Sampah, Memang Sampah

Sumber:Kompas - 07 Maret 2011
Kategori:Sampah Jakarta

Cara pandang sebagian besar warga Jakarta dalam menangani sampah ternyata belum berubah, masih sebatas membuang. Rumah tangga sebagai penghasil sampah terbesar belum melakukan upaya daur ulang dengan reduce, reuse, recycle.

Survei Litbang Kompas terhadap perilaku warga DKI Jakarta dan sekitarnya dalam mengelola sampah memperlihatkan, mayoritas responden menyerahkan urusan sampah sepenuhnya kepada petugas. Lebih dari 90 persen responden menyatakan, sampah yang dikumpulkan di rumah mereka diangkut oleh petugas kebersihan.

Dengan membayar iuran kebersihan mulai Rp 2.000 hingga Rp 600.000 per bulan, urusan sampah di tingkatan rumah tangga terselesaikan. Ke mana sampah dibawa selanjutnya menjadi urusan petugas atau pemerintah setempat.

Kondisi seperti ini merata terjadi di kalangan warga yang tinggal di kompleks perumahan. Sebanyak 96,4 persen responden yang tinggal di kompleks perumahan menyatakan hal itu. Warga yang tinggal di perkampungan biasa pun sebenarnya sama saja (84,6 persen). Namun, masih ada yang langsung membakar sampah yang dikumpulkan, menimbun, atau mengolahnya menjadi kompos.

Pengelolaan sampah dengan menyerahkannya kepada petugas kebersihan untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) ini disebut sebagai sistem pengelolaan sampah terpusat. Namun, sistem ini mulai menimbulkan banyak permasalahan di perkotaan.

Pasalnya, lahan di kota sangat terbatas sehingga TPA berlokasi di luar kota. Contohnya, Jakarta membuang sampahnya di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, kapasitas TPA juga terbatas sehingga banyak sampah tidak tertampung. Sementara sampah yang sudah sampai di TPA biasanya dalam keadaan tercampur dan sulit dimanfaatkan lagi.

Kinerja dinas kebersihan dalam sistem terpusat ini pun kurang memuaskan warga. Banyak sampah tidak terangkut. Untuk tahun 2010 saja, dari produksi sampah yang mencapai 6.594 ton per hari, hanya 84 persen yang terangkut hingga TPA. Hal ini disebabkan minimnya sarana kebersihan.

Jumlah sarana kebersihan yang tersedia di tempat penampungan sementara di Jakarta pun cenderung berkurang. Contohnya, pool container pada tahun 2006 tersedia 117 unit, tetapi tahun 2009 tersisa 97 unit.

Tak heran jika separuh lebih responden menilai kinerja dinas kebersihan masih buruk. Sejumlah persoalan, seperti menyediakan tempat pembuangan sampah (di antaranya bak sampah, kontainer, dan tempat penampungan sementara), memilah sampah, serta mengolah sampah menjadi sumber energi masih dipersoalkan responden.

Problem kita

Untuk mengatasi masalah tersebut, pengelolaan sampah terpusat ini perlu diubah menjadi sistem yang terdesentralisasi. Basisnya adalah rumah tangga. Sistem ini berupaya meminimalkan sampah yang harus dibuang ke TPA dan diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis sampah di rumah tangga. Prinsipnya, mengelola sampah harus dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Prosesnya diawali dengan pemilahan sampah organik dan anorganik di tingkat rumah tangga.

Dari sinilah konsep reduce, reuse, recycle (3R) bergulir. Tujuannya adalah pengurangan produksi sampah dari sumbernya, penggunaan kembali barang yang masih dapat digunakan, dan daur ulang.

Program 3R yang diupayakan dengan pemberdayaan masyarakat di DKI Jakarta telah dilaksanakan sejak tahun 2007 dan diterapkan di 94 titik kawasan permukiman. Namun, hingga 2010, kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini hanya mampu mengurangi sampah sebanyak 752 meter kubik per hari. Padahal, Dinas Kebersihan DKI Jakarta menargetkan penurunan volume sampah sampai 12-15 persen pada tahun 2012.

Belum maksimalnya program 3R diperkuat survei Kompas yang menyimpulkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengurangan sampah masih terhenti pada tataran pengetahuan. Partisipasi belum banyak dilakukan.

Mayoritas warga cukup mengetahui soal ajakan mengurangi, memilah, dan mengelola sampah. Bahkan, sekitar 80 persen responden sudah memandang sampah sebagai sumber daya bernilai ekonomi jika diolah menjadi kompos, aneka kerajinan seperti tas, hiasan rumah tangga, serta gas metana. Namun, hanya sebagian kecil yang sudah memilah sampah (30,8 persen) dan memanfaatkan sampah rumah tangga untuk kompos (22 persen).

Meski demikian, hampir 70 persen responden mengaku sudah berupaya mengurangi sampah plastik dan kemasan kertas. Langkah itu, misalnya, menggunakan tas kain atau dus untuk berbelanja, memanfaatkan kembali barang kemasan untuk kegunaan lain (reuse), dan sekadar menghemat barang.

Kisah warga Kampung Banjarsari di Kecamatan Cilandak, yang pernah sukses mengolah sampah mandiri, mulai memudar. Jika upaya partisipasi warga tersebut tidak didukung, sampah akan menjadi ancaman. Apalagi, jika cara pandang bahwa urusan sampah hanya bagian dari pelayanan publik tidak berubah, siap-siap kota ini tertimbun sampah warganya. M PUTERI ROSALINA (Litbang Kompas)



Post Date : 07 Maret 2011