Si Bau Berbuah Gas

Sumber:Majalah Tempo - 16 Juni 2008
Kategori:Sanitasi

Tinja sebagai bahan bakar alternatif makin diminati. Perlu dukungan pemerintah untuk membangun biaya instalasi. 

Ruang Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga itu penuh dengan dengungan suara. Rabu petang pekan lalu, belasan ibu dari Rukun Warga 08 Kelurahan Petojo Utara, Jakarta Pusat, sedang menyiapkan makanan untuk kegiatan pos pelayanan terpadu. Tangan bekerja, mulut mereka pun bergosip. Topik aktual tentang artis yang kawin-cerai hingga naiknya harga berbagai bahan kebutuhan.

Soal melambungnya harga minyak tanah dan gas elpiji? Maaf, di Petojo topik seperti itu tidak laku digosipkan. Ibu-ibu itu tidak punya masalah dengan bahan bakar karena mereka memiliki gas yang tidak perlu dibeli. ”Di ruang Posyandu PKK ini kami punya kompor gas lengkap dengan biogasnya,” ujar Atun, 43 tahun, kader pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga.

Kemewahan yang mereka miliki ini bisa terjadi karena mereka tidak resistan terhadap perubahan. Ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat ingin membuatkan fasilitas kakus umum yang sekaligus bisa memanfaatkan ”si kuning” untuk menghasilkan bahan bakar gas untuk memasak, penduduk di tepi Kali Krukut itu setuju saja.

Maka, sejak Agustus tahun lalu, acara masak-memasak bisa dilakukan tanpa perlu keluar uang untuk bahan bakar. Penduduk pun dengan enteng menyantap makanan yang dimasak. ”Dari gorengan, penganan, jajan, sampai nasi yang dimasak di sini sama enaknya dengan yang dimasak pake gas atau minyak,” kata Mutia, 30 tahun. Mereka juga tidak perlu jijik harus memanfaatkan ”yellow energy” ini, karena gas bio ini tidak berbau. Api yang dihasilkan pun sama birunya dengan elpiji.

Kisah tinja berbuah gas itu bermula ketika Bina Ekonomi Sosial Terpadu, si lembaga swadaya masyarakat tersebut, dengan dana dari badan donor Amerika, USAID, membangun kakus yang tidak sekadar untuk buang hajat, tapi dilengkapi pengolah limbah menjadi biogas. Warga menyebutnya MCK Plus.

Berbeda dengan WC biasa, di sini kotoran padat dipisahkan dari cairan dan dimasukkan dalam instalasi berbentuk kubah dengan diameter 4,5 meter. Setelah diendapkan dan diolah dengan proses fermentasi, si bahan buangan itu berubah menjadi bahan yang berguna karena menghasilkan gas metana yang dapat dijadikan bahan bakar.

Sayangnya, instalasi bernilai Rp 360 juta ini belum bisa digunakan secara massal. Karena kapasitas terbatas, gas hanya disalurkan paling jauh 100 meter. Terjadilah kompromi untuk pemanfaatannya. ”Daripada bikin ribut, mendingan untuk PKK dan posyandu, atau kepentingan bersama lainnya,” kata Mutia, seorang warga Petojo.

Ini bukan proyek pertama Bina Ekonomi Sosial Terpadu. Mereka juga membangun MCK Plus di kawasan Tajur, Bogor Timur, dan Kelurahan Jatake, Kota Tangerang. Di Jatake, kakus istimewa ini berdiri di atas lahan seluas 50 meter persegi, yang dibeli Bina Ekonomi dan Bremen Overseas Research and Development Association, lembaga donor dari Jerman.

Bangunan itu terdiri atas enam kamar mandi dan enam toilet. Air buangan dari toilet ditampung dalam septic tank kedap air berukuran 8 x 3,5 x 3 meter. Septic tank itu dihubungkan dengan bangunan digester biogas yang terbuat dari beton bertulang, yang dipasang di dalam tanah di samping MCK. Air sisa mandi dibuang ke got, setelah terlebih dulu disaring dengan campuran pasir dan alat penyaring.

Digester biogas inilah yang menampung gas dari septic tank yang digunakan sebagai energi untuk memasak. Mereka kemudian mempercayakan pengelolaannya kepada warga permukiman padat di kedua daerah itu. Di Jatake, gas yang keluar dimanfaatkan Icih Sukarsih, penjaga warung, untuk memasak mi instan atau merebus air.

Menurut Direktur Bina Ekonomi Sosial Terpadu Hamzah Harun al-Rasyid, dengan volume gas 1,2 meter kubik sehari, biogas tinja ini bisa menghidupkan tiga kompor. ”Kami mendirikan warung di dekat MCK karena biogas ini tidak bisa digunakan dalam jarak lebih dari 50 meter,” katanya. Konsumen, menurut dia, tidak merasakan perbedaan kopi buatan Icih dengan warung lainnya.

Tak hanya kotoran manusia yang dimanfaatkan jadi gas, tapi juga kotoran sapi. Inilah yang dilakukan penduduk Kelurahan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keuntungannya sudah mereka petik. ”Harga bahan bakar minyak semakin tinggi, tapi kami tidak terkena akibatnya secara langsung,” ujar Sunarto, penduduk Pengasih.

