Sanitasi total yang dipimpin masyarakat

Sumber:Pos Kupang - 01 November 2008
Kategori:Sanitasi

KESEHATAN sangat diidamkan oleh setiap manusia dengan tidak membedakan status sosial maupun usia. Semua mempunyai keinginan yang sama untuk mempunyai tubuh yang sehat. Tubuh yang sehat selain menguntungkan diri sendiri juga berguna bagi perkembangan kemajuan suatu bangsa dan negara.

Kita hendaknya menyadari bahwa kesehatan adalah sumber dari kesenangan, kenikmatan dan kebahagian. Karena itu, adalah bijaksana bila kita selalu memelihara dan meningkatkan kesehatan. Untuk mempertahankan kesehatan yang baik kita harus mencegah banyaknya ancaman yang akan mengganggu kesehatan kita. Ancaman yang paling berbahaya adalah kedunguan yaitu ketidaktahuan atau tahu tapi tidak mau melaksanakan (Entjang; 2000).

Ancaman lainnya terhadap kesehatan adalah pembuangan kotoran (faeces dan urina) yang tidak menurut aturan. Buang Air Besar (BAB) di sembarangan tempat itu berbahaya. Karena itu akan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit lewat lalat, udara dan air.

Apa maksudnya?

CLTS (Community Lead Total Sanitatian) atau dalam bahasa Indonesia terjemahannya lebih kurang Sanitasi Total Yang Dipimpin Oleh Masyarakat adalah sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi. Pendekatan ini mulai berkembang tahun 2001. Awal mulanya hanya pada beberapa komunitas di Bangladesh, namun saat ini sudah diadopsi secara massal di negara tersebut. Bahkan Propinsi Maharasthra wilayah dari negara bagian di India telah mengadopsi secara massal pendekatan CLTS ke dalam program pemerintah yang disebut program Total Sanitatian Compaign (TSC). Selain itu, dinegara-negara tertentu yaitu Cambodia, Afrika, Nepal, dan Mongolia sudah pula menerapkan pendekatan itu.

Tujuan CLTS

Kegiatan CLTS ini lebih ditekankan pada perubahan perilaku kebiasaan masyarakat dari yang masih Buang Air Besar (BAB) di sembarang tempat (open defecation) ke tempat yang berkonsentrasi (jamban). Jamban ini diusahakan dari bahan lokal (bukan terbuat dari konstruksi beton bertulang) karena sasaran CLTS ini pada masyarakat pedesaan. Dengan adanya jamban yang sederhana tersebut lingkungan akan menjadi lebih sehat dan penyakit yang disebabkan akibat dari BAB di sembarangan tempat bisa diminimalisir. Kalau masyarakat sudah bisa dan biasa BAB di jamban tersebut dan sudah dapat merasakan keuntungannya secara perlahan, masyarakat dengan sendiriny akan membuat jamban yang permanen serta lebih memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Perubahan perilaku BAB ini tidak gampang. Sebagai contoh kalau sudah terbiasa BAB di sungai yang kakinya terendam air, merasa dingin, melihat pemandangan dan terasa nyaman lalu harus berpindah BAB di jamban dengan ruang yang sempit, sumpek dan gelap adalah sangat sulit. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengubah perilaku tersebut. Secara klasik perubahan perilaku tersebut sering diutarakan oleh kebanyakan orang, baik yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak sekolah sama sekali, yaitu bahan mengubah perilaku tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan pendekatan CLTS secara bertahap diharapkan akan terjadi perubahan baik secara evolusi maupun secara revolusi. Hal ini akan tergantung dari sumber daya manusia yang ada pada lokasi kegiatan.

Prinsip-prinsip CLTS

Prinsip utama dari CLTS yaitu: pertama, tidak ada subsidi terhadap pembangunan infrastruktur (jamban keluarga). Masyarakat dilatih untuk membantu diri sendiri dan memulai dari apa yang dimiliki (kemauan, tenaga dan bahan lokal). Berbeda dengan program lainnya, baik dari pemerintah atau penginisiatif, yang selalu memberikan subsidi yang mendorong masyarakat berperan aktif mengikuti programnya. Kedua, peran aktif seluruh lapisan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemakaian sehingga masyarakat merasa memiliki, dengan demikian masyarakat bisa menjaga/memelihara dan tidak ada ketergantungan dengan pihak luar. Ketiga, masyarakat sebagai pemimpin. Keempat, tidak menggurui dan tidak memaksa.

