Selamat Hari Kyoto

Sumber:Majalah Gatra - 22-28 November 2007
Kategori:Climate
Protokol Kyoto sangat bergantung pada siapa Anda bicara. Ia bisa menjadi solusi birokratis sangat mahal untuk menyelesaikan sebuah masalah yang bahkan tidak pernah ada, atau pilihan terakhir dan terbaik untuk menyelamatkan bumi dari "bom waktu" pemanasan global --SBS News, 14 Februari 2007

Rabu, 16 Februari 2005, Pukul 15.45

"Hari ini Protokol Kyoto mulai aktif. Apakah bumi sudah aman? Belum, tentu saja, tapi tidak apa-apa. Kesepakatan Kyoto mungkin tidak bisa menyelesaikan masalah pemanasan global atau menghindarkan kita dari bencana iklim yang mematikan. Dia hanya memaksa kita untuk bersikap, untuk berubah menjadi sesuatu yang lebih baik.

"Ia mengubah arah diskursus lingkungan global, membawa kita dari obrolan tanpa ujung pada sebuah kepastian, dan menuju pertukaran ide yang lebih produktif. Tidak perlu solusi lengkap atas masalah yang kita hadapi ini, tapi dia membuat kita bisa membayangkan solusi terbaik apa yang semestinya.

"Akhirnya, Kyoto adalah sebuah simbol, sebuah langkah penyadaran dalam arah yang benar untuk planet kita. Ini sebuah pintu masuk bahwa sebuah masalah jangka panjang bisa dihadapi, bisa diselesaikan, dan kita bisa mengerjakannya bersama daripada sendiri-sendiri. Kyoto, dengan segala kekurangan dan kesalahannya, memberi kita kesempatan untuk mulai memikirkan tentang masa depan planet kita. Ini sebuah kesempatan terbaik yang harus kita ambil.

"Kesepakatan Kyoto mungkin tidak bisa menyelamatkan dunia. Tapi dia, bagaimanapun, memungkinkan kita untuk menyelamatkan bumi lewat tangan kita sendiri."

Begitulah catatan harian Jamais Cascio yang ditumpahkan di situs worldchanging.com. Cascio adalah pendiri komunitas yang punya cita-cita berbagi ide untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Cascio juga seorang penulis esai tentang lingkungan, teknologi, dan perubahan sosial, baik online maupun publikasi cetak. Cascio kerap menjadi pembicara dalam seminar dan konferensi tentang berbagai skenario masa depan planet yang kita diami ini. Cascio tinggal di luar kota San Francisco, California, bersama istri, dua ekor kucing, dan empat komputer Macintosh.

16 Februari 2005 memang merupakan momen penting dari derap langkah proyek "mendinginkan bumi" yang ditabuh dari Kyoto, Jepang, 7 tahun sebelumnya. Tepatnya pada 11 Desember 1997, di sesi ketiga pertemuan antarbangsa yang tergabung dalam wadah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) itu, diterima sebuah protokol untuk menahan laju konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Protokol yang kemudian jadi bahan perdebatan dan topik pembicaraan hangat selama 10 tahun terakhir ini dan setidaknya lima tahun ke depan.

Namun, di antara 28 pasal teknis, rumit, dan beberapa pasal yang menjerat itu, ada satu pasal yang memenjarakan seluruh isi protokol, yakni Pasal 25. Pasal ini menyebutkan, segala ketentuan akan mulai berlaku "sembilan puluh hari setelah tak kurang dari 55 negara peserta konvensi, termasuk negara ANNEX 1 yang melepas setidaknya 55% gas buang berdasarkan data tahun 1990, telah meratifikasi kesepakatan tersebut".

Syarat 55 negara dicapai dengan mudah, yaitu pada 23 Mei 2002, ketika Islandia meratifikasinya. Namun kesepakatan itu terus berkatung-katung karena syarat 55% gas buang tidak juga tercapai. Ini karena negeri yang bertanggung jawab atas 33% (versi lain menyebut 36%) gas buang dunia, Amerika Serikat, menolak mentah-mentah untuk meratifikasi kesepakatan tersebut.

Negara-negara di dunia terus melapor pada PBB telah meratifikasi. Hingga awal November 2004, Sudan tercatat sebagai negeri ke-127 yang telah meratifikasi. Namun syarat 55% masih belum juga tercapai. Kunci kerangkeng protokol itu baru terbuka pada 18 November 2004, setelah Rusia, sebagai negeri ke-128, melapor pada PBB telah meratifikasi Protokol Kyoto. Negeri dengan emisi gas buang 17% (berdasar laporan yang tercantum dalam ANNEX 1) itu membulatkan syarat 55%. Maka, resmilah protokol itu berlaku bagi semua party (negara yang meratifikasi protokol tersebut).