Kini mereka bisa berhemat Rp 60 ribu tiap bulan. Untuk meningkatkan manfaat biogas ini, Sunarto dan kawan-kawan sedang mengumpulkan dana untuk membeli pipa penyalur gas ke rumah-rumah penduduk.

Awalnya, Sunarto tak pernah berpikir untuk membuat gas semacam ini. Bersama sejumlah tetangganya, ia membentuk kelompok tani Trijaya yang bergerak di bidang pemeliharaan sapi pedaging. Ada 19 sapi yang dipelihara di kandang yang terletak di belakang rumah Sunarto. Belakangan kelompok ini merintis usaha sampingan, yakni menghasilkan gas dari kotoran sapi.

Biaya untuk membuat instalasi ramah lingkungan ini, sayangnya, agak mahal. Karena itu, tanpa bantuan modal dari luar, agak sulit dimasyarakatkan. Untunglah, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sigap. Mereka memberikan bantuan Rp 9 juta bagi kelompok masyarakat yang mau membangun instalasi ini. Penduduk menyambutnya. Di Kulonprogo, saat ini ada 125 instalasi pengolah biogas. Dari jumlah itu, 16 di antaranya bantuan provinsi, 96 buah dari Kabupaten Kulonprogo, 4 bantuan lembaga swadaya masyarakat, dan sisanya milik pribadi.

Cikal bakal unit biogas di Kulonprogo berasal dari kreasi Sarjiyo, penduduk Dusun Keboan, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates. Tiga tahun lalu, ia mulai memanfaatkan gas hanya untuk memasak. Belakangan, ia mulai menggunakannya untuk menyalakan generator pembangkit listrik buatan Cina. Sukses ini membuat ia ditunjuk pemerintah membantu instalasi lainnya.

Bangunan utama unit pengolahan biogas berupa dua kubah berbentuk setengah lingkaran. Bahan pembuat kubah bisa batu bata dan semen atau tabung plastik. Di rumah Sunarto, kubah pertama berdiameter empat meter dengan kedalaman 2,5 meter. Kubah kedua lebih kecil, diameter tiga meter dengan kedalaman 1,5 meter. Sebuah pipa menghubungkan dua kubah tersebut.

Kubah pertama berfungsi sebagai penghasil gas melalui proses fermentasi. Kotoran sapi yang dicampur air dengan perbandingan satu-satu digelontorkan ke dalam kubah. Sisa kotoran yang sudah tidak menghasilkan gas lagi dialirkan ke kubah kedua untuk dijadikan pupuk.

Diperlukan waktu sebulan sampai gas keluar pertama kali. Itu karena proses fermentasi butuh waktu. Namun, jika sudah berfungsi, tinggal menambah kotoran sapi secara periodik. Sunarto biasanya memasukkan kotoran sapi tiap tiga hari.

Untuk memanen gas bio, Sunarto memasang pipa pralon dari kubah pertama menuju dapurnya. Sebagai indikator tekanan gas, dia memasang selang transparan berbentuk huruf U yang diisi air. Selang itu ditempel di tembok, ditambah dengan kertas skala dari titik nol sampai 70 sentimeter. Agar mudah terbaca, air dalam selang diberi pewarna dari daun jati.

Lain lagi dengan indikator penghasil biogas di Petojo, yang berupa air di dalam cekungan sedalam 15 sentimeter di atas kubah penampung tinja. Jika air meletup seperti mendidih, itu tandanya gas sudah penuh dan harus segera dialirkan.

Menurut Sarjiyo, gas yang dihasilkan dari instalasi Sunarto setara dengan listrik berkekuatan 450 watt. Gas ini dapat memenuhi kebutuhan empat rumah tangga dengan jarak maksimal 100 meter dari kubah, yang bisa bertahan 20 tahun.

Dari pengalaman Sunarto, seekor sapi menghasilkan 10 sampai 14 kilogram kotoran per hari, yang setara dengan setengah liter minyak tanah. Untuk membuat biogas dengan kubah berdiameter empat meter, minimal dibutuhkan empat ekor sapi. Namun, jika fermentasi sempurna, cukup dua ekor sapi.

Selain itu, manfaat biogas dirasakan oleh Amsudin, warga Desa Ancol Pasir, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang. ”Lumayan saya tidak perlu antre minyak tanah lagi,” kata Sari Lestari, istri Amsudin, Selasa pekan lalu. Gas tersebut diperoleh dari kotoran tiga ekor sapi miliknya. Teknologinya hampir sama dengan yang di Kulonprogo, tapi dikemas lebih sederhana.

Kotoran sapi di kandang langsung dibuang melalui pipa besar ke bak penampungan berukuran 4 x 4 meter dengan tinggi 1,70 meter. Bak inilah yang dihubungkan dengan pipa ke dapur milik Amsudin. Jadi tinggal klik, kompor pun menyala, sonder bayar.

Untung Widyanto, Iqbal Muhtarom, Heru C.N. (Yogyakarta), Joniansyah (Tangerang), Deffan Purnama (Bogor)



Post Date : 16 Juni 2008