Soal Air Minum, Belajarlah dari Kearifan Warga Sentong

Sumber:Sinar Harapan - 30 Januari 2004
Kategori:Air Minum
ALUNAN gending Jawa yang syahdu dan kontemplatif itu terus saja mengalan di antara kerumunan ratusan warga Dusun Sentong, Desa Rembun, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (27/1). Mereka berdaur dan menyalami tamu dari Bank Dunia, Australia Aid (AusAid), Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPENAS) dan penjabat Pemkap Malang.

Pertemuan itu merupakan kesaksian terhadap pencapaian warga Sentong dalam mengelola air minum. Ini juga merupakan anak tangga kemampuan warga Sentong dalam menundukkan alam demi kesejahteraan umat manusia disana. Kini mereka dengan entengnya memutar keran dan srrrotttttair pun mengucur deras.

Kecerahan suasana batin warga Sentong di hari itu memang beralasan. Menempati ketinggian 430 meter di atas permukaan laut, kesulitan warga Dusun Sentong utuk mendapatkan air bersih sangat besar karena kondisi alam yang kurang ramah terhadap air. Secara turun- temurun, warga Sentong mengambil air di Sungai Lesti dan Sungai Pamotan untuk minum, masak, cici dan mandi.

Selama dasawarsa 1990-an, dua sungai itu dicemari limbah Pabrik, Peternakan dan limbah dari sumber lainnya. Sampah dalam jumlah besar-besaran yang mengalami persenyawaan kimiawi dengan air Sungai lesti dan Pamotan itu, memojokkan warga Sentong ke dinding penderitaan yang dalam.

Mereka terpaksa mengorbankan waktu produktif mereka selama berjam-jam dalam menjadi sesuatu yang tak terbendung.

Reformasi yang menghempas negeri ini sejak tahun 1998 mengubah cara berpikir warga Sentong. Kemudahan mendapatkan informasi membuat mereka sigap untuk mengelola apa saja yang mereka dengar demi meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pada tahap awal. Kami didesa ini harus mencari informasi tentang dana yang bisa digunakan untuk membantu warga ini dari kesulitan air. Kami mendapatkan dana itu dari Pemerintah Indonesia dalam kerjasama dengan Bank Dunia dan AusAid, kata ketua Tim Kerja Masyarakat (TKM) Sentong, Siti Munawaroh didepan para tamu dan ratusan warga yang bernaung di bawah atap tenda yang luas.sehar untuk mengambil air di Desa Pamotan. 10km arah timur Sentong. Kemiskinan pun

Siti menguraikan proses pengelolaan informasi tadi kedalam beberapa tahap. Setelah mereka tahu sumber dana, warga Sentong berembug untuk memproses informasi tadi. Dalam tahap ini, Mereka mengajukan proposal ke Bank Dunia lewat Water and Sanitation For Low Income Communities/i> (WSLIC) yang di kelola oleh Water And Sanitation Program East Asia And The Pacific (WSP-EAP). kami dilati oleh sebuah badan sebuah badan yang di sebut MPA-PHAST agar kami bisa lebih trampil dalam mengelola air ledeng, kata Siti. MPA adalah singkatan dari Methodology For Participatory Assessment dan PHAST adalah Participatori Higenis and Sanitation Transformation.

Dana yang diperoleh warga Desa Sentong itu merupakan bagian dari program pendanaan yang dilakukan cara urunan antara Pemerintah Indonesia (US$ 12,20 juta), World Bank International Development Association (IDA) (US$ 77,40 juta), AusAid (S$ 6,50 juta), masyarakat Indonesia US$ 10,60 juta (16 persen berupa barang dan 4 persen uang tunai).

Dana itu untuk membangun sarana air minum di sejumlah desa miskin di ndonesia. Warga Sentong mendapat bantuan awal sebesar Rp 200 juta yang di peroleh dari Bank Dunia, pemerintah dan masyarakat Sentong sendiri. Begitu mendapatkan uang. Sejumlah tokoh masyarakat Sentong menemui pak Mojo, pemilik mata air di pamotan untuk membicarakan penyewaan air minum dari mata air di kebunnya bagi warga Sentong.