Indonesia melaporkan ratifikasi pada 3 Desember 2004 dan tercatat sebagai negeri ke-131. Hingga Juni tahun ini, 175 negara telah meratifikasi protokol tersebut. Ini mewakili sekitar 70% penduduk bumi dan menyumbang 61,6% emisi gas buang dalam daftar ANNEX 1. Tapi, sekali lagi, andai Rusia tidak meratifikasi pada 18 November 2004, maka kesepakatan 170-an kepala negara dan pemerintahan tersebut hingga kini hanya akan jadi kesepakatan mandul yang paling global.

Bumi Sudah Aman?

Maka wajar bila 16 Februari 2005 menjadi salah satu hari yang patut dicatat. Tapi, setelah protokol itu resmi berlaku, apakah bumi sudah aman? Jawabannya, belum. Kenyataannya, emisi karbon dunia jauh dari berkurang. Malah bertambah dengan kecepatan lebih hebat. Emisi karbon tahun 2000-2005 melaju empat kali lebih cepat dari pertumbuhan 10 tahun sebelumnya. Peneliti dari Global Carbon Project menyatakan, pertumbuhan emisi karbon global hanya 0,8% dari tahun 1990 hingga 1999. Namun, dari tahun 2000 hingga 2005 tumbuh 3,2%.

Lembaga bentukan PBB, Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC), membandingkan tingkat emisi karbon tahun 1990 dengan 2004. Terlihat hanya Jerman dan Inggris yang bakal mencapai target yang ditetapkan Protokol Kyoto. Negeri lain (lihat tabel: Emisi Karbon 1990-2004) hampir semua naik. Amerika Serikat naik 16%, Australia 25%, Kanada 27%, Spanyol 49%, dan Jepang 6,5%. Berdasarkan statistik badan PBB tersebut, secara kelompok, 36 negara penanda tangan protokol memenuhi target penurunan emisi 5,2%. Capaian ini berkat anjloknya perekonomian negara-negara di Eropa Timur pasca-jatuhnya rezim komunis tahun 1990-an.

Lalu, apa dampaknya buat bumi? Pada Februari 2007, IPCC merilis laporan bahwa temperatur global akan naik 1,1 hingga 6,4 derajat celsius pada 2100. Dan muka air laut di ahir abad ke-21 ini akan naik 17,8 hingga 58,4 sentimeter. Jika permukaan es kutub terus mencair, akan ada tambahan kenaikan lagi, yakni 9,9 hingga 19,8 sentimeter.

Laporan IPCC sebelumnya, pada 2001, mengevaluasi perubahan iklim sepanjang abad ke-20. Hasilnya, temperatur global naik sekitar 0,6 derajat celsius sejak 1900. Kenaikan terbesar terjadi dalam 10 tahun terakhir. Artinya, era 1990-an adalah dekade paling panas dalam 1000 tahun.

Jadi, kesimpulan yang tidak bisa dibantah adalah bumi semakin panas dan temperatur bumi naik dengan sangat cepat. Lalu, apa yang akan terjadi berikutnya? IPCC memprediksi, akan semakin sering terjadi banji. Badai, gelombang panas, dan salju akan meningkat dari tahun ke tahun.

Ongkos Protokol Kyoto

Meski mayoritas ilmuwan sepakat dengan prediksi-prediksi tersebut, beberapa ilmuwan masih meragukannya. Mereka berpendapat, kenaikan 0,6 derajat dalam satu abad hanya sebuah siklus alami dan tidak perlu dikhawatirkan. Mereka juga menunjukkan fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah. Yang lainnya menyatakan, terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan.

Para kritikus pemanasan global mempertanyakan tiga hal yang meragukan pada prediksi model pemanasan global. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model.

Berbagai keraguan itu, ditambah penolakan tiga negara ANNEX 1 (Amerika Serikat, Australia, dan Monako), menimbulkan keraguan bahwa kesepakatan itu akan berjalan mulus. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama datang dari kalangan industri minyak, batu bara, dan perusahaan lain yang produksinya bergantung pada bahan bakar fosil.

Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat mencapai US$ 300 milyar, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya, pendukung Protokol Kyoto percaya, biaya yang diperlukan hanya sebesar US$ 88 milyar dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih efisien.

