Sanitasi Buruk Tambah Derita Bagi Pengungsi

Sumber:Kompas - 24 Januari 2005
Kategori:Sanitasi
Banda Aceh, Kompas - Meski sudah hampir satu bulan gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara berlalu, persoalan pengungsi belum juga dapat diselesaikan. Sekitar 555.150 pengungsi yang tersebar di 64 titik pengungsian, masih mengalami persoalan sanitasi. Air untuk minum, mandi, mencuci, dan kakus jauh dari memadai, dan menjadi sumber berbagai penyakit, antara lain disentri, infeksi saluran pernapasan, dan kolera.

Sementara itu, upaya relokasi pengungsi serta pembangunan kembali wilayah asal pengungsi, masih belum juga jelas. Bahkan, untuk kawasan yang tidak perlu tata ruang yang rumit, seperti di kawasan pedesaan, di pesisir pantai barat NAD.

Di luar Banda Aceh, upaya relokasi pengungsi malah terlihat lebih jelas. Selain di Meulaboh, upaya relokasi juga dilakukan di Bireuen yang kini menyiapkan 3.000 hektar untuk areal relokasi pengungsi.

Pemantauan Kompas di sejumlah lokasi pengungsian di Banda Aceh, Minggu (23/1), memperlihatkan pengungsi yang menghuni tenda-tenda membuat sendiri pembuangan limbah, seperti air sisa cucian, mandi dan memasak.

Di tempat pengungsian TVRI Banda Aceh di kawasan Mataie semua limbah dapur dan sisa cucian dan mandi diarahkan ke satu kawasan yang lebih landai sebagai muara limbah sehingga menjadi cikal bakal kubangan.

Hingga kini pemerintah mencatat jumlah pengungsi mencapai 555.150 orang di 64 lokasi di 16 kabupaten/kota. Para pengungsi yang tendanya relatif jauh dari pusat sumber air, seperti dari kamar mandi permanen di barak militer atau masjid/meunasah memilih beraktivitas di tenda masing-masing. Akibatnya, pemandangan deretan dapur darurat berjajar di tenda-tenda yang penuh sesak dengan perabot sederhana. Deretan ember berisi air bersih untuk mencuci pun tanpa ada lokasi pembuangan yang memadai, terlihat dimana-mana.

Pemandangan yang tampak adalah ketidakteraturan. Tenda berukuran 15 X 6 meter, di beberapa lokasi pengungsian dihuni tujuh keluarga yang semuanya memiliki peralatan memasak dan mencuci. Bahkan, ada yang memuat 15 keluarga. Sementara, tak ada alur pembuangan limbah cucian.

Para pengungsi yang hampir semuanya kehilangan rumah dan sanak keluarga, mengaku tak mampu berbuat apa pun selain beradaptasi dengan kondisi darurat itu. "Memang sulit karena jumlah pengungsinya banyak. Pelan-pelan kita aturlah," kata Kepala Dinas Perkotaan dan Permukiman NAD Mawardy Nurdin, kemarin.

Demikian pula di pengungsian Asrama Secata Mata Ie, Aceh Besar, para pengungsi memilih buang air di semak belukar. Hal itu terpaksa mereka lakukan karena MCK yang ada bau dan kotor.

Di lokasi tersebut, sebagian pengungsi memanfaatkan kamar mandi barak militer di sebelah dapur umum untuk mencuci atau mandi. Namun, air mengalir hanya pagi dan sore.

Mengenai kakus-kakus yang penuh dan tidak disedot, Mawardy mengatakan akan kendala di lapangan. Mobil penyedot kakus yang dipesan dari Jakarta tertahan di Lampung.

Pengungsi di Ujong Batee hingga Krueng Raya, Aceh Besar, kondisinya lebih parah lagi. Tak ada sarana MCK dan sanitasi air di sana. Warga menghuni tenda-tenda dan rumah panggung sederhana di tengah perkebunan. Warga yang ingin buang air tak ada pilihan lain selain pergi ke tengah kebun, lalu ditinggal begitu saja.

Sejumlah relawan sudah berupaya menjadikan sanitasi tempat pengungsian menjadi lebih baik. Penampungan pengungsi warga dari kawasan Lhok Nga di Desa Lam Kruet Kecamatan Lhok Nga misalnya cukup baik tertata. Tenda-tenda putih dari bantuan berdiri teratur.

