Sekarang Bukan Banjir Rutin Lagi

Sumber:Kompas - 09 Januari 2004
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BANJIR yang melanda Provinsi Jambi sekarang ini bukan lagi banjir rutin tahunan, 10 tahunan, atau 50 tahunan, melainkan banjir terbesar sepanjang sejarah. Menurut catatan yang ada, banjir besar akibat meluapnya Sungai Batanghari pernah terjadi tahun 1955, yakni 48 tahun silam. Banjir disebabkan oleh fenomena alam, curah hujan yang tinggi. Saat itu hutan alam di Jambi masih asli, belum terjadi eksploitasi hutan.

FOTO yang pernah dipublikasikan dan keterangan sejumlah saksi menjelaskan, saat banjir 1955 ketinggian air di Depan Bioskop Mega (kini Jalan Dr Wahidin) di Kota Jambi sekitar 40 cm atau setinggi lutut orang dewasa.

Di tempat itu orang bisa berperahu. Tak ada bukti tertulis berapa ketinggian permukaan Sungai Batanghari di Jambi saat banjir besar tahun 1955. Adapun saat banjir besar tahun 1991, jalan di depan Bioskop Mega juga terendam, tapi tidak sampai 40 cm, hanya sekitar 30 cm.

Kini, banjir Desember 2003, sebagian Jalan Dr Wahidin terendam antara 40 cm50 cm. Orang juga naik perahu sampai ke Bioskop Mega. Sejak 1955, Jalan Dr Wahidin itu sudah beberapa kali ditinggikan, baik melalui pengerasan maupun pengaspalan.

Kecuali Kabupaten Kerinci, banjir besar akibat meluapnya Sungai Batanghari dan sejumlah anak sungainya sejak awal Desember 2003 lalu, melanda seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi.

Banjir diawali dari Kabupaten Sarolangun akibat meluapnya Sungai Batang Asai, Batang Limun, dan Batang Tembesi. Selanjutnya, Batang Bungo dan Batang Tebo di Kabupaten Bungo, dan Batang Tabir di Kabupaten Merangin. Empat kabupaten dan kota, yaitu Kabupaten Sarolangun, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Kota Jambi paling parah menderita akibat banjir ini.

Di Kabupaten Sarolangun, kawasan terparah adalah Kecamatan Sarolangun, Pauh, dan Mandiangin. Enam kecamatan di Kabupaten Batanghari adalah Kecamatan Batin XXIV, Maro Sebo Ulu, Muaratembesi, Mersam, Muarabulian, dan Pemayung.

Kawasan banjir terparah lainnya adalah Kecamatan Jambi Luar Kota, Sekernan, Kupeh Ulu, Kupeh Ilir, dan Maro Sebo di Kabupaten Muaro Jambi. Daerah parah lainnya juga mencakup kawasan Telanaipura, Pasar, Jambi Timur, Pelayangan, dan Danau Teluk di Kota Jambi. Selain itu, daerah terparah adalah Tebo Ilir, Tebo Tengah, dan Sumai di Kabupaten Tebo, serta Kecamatan Tabir dan Tabir Ulu di Kabupaten Merangin.

Peralatan otomatis pencatat ketinggian air (automatic water level recorder/AWLR) yang ditempatkan di Sungai Batanghari di depan Kantor Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Provinsi Jambi, hari Rabu dan Kamis (18/12) mencatat elevasi atau ketinggian permukaan air Sungai Batanghari 15,15 meter di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian itu hampir 1,5 meter lebih tinggi dari batas bahaya.

Satu hal pasti, kerugian materiil dan moril akibat banjir Desember 2003 sulit dihitung, tapi jauh lebih besar daripada banjir tahun 1991. Entah berapa ratus atau ribu kali lipat dibandingkan dengan kerugian akibat banjir 1955.

Jumlah penduduk terus bertambah, saat ini sekitar 2,7 juta jiwa. Akibatnya, semakin banyak penduduk yang memanfaatkan bantaran, tepian, dan DAS (daerah aliran sungai) Batanghari untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Dalam 10 tahun terakhir rumah permanen (beton) yang dibangun di tepian, bantaran, dan DAS Batanghari tumbuh dengan pesat.

Sementara tahun 1955, penduduk Provinsi Jambi diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Hampir tak ada rumah, rumah permanen di kawasan DAS Batanghari tanpa tiang, semuanya rumah panggung. Kegiatan pertanian di DAS Batanghari juga sangat minim, jika tidak bisa dikatakan belum ada.

Pada banjir tahun 1991, penduduk Provinsi Jambi baru sekitar 2,1 jiwa hingga 2,2 juta jiwa. Eksploitasi tepian, bantaran, dan DAS Batanghari juga belum seintensif tahun 2003. Rumah permanen yang dibangun langsung di atas tanah di DAS Batanghari jumlahnya pun masih sedikit.

Bagi sebagian masyarakat Provinsi Jambi, terutama masyarakat asli yang tinggal di tepian, bantaran, dan DAS Batanghari, banjir adalah peristiwa biasa yang terjadi setiap tahun. Mereka baru sadar, banjir, yang telah merenggut nyawa dan menenggelamkan lantai rumah panggung, tidak bisa lagi dianggap biasa. Banjir telah memupus harapan panen padi, jagung, kedelai, dan sayuran milik ribuan keluarga.

Masalah yang amat penting dan segera harus dilakukan adalah mengurangi dampak negatif banjir, serta menekan kerugian materiil, moril, dan kecemasan penduduk.

Semua pihak agar bercermin dengan banjir. Banjir yang terjadi setiap tahun-tahun 2003 terjadi tiga kali, yaitu Janurai, April, dan Desember-telah menyebabkan kerugian yang luar biasa besar.

Perekonomian Jambi terancam lumpuh karena seluruh industri kayu, crumb rubber, dan galangan kapal yang berlokasi di pinggir Sungai Batanghari terendam banjir, kegiatan produksi terhenti.

"Produksi seluruh industri yang terendam berhenti karena terendam banjir, sekitar 1,5 juta dollar AS atau Rp 12,75 miliar sehari. Kegiatan perdagangan terganggu, terutama distribusi ke kecamatan dan desa yang dilanda banjir," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi Asianto Marsaid. (NAT)

Post Date : 09 Januari 2004