Alasan lain penolakan Amerika: Protokol Kyoto tidak membebani negara-negara berkembang (khususnya Cina dan India) dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida. Padahal, pada 2004 emisi karbon dioksida Cina sudah sekitar 54% dari emisi Amerika Serikat. Ekonomi negeri berpenduduk 1,3 miliar itu pun tumbuh sekitar 10% tiap tahun. Untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi ini, Cina rata-rata tiap pekan membangun satu pembangkit listrik batu bara.

Fatih Birol, ekonom dari International Energy Agency (IEA), menyatakan bahwa Cina akan menjadi emiter gas rumah kaca terbesar dunia sebelum tahun 2007 ini berakhir. "Tapi yang lebih mengkhawatirkan saya, pada 2030 emisi dari Cina akan tumbuh dua kali lipat dari seluruh emisi karbon negara maju," kata Birol, seperti dikutip New Scientist pada 25 April 2007. IEA hanya menghitung emisi dari pembakaran bahan bakar fosil.

Spekulasi Birol tersebut segera dibantah oleh Gao Guangsheng, pimpinan National Coordination Committee for Climate Change. Menurut dia, prediksi Birol tidak berlandaskan data statistik yang benar. "Organisasi internasional yang menyimpulkan bahwa emisi karbon Cina akan melampaui Amerika tidak bertanggung jawab dan hanya mau menyudutkan Pemerintah Cina," katanya kepada the Oriental Morning Post.

Tidak memasukkan Cina dalam ANNEX 1 dan tidak dihitungnya Amerika membuat penurunan 5,2% dari negara ANNEX 1 diduga hanya akan menghasilkan penurunan emisi karbon global tak lebih dari 1%. Karena itu, banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lembek. Ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa Protokol Kyoto tidak akan memberi dampak berarti terhadap pemanasan global.

Pada 11 Desember ini di Bali, Protokol Kyoto akan berulang tahun ke-10. Dan protokol itu akan mengakhiri masa tugasnya pada 2012. Bali akan turut menjadi saksi penyiapan protokol pengganti Kyoto. Apakah protokol baru itu bisa lebih keras dari Kyoto? Namun, belajar dari perdebatan selama 10 tahun terakhir ini, lepas dari keras atau lembek, protokol baru harus bisa diterima dan diratifikasi oleh semua negara. Terutama negara-negara rakus energi dan penyumbang gas rumah kaca utama.

Prinsip-prinsip Protokol Kyoto

1. Protokol Kyoto menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB.

2. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:

- Negara-negara ANNEX 1 adalah negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak Revolusi Industri, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara ANNEX 1 ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Satu-satunya negeri di Asia yang masuk hanyalah Jepang.

- Negara-negara non-ANNEX 1 adalah negara berkembang. Mereka tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi bisa berpartisipasi lewat clean development mechanism (CDM). Cina, India, dan Indonesia, tiga negara berpenduduk padat dan sedang berkembang pesat, bersama lebih dari 130 negara lainnya masuk dalam daftar non-ANNEX 1.

3. Negara-negara ANNEX 1 harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 (perlu diperhatikan, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%).

4. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca --karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC-- itu dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.

5. Batas pengurangan itu kedaluwarsa pada 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon baru. Jika pada 2012 negara ANNEX 1 tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca-2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam target ANNEX 1.

6. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan negara ANNEX 1 mencapai batas emisi gasnya dengan membeli "kredit pengurangan emisi" dari negara lain. Pembelian itu bisa dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari negara non-ANNEX 1 melalui mekanisme CDM. Bisa juga melalui pengerjaan proyek di sesama ANNEX 1 melalui program joint implementation (JI) atau membeli langsung dari negara ANNEX 1 yang sudah berada di bawah target.

7. Sebuah projek baru bisa dijual dalam perdagangan emisi karbon bila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CER) bagi sebuah proyek untuk bias diperjualbelikan.

8. Jadi, negara non-ANNEX 1 yang tidak punya kewajiban menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan "proyek gas rumah kaca" yang bisa menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang bisa dijual pada negara ANNEX 1.

Gas Rumah Kaca

Sembilan puluh sembilan persen atmosfer kita terdiri dari dua jenis gas; 78% nitrogen dan 21% oksigen. Keduanya hampir tidak bertanggung jawab terhadap pengaturan iklim di planet kita ini.

Enam gas yang didakwa menyebabkan pemanasan global itu hanya mengisi tak lebih dari 1% atmosfer kita. Gas-gas itu terutama tercipta dari aktivitas manusia, yaitu:

Karbon dioksida (CO2)
Metana (CH4)
Nitrogen oksida (NO2)
Sulfur heksafluorida (SF6)
Hidrofluorokarbon (HFC)
Perfluorokarbon (PFC)



Post Date : 22 November 2007