Sampah Membuat Burung dan Ikan Pergi

Sumber:Kompas - 23 April 2010
Kategori:Sampah Jakarta

Sepintas, Pulau Rambut yang menjadi surga 22 jenis burung masih seperti dulu. Dari menara di pulau itu, tampak rerimbunan pohon memutih karena kotoran jutaan burung yang terbang lalu lalang.

Tetapi, apa kata seorang staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam Taman Nasional, Marman, Senin (19/4)? ”Saya tidak memiliki angka tepatnya, tetapi pasti bahwa sebagian burung di sini mulai bermigrasi karena mulai sulit mencari ikan. Tetapi, jangankan burung, penduduk Kepulauan Seribu yang menjadi nelayan pun sudah jauh berkurang. Mereka kemudian membuka rumah-rumah yang disewakan untuk wisatawan meski kurang prospektif,” ungkapnya.

Penyu sisik

Menurut Marman, mudah mengukur tingkat kebersihan laut dan pantai. ”Lihat saja jumlah penyu sisik. Kian sedikit atau berkembang pesat,” ucapnya.

Penyu sisik hanya tinggal di lingkungan yang bersih dari sampah. Kini, penyu jenis ini hanya berkembang di Pulau Peteloran dan Pulau Penjaliran, Kepulauan Seribu Utara saja. Namun, kadang juga terlihat di Pulau Sepa dan Pulau Kotok.

Pencemaran sampah ini bukan saja membuat jumlah ikan dan penyu berkurang, tetapi juga merusak tanaman mangrove yang berfungsi melindungi pulau-pulau dari abrasi air laut.

Wakil Bupati Kepulauan Seribu Natsir Sabara di ruang kerjanya menambahkan, Suku Dinas (Sudin) Kebersihan Kepulauan Seribu sudah ditiadakan sejak tahun 2008. Untuk mengatasi sampah, ia menugaskan lurah untuk menggantikan peran Sudin Kebersihan.

Akibatnya, kemampuan membersihkan sampah jauh berkurang. Perangkat lurah cuma mampu membersihkan sampah di darat, sedangkan sampah di laut tak teratasi.

Menurut Natsir, volume sampah di perairan setiap hari mencapai 50 meter kubik. Sampah berasal dari 13 sungai di Jakarta dan sungai-sungai lain di Tangerang dan Bekasi.

Ia mengakui, sampah telah merusak ekosistem di Kepulauan Seribu. ”Bukan cuma mangrove, ikan, atau penyu saja yang rusak, tetapi juga terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan,” tutur Natsir.

Makin suram

Kehidupan penduduk Kepulauan Seribu yang kian suram tergambar dari kesibukan sekelompok ibu di Pulau Untung Jawa. Pada Senin sore itu, beberapa ibu sedang membuat keripik sukun dan sukun goreng.

Mereka membuat penganan itu di bawah gubuk di tepi jalan. Dua perempuan mengupas sukun. Empat perempuan lain mengiris sukun tipis-tipis, sedangkan seorang perempuan lain berdiri menggoreng sukun dengan wajan besar. Api menyala dari tungku yang penuh kayu bakar.

Ina (50), salah seorang ibu itu, menjelaskan, ibu-ibu di Pulau Untung Jawa mulai mengembangkan usaha kecil ini saat usaha sewa rumah bagi para wisatawan kian tak menentu.

”Ongkos pemeliharaan dan pemasukan dari tamu tak sebanding,” ujarnya.

Kondisi inilah, yang memaksa Ina dan keluarganya mulai mengembangkan usaha sukun goreng dan keripik tahun 1980. Kala itu, pohon sukun masih mudah ditemui di Pulau Untung Jawa maupun di beberapa pulau lain di Kepulauan Seribu.

”Di mana-mana pohon sukun, srikaya, dan ceremai. Awalnya, kami mengambil buah-buah sukun gratis dari tetangga. Karena banyak tetangga mengikuti jejak kami, akhirnya kami harus membeli buah sukun,” ucap Ani (30), anak sulung Ina.

Karena jumlah penduduk bertambah, banyak pohon sukun ditebang. ”Lama-lama pohon sukun habis. Kami terpaksa membeli sukun dari Tanjung Burung, Tanjung Kait di Serang, Banten,” ujar Ina, warga RT 1 RW 3, Kelurahan Untung Jawa itu.

Usaha ini hanya berlangsung sekali enam bulan, yaitu saat turis berdatangan ke Kepulauan Seribu. Saat panen rezeki seperti ini, delapan kelompok ibu-ibu pembuat penganan ini masing- masing mampu mengolah 3.000 sukun dengan omzet mencapai Rp 10 juta. Setiap Rp 1 juta, mereka bisa menangguk untung Rp 200.000. Itulah usaha terakhir yang masih menguntungkan warga Kepulauan Seribu.

Praktisi industri wisata, Taufik Risanto, yang ikut dalam rombongan kunjungan wartawan dan manajemen Coca-Cola di Kepulauan Seribu, Senin-Selasa (20/4) mengatakan, kepulauan ini memang belum bisa diharapkan menjadi kawasan tujuan wisata yang menarik.

”Biaya transportasinya yang sangat mahal masih belum sebanding dengan apa yang bisa dinikmati oleh wisatawan di kepulauan ini,” ucapnya.

Lebih miris lagi, di tengah usaha yang serba terbatas ini, warga di Kepulauan Seribu, masih didera lagi dengan persoalan persediaan air minum bersih.(WINDORO ADI)



Post Date : 23 April 2010