Namun, menurut Tanguy Charrel dari relawan dari Pompiers Sans Frontieres salah satu LSM dari Perancis yang bersama sejumlah LSM berada di permukiman itu, sanitasi tetap merupakan persoalan besar.... "Kalau terus-menerus begitu lingkungan kotor ini menjadi sumber penyakit" tutur Tanguy.

Menurut Mawardy, perbaikan sistem sanitasi dan MCK akan dibenahi pada saat pembangunan rumah untuk relokasi yang rencananya dibangun 24 unit. Desainnya, satu kakus berbanding 25 warga. . "Semua akan dibenahi saat relokasi. Saat ini pengungsi kami beri cangkul untuk membuat sanitasi sendiri, sambil menunggu relokasi," katanya.

Ingin Pindah

Banyak pengungsi yang makin tidak sabar untuk keluar dari lokasi pengungsian dan memulai hidup yang baru. Meski masih belum jelas akan tinggal di mana dan apa yang akan dilakukan untuk memperoleh penghasilan. "Kami sudah tak tahan kami disini. Tidak ada yang bisa dikerjakan. Anak-anak juga rewel minta pulang sementara kami tak punya rumah lagi," kata Mohammad Isfa yang tinggal di lokasi pengungsian Asrama Sekolah Calon Tamtama, Mataie.

"Bukan kami tidak mau kerja. Apa yang bisa kami lakukan disini. Kalau dulu kami bisa bekerja dapat uang sedikit-sedikit. Sekarang macam mana? Kami hanya menunggu bantuan datang," tambah Aminullah.

Para pengungsi juga semakin khawatir dan gelisah dengan pengumuman pemerintah bahwa pengungsi di Mataia akan direlokasi tahun depan.

Para pengungsi meminta agar rencana relokasi segera dilaksanakan. Dari rapat Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanganan Bencana Aceh, Sabtu malam, dilaporkan 300 pengungsi telah direlokasi dari Bandara Sultan Iskandar Muda. Renananya relokasi disiapkan untuk 400.000 orang.

3.000 hektar relokasi

Pemerintah Kabupaten Bireuen menyiapkan tiga lokasi seluas 3.000 hektar untuk merelokasi pengungsi korban bencana yang sampai sekarang masih tinggal di tenda-tenda darurat. Mereka akan memberikan lahan dua hektar kepada tiap keluarga korban bencana agar bisa bekerja di sektor pertanian. Bupati Bireuen Mustafa Glanggang di Bireuen, Mingggu, mengatakan, lahan tambak dan tanah nelayan yang masih tersisa di daerah pesisir akan tetap diserahkan kepada pemilik aslinya. Mereka tetap boleh mengusahakan areal tambak itu, atau tetap berprofesi sebagai nelayan, tetapi tidak bisa lagi tinggal di pantai karena rawan bencana.

Namun, keinginan pemerintah Kabupaten Bireuen itu menghadapi banyak kendala mengingat banyak korban bencana yang ingin kembali ke daerah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan atau petani tambak seperti semula.

Mustafa mengatakan, untuk relokasi pihaknya berjanji untuk tidak akan memaksa masyarakat untuk pindah. "Kami akan menggunakan pendekatan baik-baik dan pelan-pelan," katanya.

Di Kecamatan Jeunib, Bireuen, ratusan pengungsi mengaku ingin kembali ke kampung mereka. yang telah hancur terkena tsunami. Kami ingin kembali ke kampung kami, yang nelayan kembali melaut dan yang punya tambak kembali bekerja di tambak," kata Burahanuddin, Kepala Desa Teupien Keupula, Jeunib.

"Walaupun kami diberi sawah, kami tidak bisa memakai cangkul," kata Marzuki (40), Sekretaris Desa Geunting Barat, Kecamatan Batee.

Sementara itu, Pemkab Aceh Utara, menginginkan agar para pengungsi kembali kehabitat mereka semula. "Tidak mungkin kami merelokasi nelayan yang terbiasa dengan kehidupan laut beralih menjadi petani di sawah," kata Bupati Aceh Utara Teuku Alamsyah Banta. (AIK/gsa/luk/nic/ush)

Post Date : 24 Januari 2005