Banyak faktor yang mempengaruhi BAB di sembarangan tempat, yaitu (i) kekurangtahuan tentang kesehatan, (ii) merasa nyaman dan aman karma sudah dilakukan bertahun-tahun (turun temurun) tidak terkena penyakit, (iii) dan masih mendukung yaitu bisa BAB di sungai dan pantai atau di lahan pekarangan karena masih luas, (iv) masih beranggapan bahwa untuk membuat jamban diperlukan biaya yang mahal, (v) tidak ada sanksi.

Untuk menggugah masyarakat supaya memahami kegiatan ini perlu diperkenalkan beberapa program kesehatan. Di antaranya kegiatan CLTS dalam bentuk diskusi bersama dengan masyarakat. Pada saat tersebut masyarakat akan mengetahui bahwa jika masih BAB di sembarangan tempat : (i) gampang terkena penyakit yang disebarkan lewat lalat, udara, air bahkan lewat tangan, (ii) rasa malu dilihat orang lain, (iii) rentan terhadap serangan binatang buas, (iv) merugikan orang lain. Hal ini bertentangan dengan adat ketimuran kita Serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengajak masyarakat membandingkan dengan desa lain yang kondisinya lebih jelek (tidak mampu), namun bisa membangun jamban keluarga tanpa bantuan orang lain. Dengan demikian masyarakat di desa tersebut terpicu untuk segera memiliki jamban sederhana, memenuhi aturan kesehatan. Menurut Ehlers dan Steel, ada beberapa persyaratan jamban yang sehat, dua di antaranya yaitu, pertama, kotoran tidak boleh terbuka sehingga menjadi tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya, kedua, jamban harus terlindung dari penglihatan orang lain.

Pelaksanaan CLTS

Pelaksanaan CLTS di Indonesia diperkirakan tahun 2002. Sebagai uji coba dilaksanakan di 5 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Sedangkan propinsi lainnya dilaksanakan secara bertahap. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur mulai diperkenalkan tahun 2006.

Di Propinsi Nusa Tenggara Timur jumlah desa sebanyak 2.463 buah dan jumlah kelurahan sebanyak 299 buah, total jumlah desa dan kelurahan 2.762 buah. Sedangkan jumlah rumah tangga sebanyak 881.120 KK (4.185.774 jiwa) Dari jumlah KK tersebut yang telah memiliki jamban dapat dirinci sebagai berikut (i) memakai leher angsa 205.748 buah, (ii) plesengan 140.576 buah, (iii) cemplung 271.269 buah, dan (iv) lainnva 67.034 buah. Total semuanya 648.627 buah (NTT dalam angka 2005). Ini berarti KK yang masih BAB di sembarang tempat atau yang belum memiliki jamban, . sebanyak 96.393 KK. Asumsi 1 KK : 5 jiwa, maka yang BAB di sembarang tempat sebanyak482.165 jiwa (11,5 %).

CLTS di NTT

Kalau melihat data kepemilikan jamban di NTT, maka sebaiknya program CLTS ini terus diperkenalkan agar masyarakat perlahan-lahan bisa BAB secara terkonsentrasi. Tugas ini memerlukan kerja sama lintas sektor (stakeholder). Kegiatan ini sangat bisa dilaksanakan di NTT. Hal ini sudah terbukti pada tahun 2006 Kabupaten Sumba Barat telah berhasil melaksanakan CLTS di 2 desa. Diharapkan pada tahun-tahun selanjutnya dapat berkembang di desa-desa lain, baik di Sumba Barat sendiri maupun kabupaten yang ada di NTT.

Dengan prinsip-prinsip CLTS di atas jelas pendekatan ini sulit dilaksanakan. Karena secara langsung CLTS tidak mendukung pertumbuhan ekonomi. CLTS juga tidak secara langsung mengentaskan kemiskinan. Apalagi tidak adanya subsidi atau rangsangan dari pemerintah/ LSM/penginisiatif. Seandainya bisa dilaksanakan pun membutuhkan waktu lama. Tetapi sesulit apa pun, dengan kerja keras dan bekerja untuk kebaikan bersama pasti bisa dilaksanakan. Suatu pekerjaan yang lama, bukan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, akan tetapi yang lama adalah kapan memulai pekerjaan tersebut.

Diharapkan dengan diperkenalkannya pendekatan CLTS ini, kesadaran masyarakat semakin tinggi untuk BAB pada tempatnya (jamban). Dengan demikian wabah penyakit yang disebabkan dari BAB di sembarang tempat bias diminimalisir sehingga akan memberikan kontribusi dalam skala kecil menuju Indonesia Sehat 2010. St. Winaryanto (Staf Bappeda NTT)



Post Date : 01 November 2008