Sederhanakan Prosedur CDM

Sumber:Suara Pembaruan - 08 Desember 2007
Kategori:Climate
[NUSA DUA] Usulan delegasi Indonesia tentang perlu dilakukannya penyederhanaan prosedur clean development mechanism (CDM) berhasil masuk dalam agenda yang dibahas contact group, Jumat (7/12). Usulan tersebut sebelumnya telah disampaikan delegasi Indonesia dalam Plenary 13th Session Conference of Parties (COP-13) to UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan 3rd Session Meeting of Parties to Kyoto Protocol, Rabu (5/12).

Usulan serupa juga disuarakan negara-negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 (G77). Selain penyederhanaan prosedur CDM, delegasi Indonesia juga mengusulkan perlu adanya pengaturan kawasan secara adil dan seimbang.

Masnellyarti Hilman, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, mengatakan keberhasilan masuknya usulan penyederhanaan prosedur CDM, melengkapi dua keberhasilan sebelumnya. "Pindahnya pembahasan transfer teknologi dari Subsidiary Body of Science and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body of Implementation (SBI) adalah keberhasilan yang luar biasa," katanya kepada SP, seusai Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim, Jumat (7/12) petang.

Menurut dia, masuknya transfer teknologi ke SBI, yang merupakan badan implementasi UNFCCC, merupakan keberhasilan perjuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, serta Presiden COP-13 Rachmat Witoelar.

Keberhasilan juga dicapai dalam isu dana adaptasi. Semua delegasi berkomitmen agar dana adaptasi diselesaikan pembahasannya di Konferensi Bali. "Meskipun negosiasinya belum rampung, tetapi ada komitmen negara-negara untuk menyelesaikan dana adaptasi di konferensi ini," kata Masnellyarti.

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih memerlukan CDM dan ingin agar mekanisme itu bisa dilanjutkan di Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto pasca-2012. "Kami berharap CDM bisa diputuskan untuk dimasukkan ke komitmen selanjutnya pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark," kata Masnellyarti.

Simbiosis Mutualisme

Semua negara berkembang, lanjutnya, ingin agar CDM masuk dalam pembahasan selanjutnya. "Ibaratnya, CDM itu simbiosis mutualisme. Negara maju punya kewajiban menurunkan emisi karbon. Di pihak negara berkembang, menurunkan emisi untuk memenuhi pembangunan berkelanjutan, memerlukan biaya dan teknologi," kata Masnellyarti yang menjadi Ketua Bidang Substansi Delegasi Indonesia.

Diungkapkan, penyederhanaan prosedur CDM merupakan sebuah kebutuhan. Teknologi proyek-proyek yang dimasukkan ke CDM selama ini harus dicek oleh executive board (EB) UNFCCC. Setelah dicek dan divalidasi, dilakukan pengecekan di lapangan. Biasanya, yang melakukan validasi adalah konsultan yang disetujui EB. Pada umumnya, konsultan yang melakukan validasi proyek-proyek CDM di Indonesia adalah konsultan asing, dengan biaya yang dipastikan sangat mahal. Sementara, proyek-proyek CDM di Indonesia biasanya berskala kecil dan menengah. Itulah sebabnya, ada keberatan atas digunakannya jasa konsultan asing.

Dalam Pertemuan Bali, delegasi Indonesia mengusulkan agar penggunaan jasa konsultan asing bisa dinegosiasikan. "Kami mengusulkan agar pengembangan kapasitas diberikan kepada negara-negara berkembang agar mereka bisa membina konsultan dalam negeri yang tentu saja tetap dilakukan EB melalui Sekretariat UNFCCC. Pembinaan dilakukan oleh konsultan-konsultan dari negara-negara maju yang harus diakui punya kapasitas lebih," kata Masnellyarti.

Dengan pembinaan tersebut diharapkan konsultan dalam negeri yang akan melakukan validasi proyek-proyek CDM bisa mendapatkan persetujuan EB. "Kalau kita bisa menggunakan konsultan Indonesia, tentu biayanya jauh lebih murah," katanya. [E-9]



Post Date : 08 Desember 2007