Sebuah Tantangan untuk Mengelola Puncak Dunia

Sumber:Kompas - 02 Juli 2012
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Setiap tahun pada bulan April-Mei, Gunung Everest (8.848 meter di atas permukaan laut) dipadati ribuan pendaki dari seluruh dunia. Everest pun bisa menjadi tempat sampah raksasa. 
 
Riuhnya manusia menghuni Everest selama 55 hari. Tentu mereka membawa beragam kebutuhan dan melakukan sejumlah aktivitas, yang ujungnya bisa saja menghasilkan sampah, yang memenuhi puncak gunung tertinggi itu.
 
Seperti terlihat pada Mei lalu, tenda dengan beragam warna menghias kamp utama Everest (5.364 meter di atas permukaan laut/mdpl) yang bersalju.
 
Namun, justru keramaian kamp utama Everest itu sepertinya tidak menghasilkan sampah. Padahal, penghuninya mencapai ratusan orang pada setiap periode pendakian.
 
Mereka tinggal hampir selama dua bulan, termasuk untuk memberikan dukungan kepada pendaki lain yang mencoba mendaki ke puncak.
 
Ternyata, secara berkala sampah dari dapur, bungkus makanan, kaleng minuman, baterai, tisu, serta sampah bekas peralatan pendakian dibawa turun oleh para pemikul barang (portir).
 
Setiap sore, portir naik ke kamp utama untuk mengangkut sampah dan dibawa turun ke Namche Bazaar (3.440 mdpl). Sampah itu lalu dipilah. Ada yang didaur ulang, ada yang dibakar.
 
Selain mengatur sampah, setiap kelompok dari agen pendakian mendirikan bukan hanya tenda tidur, tenda makan, dan dapur, melainkan juga tenda untuk toilet darurat. Tenda itu berisi drum plastik berwarna biru yang berukuran sebesar drum minyak.
 
Kotoran manusia bercampur tisu dibuang dalam drum yang digunakan dengan cara diduduki itu. Terdapat batu pijakan yang diletakkan di depan drum dan pewangi ruangan. Toilet darurat ini cukup mewah dan nyaman dalam kondisi serba terbatas di ketinggian.
 
”Setiap 6-7 hari sekali ada portir yang membawa drum itu ke Lobuche (4.900 mdpl) untuk membuang kotoran itu di tempat yang disediakan,” ungkap Pasang Sherpa (38), petugas dapur di tenda perusahaan Mountain Experience.
 
Kerja keras
 
Kondisi di Everest kini adalah hasil kerja keras. Realitas sebelumnya, sebelum tahun 1990, adalah sampah bertebaran di mana-mana. Semua itu bercampur aduk di atas bongkahan es Himalaya. Tentu saja hal ini mendapat kecaman dari warga Himalaya dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebab dikhawatirkan dapat mempercepat terjadinya pemanasan global.
 
Sejak dicapai pertama kali oleh Edmund Hillary dan Tenzing Norgay pada 29 Mei 1953, puncak yang juga dinamakan Sagarmatha, yang berarti ’sang Dewi Langit’ dalam bahasa Nepal, ini didaki ribuan orang.
 
Kedatangan pendaki ini dapat menyebabkan musibah lingkungan karena sampah yang mereka bawa. Lelehan es dari Himalaya yang mengalir, seperti di Sungai Dudh-Koshi di Distrik Solukhumbu, dikhawatirkan tercemar karena perilaku pendaki.
 
Kementerian Pariwisata Nepal bekerja sama dengan Sagarmatha Pollution Control Committee (SPCC), sebuah organisasi non-pemerintah, menetapkan kebijakan pengendalian sampah di Everest sejak awal 1990-an. ”Saat itu media juga gencar memublikasikan bahwa jika sampah tidak dikendalikan di Everest, dapat berbahaya bagi kehidupan masyarakat sekitar,” ujar Kapindra Rai, Program Officer SPCC.
 
Sebelum mendaki Everest, setiap kelompok pendaki yang biasanya didampingi pemandu dari agen pendakian mendaftar di kantor Kementerian Pariwisata di Kathmandu, Nepal, dan kantor SPCC di Namche Bazaar. Mereka mencantumkan barang bawaan, jumlah makanan, peralatan pendakian, termasuk tabung oksigen. Setiap pendaki harus membayar izin pendakian 10.000 dollar AS (sekitar Rp 92 juta) dan membayar uang deposit untuk sampah 2.000 dollar AS (sekitar Rp 18,5 juta).
 
Saat pendakian berakhir, pemandu melaporkan kembali ke petugas SPCC, sekaligus memberitahukan jumlah sampah yang dipindahkan ke Namche. Tabung oksigen yang kosong juga didata ulang untuk memastikan tidak ada yang ditinggal di daerah sekitar Everest.
 
Ada juga petugas SPCC yang mengontrol kondisi kamp utama hingga kamp II. ”Jika ada kelompok pendaki yang membuang sampah di kawasan Everest, uang deposit sampah tidak dikembalikan dan perusahaan pendakian itu akan dilarang mendaki lagi,” ucap Kapindra.
 
Namun, sampah pendakian yang dibuang begitu saja sejak 1953 hingga awal 1990 masih menjadi masalah. Kapindra menceritakan, operasi bersih Everest yang diadakan Pemerintah Nepal bersama pendaki, kelompok masyarakat, organisasi lingkungan, serta warga yang hidup di kaki Himalaya pada Mei 2011 bisa memindahkan sekitar 8 ton sampah dari Everest. Sampah di kawasan Everest, terutama kamp II (6.462 mdpl) ke atas, masih berton-ton.
 
”Sampah yang sulit dibersihkan adalah tabung oksigen yang banyak terlihat di kamp II hingga ke puncak,” kata Kapindra.
 
Pengelolaan gunung es
 
Tidak hanya Everest, puncak tertinggi dunia lainnya juga dikelola secara ketat untuk mencegah kerusakan lingkungannya. Sebagai contoh, puncak Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina, yang pengelolaan sampahnya juga dilakukan secara ketat.
 
Bedanya, wadah kotoran manusia di Aconcagua dibawa ke bawah dengan helikopter secara periodik. Namun, masih ada saja pendaki ”nakal” yang membuang kotoran sembarangan.
 
Di Denali (6.194 mdpl), Alaska, Amerika Serikat, pengelola meminta setiap pendaki membawa kembali sampah pendakian dan sampah ”produksinya” ke bawah. Jika tidak, mereka bisa dikenai denda 150 dollar AS (sekitar Rp 1,3 juta) per orang.
 
Namun, sebaliknya, sampah masih berserakan di Carstensz Pyramid (4.884 mdpl), Papua, Indonesia. Gangguan keamanan juga masih dialami pendaki. Harry Susilo


Post Date : 02 Juli 2012