cake yang dihasilkan dari pembakaran sampah elektronik mengandung logam berat yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika insinerator sampah, seperti yang berada di Kanada dan AS, menjadi sumber utama pencemaran dioksin dan logam berat di udara.

Usaha untuk mendaur ulang sampah elektronik juga menghadapi masalah karena dalam prosesnya sulit dan berisiko tinggi terhadap para pekerja, serta menghasilkan produk-produk sekunder yang beracun. Sebagai contoh, proses extruding dalam kegiatan daur ulang plastik dari sampah elektronik dan proses recovery logam menghasilkan PBDE, dioksin, dan furan. Di Swedia contohnya, para pekerja yang bekerja di fasilitas daur ulang sampah elektronik setiap harinya terekspos PBDE yang lepas ke udara sehingga darahnya mengandung PBDE 70 kali lipat dibandingkan dengan paramedis di rumah sakit.

Mengingat risiko dan sulitnya mendaur ulang sampah elektronik, beberapa negara maju membuang barang elektronik yang sudah "kedaluwarsa" sebelum jadi sampah, seperti komputer, ke negara sedang berkembang atas nama barang elektronik second. Bagi negara pengimpor, untuk sementara memang diuntungkan dengan barang elektronik harga murah meriah, tapi dalam jangka panjang harus menanggung beban pencemaran lingkungan B3 dari komponen-komponen rongsokan elektronik. Sedangkan bagi negara pengekspor mendapatkan keuntungan lingkungan terbebas dari B3 dan penghematan anggaran di mana biaya ekspor lebih murah 10 kali lipat daripada mendaurulangnya.

Ekspor produk elektronik atau limbah B3 dari negara maju ke negara-negara sedang berkembang tentu saja sangat memprihatinkan sehingga pada tahun 1989 masyarakat dunia menyusun Konvensi Basel tentang Transboundary Movement of Hazardous Waste for Final Disposal untuk menghentikan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) membuang limbah B3 lintas negara. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 melalui Keppres No 61/1993 dalam rangka mencegah masuknya limbah B3 karena Indonesia juga merupakan salah satu sasaran pembuangan limbah B3. Saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel berjumlah 164 negara.

Pertemuan para pihak pada Konvensi Basel, Maret 1994, telah melarang semua ekspor limbah B3 untuk pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD. Para pihak juga memutuskan melarang semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, mulai 31 Desember 1997. Namun , kegiatan ekspor-impor limbah B3, termasuk sampah elektronik, terus berlanjut. Berbagai lobi ekspor-impor komputer second tetap dilakukan oleh AS, misalnya terhadap beberapa negara seperti China dan Taiwan. Hal itu tentu saja bertentangan dengan Konvensi Basel dan mengundang reaksi keras para aktivis lingkungan dunia.

Pemusnahan ataupun pendaurulangan menyeluruh rongsokan elektronik memang boleh dikatakan tersendat-sendat dan menemui jalan buntu, padahal laju produksi sampah elektronik terus membubung tinggi. Laju produksi sampah elektronik naik karena sebagian besar produk elektronik, seperti komputer, mempunyai masa pakai yang semakin pendek karena produsen hardware dan software secara konstan menciptakan program-program baru untuk memenuhi kebutuhan akan proses data yang lebih cepat dan memori yang lebih besar. Dalam tahun 1997, masa pakai rata-rata CPU komputer antara 4 sampai 6 tahun dan monitor 6 sampai 7 tahun. Sementara itu, pada 2005 ini masa pakainya menjadi sekitar 2 tahun (US EPA, 1998). Selain itu, saat ini harga komputer relatif semakin murah sehingga lebih nyaman membeli komputer generasi baru daripada meng-upgrade yang lama.

SEBUAH studi di AS mengetengahkan bahwa pada 2004 terdapat sekitar 315 juta komputer yang tidak terpakai lagi alias menjadi sampah. Nasib akhir dari rongsokan tersebut adalah ditumpuk di gudang, dibuang di TPA, dibakar di insinerator, atau diekspor ke negara lain. Hanya sekitar 6 persen yang didaur ulang. Di Indonesia, sejauh ini belum ada data seberapa banyak sampah elektronik yang diproduksinya, tapi diperkirakan produksinya akan terus meningkat seiring dengan kemajuan zaman.

Salah satu usaha untuk meminimalisir sampah elektronik adalah dengan menerapkan program extended producer responsibility (EPR), suatu program di mana produser bertanggung jawab mengambil kembali (take back) produk-produk yang tidak terpakai lagi. Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produser meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumber daya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses. Produser harus bertanggung jawab terhadap semua hal, termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya.

Saat ini, Masyarakat Eropa khususnya, telah menyusun draf Undang-undang (UU) sampah elektronik berdasarkan konsep EPR. Tujuan dari UU tersebut agar pembuat barang elektronik mengembangkan desain produknya dalam rangka menghindari timbulnya limbah dan untuk memfasilitasi usaha recovery dan pembuangan sampah elektronik. Tujuan utamanya adalah membuat siklus produksi tertutup sehingga produser dapat menarik kembali produknya dan bertanggung jawab penuh terhadap biaya penanganannya.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong produksi barang elektronik yang dirancang mudah untuk diperbaiki, di-upgrade, reuse, dan aman ketika didaur ulang. Jika draf UU tersebut jadi diundangkan, mungkin akan menjadi contoh UU sampah elektronika bagi negara di belahan dunia lainnya.

Ir Sri Wahyono, MSc Peneliti Masalah Persampahan di P3TL-BPPT

Post Date : 14 Mei 2005