Sanitasi Kunci Kualitas Lingkungan

Sumber:Media Indonesia - 21 Juni 2011
Kategori:Sanitasi

PERSOALAN air bersih dan sanitasi kian menjadi sorotan global. Selain dicanangkan sebagai salah satu Target Pembangunan Milenium (MDGs), kedua isu tersebut juga ditetapkan sebagai hak asasi manusia pada Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB), pertengahan tahun lalu.

Meski begitu, kecenderungan pertumbuhan sanitasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sangat rendah. Ancaman krisis air bersih yang ada di depan mata tak lantas membuat isu mengenai air dan sanitasi jadi perhatian publik.

Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Budi Yuwono menyatakan rendahnya pertumbuhan sanitasi di Indonesia tidak hanya terganjal keterbatasan infrastruktur semata, tapi juga lantaran minimnya kesadaran masyarakat akan fungsi vital sanitasi.

Hal itu, menurutnya, terlihat dari data yang dipa parkan Badan Perencanaan dan Pemba ngunan Nasional ( Bappenas) yang menyatakan bahwa hingga 2009 hanya sekitar 51,19% rumah tangga di Indonesia yang telah mendapatkan akses sanitasi layak.

“Ini berarti ada hampir 50% anak Indonesia yang terancam tumbuh kembangnya akibat sanitasi buruk.

Karena itu, yang terpenting bukan hanya meningkatkan infrastruktur, tapi juga kesadaran masyarakat,” ujarnya kemarin.

Padahal, menurut Kepala Pengolahan Limbah dan Sanitasi Lingkungan Lippo Karawaci Cornelia Retno, persoalan air dan sanitasi memegang peranan yang penting dalam sebuah kawasan hunian karena dapat memperbaiki kesehatan lingkungan dan warganya.

“Jika persoalan air dan sanitasi tidak mendapat perhatian khusus, krisis air bersih pada beberapa tahun ke depan bisa menjadi ancaman. Karena itu, dukungan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan, apakah itu melalui edukasi, pendampingan, maupun kebijakan,” imbuhnya.

Perbaiki Mutu


Salah satu contohnya dengan mendorong pengembang perumahan agar tidak menggunakan konsep hunian hijau semata sebagai riasan ataupun strategi pemasaran.

Persoalan lingkungan, tegasnya, seharusnya ditanggapi serius melalui penerapan konsep sustainable city.

Menurut Retno, setiap kawasan hunian perlu memiliki konsep konservasi air yang memiliki sejumlah fungsi, di antaranya sebagai langkah penghematan air dan pengendalian banjir di musim hujan. Konservasi, ia memerinci, dapat dilakukan melalui tiga cara.

Pertama, melalui instalasi pengolahan air bersih yang disuplai perusahaan daerah air minum. Air curah itu kemudian diolah supaya bisa digunakan untuk konsumsi masyarakat sehari-hari.

Kedua, melalui instalasi pengolahan air limbah domestik dari kegiatan rumah tangga dan komersial. Selanjutnya, dengan pembuatan danau resapan air hujan.

“Hasilnya, bukan hanya kawasan akan selalu bebas banjir pada musim hujan, tapi juga sekitar 20% air daur ulang itu bisa dimanfaatkan untuk irigasi penghijauan kawasan. Dengan konsep itu, ia menjamin penghuni kawasan itu tidak akan pernah kehabisan suplai air bersih. Ini yang dinamakan sustainable city atau kota berkelanjutan,” tuturnya.

Ia mengakui investasi untuk konsep sanitasi seperti itu memiliki nilai akumulatif yang cukup tinggi. Namun, setelah lebih dari 10 tahun kawasan tersebut berdiri, nilai investasi sudah kembali, bahkan pos itu sudah bisa membiayai dirinya sendiri.

Sementara itu, laporan Economic Impact of Sanitation in Indonesia menyebutkan sanitasi buruk juga menjadi penyumbang bagi meningkatnya penyakit diare.

“Sanitasi yang buruk menyebabkan Indonesia mengalami sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50 ribu kematian dini tiap tahun,” ujar Retno.

Untuk itu, pemerintah akan mengalokasikan APBN sebesar Rp14,2 triliun bagi pembangunan infrastruktur sanitasi pada 2010-2014.

Indonesia sendiri menargetkan peningkatan akses sanitasi rumah tangga yang berkelanjutan menjadi 62,41% pada 2015. (Csi/M-1)



Post Date : 21 Juni 2011