Siapkah Indonesia dengan Ekonomi Karbon?

Sumber:Suara Pembaruan - 01 Desember 2007
Kategori:Climate
Perubahan iklim (climate change) awalnya tidak begitu banyak dikenal orang. Tetapi, popularitasnya mendadak terdongkrak seiring rencana penyelenggaraan 13th Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP 13 UNFCCC) serta 3rd Meeting of Parties on Kyoto Protocol 1997 (MOP 3) di Nusa Dua, Bali, pada 3-14 Desember.

Mulai sopir angkot, buruh, guru, PNS, wartawan, menteri, hingga presiden, semua berlomba-lomba beradu pendapat soal perubahan iklim. Di Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), isu perubahan iklim sebenarnya sudah mulai didengungkan pada 1990-an, disusul dibentuknya Komite Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan. Orang-orang masih belum tertarik ketika itu. Tetapi, sejak Pertemuan Bali mulai ramai diberitakan, masyarakat Indonesia tiba-tiba seakan "tersengat".

"Semua orang ingin tahu, berhasrat berbuat banyak, tetapi tidak tahu ke mana arah tujuannya," ungkap Haneda Sri Mulyanto, staf Deputi Menteri Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim KLH, dalam "Environmental Journalism Workshop 2007" yang diselenggarakan The Jakarta Post, belum lama ini. Bukan masalah, sebenarnya.

Sebab, bangkitnya antusiasme sulit dimungkiri justru pertanda kepedulian masyarakat Indonesia tentang isu perubahan lingkungan yang tentu saja harus dihargai. Tetapi, tampaknya dalam perundingan isu pemanasan global yang jelas konteksnya adalah lingkungan hidup, kini cenderung bergeser ke arah isu politik-ekonomi karbon.

Isu perubahan iklim menjadi isu politik-ekonomi lingkungan yang ujung-ujungnya bagaimana merespons problem itu dengan mitigasi. Dengan mitigasi atau intervensi manusia untuk mengurangi sumber-sumber gas rumah kaca diharapkan pemanasan global yang memicu perubahan iklim dapat diatasi. Di sini, mau tidak mau Indonesia terbawa dalam isu ekonomi karbon. Siapkah Indonesia?

"Ini tergantung pemerintah dan sektor swasta untuk merespons isu politik-ekonomi lingkungan," ungkap Haneda. Sebab ketika memitigasi, yakni mengurangi emisi yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara maju, dibutuhkan biaya yang besar.

Menurut perhitungan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), negara-negara maju harus mengurangi emisi hingga 40 persen untuk mencegah jangan sampai suhu bumi naik lebih dari 2 derajat celsius. "Ini butuh upaya keras mulai dari sisi teknologi, jenis sumber energi yang dipakai, dan banyak lagi," Haneda menandaskan.

Empat Isu

Lebih jauh dikatakan, politik ekonomi lingkungan harus disikapi secara hati-hati. Dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim sudah tegas disebutkan, emisi gas rumah kaca global berasal dari negara maju, dan emisi per kapita negara berkembang masih relatif lebih rendah. Untuk perkembangannya ke depan, emisi karbon jelas akan semakin bertambah karena adanya kebutuhan pembangunan.

Mengacu data kenaikan gas rumah kaca yang direspons Working Group I on Observation and Scientific, dukungan negara-negara maju jelas sangat diperlukan. "Negara maju harus memberikan pendanaan bagi negara-negara berkembang, sebab dampak perubahan iklim muncul dari sejarah emisi yang ditimbulkan negara-negara maju sejak Revolusi Industri," ungkap Haneda.

Dari adanya tuntutan komitmen negara maju terhadap negara berkembang, sedikitnya empat isu dijadikan perhatian utama delegasi Indonesia yang hadir dalam Pertemuan Bali. Isu-isu tersebut adalah dana adaptasi, transfer teknologi, program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (reduced emissions from deforestation and degradation/REDD), serta kesepakatan internasional pasca-2012.

Di satu sisi, dampak perubahan iklim sudah semakin banyak disadari orang. Tetapi di sisi lain, sejauh manakah orang-orang bersedia menjalankan kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim, misalnya soal dana adaptasi? Di situlah letak persoalannya. Belum ada dana adaptasi yang diterapkan hingga kini.

Terkait hal itu, Kepala Biro Agro Klimatologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Rizaldi Boer mengatakan dana adaptasi yang dialokasikan kini hanya sebesar dua persen dari clean development mechanism (CDM). Padahal, CDM sekarang transaksinya baru sebesar US$ 8 miliar, sehingga dua persennya hanya berjumlah US$ 167 juta. "Alokasi sebesar ini sangat tidak memadai," kata Rizaldi Boer.

Sementara, pada Pasal 14 UNFCCC disebutkan jelas bahwa negara maju wajib membantu negara-negara yang terkena dampak. Sangat disayangkan, karena hingga kini komitmen itu tidak kunjung terpenuhi. Pada COP 8 di New Delhi, India, misalnya, dana adaptasi yang diharapkan sebesar US$ 1 miliar per tahun. Tetapi kenyataannya tidak ada.

"Komitmen dan tanggung jawab terkait upaya membantu negara yang terkena dampak perubahan iklim, yakni negara-negara berkembang, hendaknya cepat direalisasikan. Jangan terus-menerus sekadar dinegoisasikan," kata Rizaldi. "Target kita di Bali, dana adaptasi dapat disepakati," tambahnya.

Di Bali itu pula, masalah transfer teknologi dan Program REDD diharapkan dapat diakomodasi sebagai climate regime yang secara konkret dapat mengatasi pemanasan global pasca-berakhirnya Protokol Kyoto tahun 2012. [SP/Elly Burhaini Faizal]



Post Date : 01 Desember 2007