Sayang Masih Mahal

Sumber:Kompas - 27 Februari 2009
Kategori:Lingkungan

Suasana dapur Ny Maria Naonci kini tak lagi dipenuhi asap kayu bakar yang menyesakkan dada. Peralatan masak dan dinding dapur yang terbuat dari bambu itu pun tak lagi menghitam karena pekatnya asap kayu bakar.

Maklum, Ny Maria, warga Desa Wolomasi, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini tak lagi memasak dengan kayu bakar atau minyak tanah. Ia telah mengganti dengan biogas sebagai bahan bakar alternatif berbahan baku kotoran sapi.

Penerapan teknologi biogas tersebut adalah bantuan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ende melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI). Untuk penerapan di lapangan, Bappeda bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT.

”Kalau memasak air dengan biogas lebih cepat 15 menit dibandingkan menggunakan kayu bakar atau minyak tanah. Biaya jadi lebih irit, tak perlu lagi membeli minyak tanah atau mencari kayu bakar di kebun,” kata Ny Maria.

Ny Maria juga senang, sebab biogas dapat digunakan 24 jam nonstop dan api yang dihasilkan pun berwarna biru bersih, tak menghasilkan asap maupun bau sehingga kebersihan dapur terjaga. Namun diakui, yang masih menjadi ganjalan baginya sebagai petani kecil adalah biaya seluruh perangkat biogas itu berkisar Rp 5 juta.

”Biaya segitu bagi kami petani kecil ini mahal. Pengadaan yang ini kan mendapat bantuan sepenuhnya dari pemerintah (Bappeda). Kalau kami sendiri yang harus menanggung berat sekali,” kata Ny Maria.

Teknisi BPTP NTT Dule Mata membenarkan, biaya biogas untuk skala rumah tangga berkisar Rp 5 juta. Biaya itu dibutuhkan untuk lubang atau saluran pemasukan bahan baku (kotoran hewan), bagian pencerna (digester) kapasitas 7 ton, lubang pengeluaran lumpur sisa pencernaan, serta pipa penyaluran biogas.

Biaya itu juga termasuk pipa, selang penyalur biogas, serta satu kompor biogas. BPTP NTT sanggup memfasilitasi seluruh perangkat yang dibutuhkan sekaligus sampai pemasangan.

”Anggaran Rp 5 juta sudah diperhitungkan paling minim untuk skala rumah tangga. Bagian digester dipilih dari bahan plastik. Kalau dilihat angka Rp 5 juta mungkin terkesan tinggi, akan tetapi kalau dihitung secara ekonomis dan dampaknya, penggunaan biogas dalam setahun lebih hemat dibanding minyak tanah. Risiko bahaya juga tidak seperti tabung elpiji yang dapat meledak. Selain itu, ketergantungan masyarakat terhadap kayu bakar yang dapat membahayakan kelestarian hutan maupun penggunaan minyak tanah pun akan berkurang,” kata Dule.

Menurut Dule, biogas dapat digunakan nonstop, tak akan berhenti sepanjang bahan baku kotoran hewan rutin dipasok ke dalam digester.

Standar untuk skala rumah tangga, per keluarga cukup memiliki 2-3 ekor sapi. Kotorannya dapat menghasilkan biogas setiap hari untuk dua kompor. Diperkirakan, seekor sapi dalam 1 hari dapat menghasilkan kotoran 10-30 kg. Berdasarkan hasil kajian, 1 meter kubik biogas setara atau dapat menggantikan minyak tanah 0,7 kilogram.

Untuk penerapan biogas di Desa Wolomasi itu diawali dengan pemberian 24 ekor sapi pada tahun 2007 lewat bantuan P4MI. Menyusul tahun 2008 dimulai uji coba dan ternyata berhasil.

Potensi ternak

Wilayah Ende memang memiliki potensi ternak. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Ende tahun 2007, populasi sapi 11.352 ekor, kambing 20.919 ekor, dan babi 84.325 ekor. Babi dewasa dengan berat 60-120 kg dapat memproduksi kotoran 4,5-5,3 kg per hari.

Dule menambahkan, untuk penerapan biogas dibutuhkan minimal 3 ekor sapi, babi 15 ekor, kambing 30 ekor, bahkan bisa juga kotoran ayam dengan jumlah sekitar 300 ekor.

Kepala Desa Wolomasi Blasius Minggu senang dengan penerapan biogas di wilayahnya. ”Sisi positif biogas ini hasil pembuangan digester dapat digunakan untuk pupuk pertanian. Kami bersama warga ingin sekali semua bisa menggunakan biogas, tapi yang menjadi prioritas kami saat ini pakan ternak. Asal pakan ternak tersedia, kemudian ternak ada, biogas bisa diterapkan,” kata Blasius.

Uji coba

Kepala Bappeda Kabupaten Ende Dominikus Minggu Mere menjelaskan, yang dilakukan terkait program itu hanya uji coba atau proyek percontohan. Hasil uji coba itu diharapkan masyarakat dapat melihat, kemudian mengembangkan sendiri guna memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah tangga.

”Uji coba biogas di Ende dilakukan di tiga tempat, dan semua berhasil. Selanjutnya bergantung dari kesadaran masyarakat, apakah mereka mau mengaplikasikannya. Sebab, untuk biogas ini syaratnya pasokan kotoran hewan harus rutin, jadi dituntut pula keseriusan warga memelihara dan merawat ternak,” kata Dominikus.

Uji coba biogas di Ende dilakukan sejak tahun 2008 di tiga tempat, yakni di Kampung Boanawa (Kecamatan Ende Selatan) dengan memanfaatkan kotoran ternak babi. Selain itu di Desa Wolomasi dan Desa Hobatuwa di Kecamatan Lio Timur yang memanfaatkan kotoran kambing.

Konsultan P4MI Kabupaten Ende Yosef Balukh menyoroti salah satu kendala penerapan biogas di Ende adalah minimnya kesadaran masyarakat. Ia mencontohkan, warga umumnya memelihara ternak dengan membiarkan ternak-ternak itu berkeliaran bebas atau hanya dengan mengikat hewan peliharaan di satu tempat tanpa mengandangkan.

Konsultan P4MI di Ende lainnya, Wayan Harsana, menambahkan, penerapan biogas di masyarakat agar bisa lebih optimal harus didukung sosialisasi dan dorongan lebih gencar, terutama dari pemda setempat. (Samuel Oktora)



Post Date : 27 Februari 2009