Tokoh Sentong dan pak Mojo sepakat dan sebuah surat perjanjian pun ditulis. Warga Sentong membayar Rp750 ribu per tahun ke pak Mojo (sumber AusAid menyebutkan Rp 1,5 juta per tahun). Mereka pun membangun ledeng sejauh 10 km.

Kebijakan lemah

Penjelasan Siti Munawaroh merupakan riak dari semangat warga Sentong untuk mengeluarkan diri dari kesulitan mendapatkan air bersih dengan membangun sebuah sistem kerja sama, baik fisik maupun ke uangan. Setelah menyumbang tenaga untuk membangun jaringan ledeng dari Pamotan dan sedikit uang tunai, kini masing-masing pemakai air memberi iuran Rp 4.500 per bulan untuk mengelola seluruh sistem air minum.

Kegembiraan tanggal 27 januari 2004 itu merupakan puncak dari perjuangan selama 3 tahun untuk mendapatkan air bersih. Kegembiraan serupa juga terlihat pada warga Indonesia lainnya di lokasi yang mendapat kucuran dana dari pemerintan dan badan internasional lainya.

Namun di tingkat nasional, data dan kebijakan air bersih masih belum jelas benar. Padahal pemerintah Indonesia sudah menandatangani Millenium Development Goal (MDG), suatu rencana jangka panjang yang di tetapkan PBB dalam upaya memperkecil kesulita untuk mendapatkan air. Indonesia berencana agar kesulitan yang sekarang dapat dipotong hingga setengah pada pada tahun 2015.

Kesepakatan global yang turut ditandatangani Indonesia tahun 2000 itu tidak didukung oleh data yang mendukung base line Indonesia dalam urusan air. Artinya, Pemerintah menentukan target tetapi tak tahu dari mana musti berangkat. Jangankan data,urusan devinisi apa itu air bersih masih diperdebatkan. Kelompok kerja Bappenas sudah merumuskan defenisinya seperti ini: air minum yang bisa diminum langsung dari sungai dan mata air dan air yang dimasak dulu baru diminum. Janga dulu bicara data karena ada perbedaan mendasar antara data bappenas, Badan Pusat Statistik, Departemen Kesehatan, Kimpraswil dan pemda seluruh Indonesia, kata Oswar Mungkasa, kasubdit Sanitasi Lingkungan Bappenas. Oswar mengatakan, kelompok kerja antara Departemen akan mengadakan lokakarya 3 Februari nanti.

Gambaran data yang erhubungan dengan air, memang ada di Departemen Kesehatan. Iniversi kami ya.sudah begitu datanya tahun 2001 punya, kata Dr R.Hening, Darpito, Direktur Penyehatan Air dan Sanitasi, Depkes. Menurut dia, pipa ledeng tahun 2001 untuk Sumatra baru18,7 persen dari total kebutuhan, Jawa (19 persen), Indonesia Timur (27persen).

Untuk pompa Sumatra (33 persen), Jawa Bali (16 persen), dan Indonesia Timur (7 persen). Sumur terlindung, Sumatra (27,7 persen), Jawa-Bali (33,9 persen) dan Indonesia Timur (17,4 persen).

Melihat lemahnya baseline Indonesia untuk mengurangi hingga setengah fasilitas air minum pada tahun 2015, bisa dibayangkan betapa kerasnya kerja pemerintah Indonesia dalan 12 tahun mendatang untuk mewujudkan target itu. Selain itu, uangnya juga besar sekali, Rp 60 triliun,kata Oswar.

Untuk itu, tak ada salahnya, Presidan, menteri dan pejabat di Jakarta untuk belajar dari kearifan warga Desa Sentong.

(SH/herman hakim galut)

Post Date : 30 Januari 2004