Sisi Gelap Produk Hijau

Sumber:Media Inodnesia - 21 Juni 2011
Kategori:Sampah Jakarta

BELAKANGAN, penggunaan kemasan pada produk-produk berlabel biodegradable (mudah terurai secara biologis) seperti menjadi cara termudah untuk menghilangkan rasa bersalah manusia terhadap kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkannya.

Perusahaan-perusahaan manufaktur berlomba-lomba menghadirkan produk dengan kemasan yang disebut ‘hijau’ ini. Mereka mengklaim sebagai solusi untuk meringankan dampak kerusakan lingkungan. Konsumen pun tak kalah cepat beradaptasi dengan barang-barang tersebut, mulai dari kantong belanja, peralatan makan sekali pakai, hingga matras yoga.

Klaim lebih cepat terurai memang bukan isapan jempol. Studi terbaru yang dilansir dua peneliti asal North Carolina State University, AS, menyatakan, saat ditimbun di tanah, produk-produk biodegradable akan lebih cepat terurai.

Namun, bukan berarti produk-produk tersebut bebas dari sisi gelap. Sebab proses penguraian yang cepat ternyata akan mempercepat pelepasan gas metana yang merupakan senyawa pemicu emisi rumah kaca dan pemanasan global.

Memang benar bahwa sejumlah lokasi penimbunan sampah telah berhasil mengikat metana dan mengonversinya menjadi energi, sebagaimana yang juga sudah dipraktikkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Jawa Barat.

Akan tetapi, sebagian besar tempat pembuangan sampah masih gagal melaksanakan proses itu. Maka, yang terjadi pada akhirnya adalah potensi kerusakan yang lebih buruk daripada yang diakibatkan sampah biasa.

Meski demikian, studi yang dilansir dalam jurnal Environmental Science & Technology memastikan tidak semua sampah produk biodegradable berdampak buruk pada lingkungan.

Jika diolah dengan benar, sampah tersebut benar-benar meringankan potensi kerusakan. “Tujuan penelitian ini sederhana, hanya untuk menegaskan bahwa produk biodegradable tidak selalu menjadi solusi yang dapat diandalkan,” ungkap ketua tim penelitian tersebut, Morton Barlaz, sebagaimana dikutip dari Discovery News, Kamis (16/6).

Bukan Solusi Utuh

Barlaz menekankan, penelitian yang dilakukan timnya hanya difokuskan pada tahap akhir proses pengolahan sampah yang mudah terurai ini, yaitu saat penimbunan. Apalagi, penelitian yang ada sebelumnya kerap difokuskan pada tingkat emisi yang dihasilkan saat proses manufaktur.

“Jika benar-benar ingin mengetahui mana yang lebih baik atau lebih buruk, Anda harus melihat tingkat emisi yang dihasilkan mulai dari proses manufaktur hingga pembuangan untuk setiap material yang dibandingkan. Yang saya lakukan di sini hanya membantah bahwa produk yang mudah terurai ini selalu bisa diandalkan,” tegasnya.

Untuk melihat dampak lingkungan yang diakibatkan produk-produk biodegradable setelah tertimbun di tanah, Barlaz dan koleganya, James Levis, memfokuskan penelitian pada sejumlah lokasi penimbunan di AS.

Mereka menggunakan sebuah model komputer untuk mendapatkan perkiraan rata-rata metana yang dihasilkan dari setiap jenis sampah di seluruh lokasi penimbunan. Hasil penelitian menyimpulkan, produk yang paling cepat terurai justru menghasilkan paling banyak metana.

“Yang juga kami temukan, meskipun ratusan lokasi penimbunan berhasil mengubah metana menjadi energi, ada ratusan lainnya yang gagal melakukannya. Dan dari keseluruhan, penimbunan sampah merupakan penghasil metana terbesar kedua,” tambah Barlaz.

Badan perlindungan lingkungan AS, Environmental Protection Agency (EPA), memperkirakan setiap tahunnya lokasi-lokasi penimbunan tersebut menampung sekitar 135 juta ton sampah padat perkotaan.

Setiap tahun penduduk Amerika diperkirakan menghasilkan sekitar 250 juta ton sampah. Artinya, nyaris dua pertiga sampah tersebut berakhir di lokasi-lokasi penimbunan.

Hal itulah yang lantas memicu kekhawatiran para peneliti ini. Terlebih, konsumsi masyarakat AS telah meningkat lebih dari 50% dalam lima dekade terakhir.

Dikritik

Penelitian yang dilakukan Barlaz dan koleganya itu tak urung mendapat tanggapan berbagai pihak. Insinyur Kimia asal Michigan State University, AS Ramani Narayan mengingatkan agar simpulan dari penemuan tersebut tidak dimaknai diluar konteks yang ada.

"Studi tersebut difokuskan pada dua tipe plastik biodegradable, yaitu polylacticacid (PLA) dan polyhydroxy alkanoate (PHA). Meskipun kedua bahan itu hanya mencangkup 1% dari total limbah yang masuk ke aliran sampah padat perkotaan, tetap ada dampak positif lingkungan yang diberikan,“ katanya.

Narayan lantas membandingkan hal tersebut dengan 50% lebih sampah tradisional yang justru menjadi penghasil metana. Ia menilai sampah biodegradable tetap lebih baik lantaran dapat dikonversi menjadi pupuk kompos untuk budi daya pangan.

“Dan dengan pengalihan menjadi kompos, sampah-sampah tersebut tak perlu lagi dikirim ke lokasi penimbunan. Pernyataan bahwa limbah produk yang mudah terurai ini akan melepas gas rumah kaca yang kuat sangat menyesatkan,“ imbuh konsultan Biodegradable Products Institute ini.

Barlaz sendiri tak memungkiri bahwa pengolahan sampah biodegradable menjadi kompos merupakan salah satu kunci agar limbah tersebut bernilai lebih. Namun, menurutnya, cara terbaik yang dapat dilakukan manusia untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan adalah dengan mengurangi tingkat konsumsi dan pembuangan sampah.

“Kantong belanja yang mudah terurai masih menjadi pilihan yang baik karena mereka secara otomatis dapat berubah menjadi kompos. Namun jika Anda mempertimbangkan untuk mengganti peralatan makan ke produk hijau ini, Anda sebaiknya meneliti lebih dulu bagaimana komunitas Anda mengolah sampah tradisional,“ tandasnya. CHRISTINA NATALIA SIHITE



Post Date : 21 Juni 2011