Sikap Negara Maju Mulai Melunak

Sumber:Kompas - 07 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas - Beberapa negara maju, yang semula disinyalir berupaya menghambat majunya dialog mengenai perubahan iklim, pada rangkaian Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, Kamis (6/12), mengklarifikasi posisi mereka.

Jepang, misalnya, menyatakan justru ingin membangun Protokol Kyoto lebih maju. Begitu juga dengan Australia yang menegaskan sepenuhnya menerima kesimpulan Kelompok Kerja Ad Hoc (Ad Hoc Working Group) Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Meski demikian, beberapa permasalahan masih belum mencapai titik temu, antara lain bagaimana meningkatkan dana untuk adaptasi bagi negara-negara sedang berkembang dan kurang berkembang (least developing countries), bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan dalam alih teknologi, serta bagaimana proses dialog untuk menyiapkan mekanisme pasca-2012.

Alden Meyer dari Union of Concerned Scientists dari Amerika Serikat yang tergabung dalam jaringan Climate Action Network menjelaskan, Australia telah mengklarifikasi bahwa mereka mendukung kesimpulan yang dibuat Kelompok Kerja Ad Hoc pada pertemuan di Vienna, Austria, beberapa waktu lalu. Hal itu berarti negara tersebut sepenuhnya mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca antara 25 persen dan 40 persen dari tingkat tahun 1990, pada tahun 2020.

Undang-undang AS

Meyer menambahkan, perkembangan menggembirakan juga datang dari AS. Pada Kamis pagi waktu Indonesia, Komite Lingkungan dan Kegiatan Publik Senat AS sudah mengesahkan sebuah undang-undang yang isinya adalah kewajiban mengurangi emisi di seluruh AS menjadi 70 persen dari tingkat tahun 1990 pada tahun 2050.

"Memang banyak pihak yang menghendaki angka lebih tinggi, 80 persen atau lebih, tetapi ini adalah perkembangan yang baik, karena menunjukkan semakin meningkatnya isolasi terhadap pemerintahan Bush dalam hal kebijakan AS dalam masalah ini," ujarnya.

Di sisi lain, sebanyak 212 pakar masalah perubahan iklim dunia kemarin mengeluarkan Deklarasi Bali yang menegaskan, para pemimpin dunia harus segera mencapai kesepakatan untuk mengatasi pemanasan global.

Mereka menegaskan, bergerak menurut alur Protokol Kyoto saja tidak cukup. Karena itu, berdasarkan perhitungan mereka, rezim baru pasca-Protokol Kyoto harus menegaskan pemanasan global harus dipertahankan di bawah 2 derajat Celsius dan konsentrasi gas rumah kaca harus distabilkan di tingkat di bawah 450 ppm (part per million CO2 ekuivalen). Stabilisasi gas rumah kaca itu diharapkan bisa tercapai dalam 10-15 tahun mendatang.

Menurut Prof Matthew England, juru bicara para ilmuwan itu, konsentrasi global emisi gas rumah kaca harus dikurangi sekurangnya 50 persen di bawah tingkat tahun 1990 pada tahun 2050.

Prinsip "Deeper Cut"

Pada pertemuan hari keempat kemarin, para peserta mulai membahas lebih rinci berbagai masalah yang selama ini menjadi ganjalan. Secara umum, beberapa pihak sudah menyuarakan perlunya pengurangan emisi dalam jumlah yang lebih besar atau deeper cut untuk skema baru pasca-2012.

Ketua Delegasi Indonesia Emil Salim mengatakan, beberapa pihak sudah menyampaikan angka deeper cut tersebut, antara lain Uni Eropa yang menawarkan angka pengurangan emisi 25 sampai 40 persen pada tahun 2020 di bawah dari tahun patokan 1990, seperti masukan dari Kelompok Kerja Ad Hoc UNFCCC. Adapun Jepang menawarkan angka pengurangan emisi 50 persen pada 2050 dari tahun patokan 1990.

"Artinya, baik Uni Eropa maupun Jepang sudah mengarah pada satu sasaran tertentu. Kita tinggal menunggu negara-negara lainnya," kata Emil Salim. (OKI)



Post Date : 07 Desember 2007