|
JAKARTA (Media): Aliansi 25 organisasi nonpemerintah (ornop) yang bergerak di bidang lingkungan dan HAM (hak asasi manusia) nasional mendesak Presiden Megawati Soekarnoputri untuk segera memanggil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh sehubungan dengan bencana banjir yang diduga akibat pembangunan proyek Jalan Ladia Galaska. Ke-25 ornop itu, dalam surat terbukanya kepada Megawati meminta agar Puteh mempertanggungjawabkan pembelanjaan keuangan pembangunan jalan itu yang diperoleh dari APBN sejak 2001 hingga sekarang. Puteh juga diminta tidak lagi mengajukan permohonan, serta menerima dana pembangunan jalan yang menghubungkan Lautan Hindia, Alas, Gayo, dan Selat Malaka itu dari Menteri Keuangan (Menkeu) pada anggaran-anggaran mendatang. Termasuk anggaran 2004, selama belum dilakukan penyelidikan secara menyeluruh dan jujur terhadap penggunaan dana Ladia Galaska. "Selama pembangunan jalan tersebut juga selalu memunculkan pertentangan di tingkat nasional dan komunitas internasional," ucap juru kampanye Sekretariat Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi) Hasjrul Junaid, Jumat (15/5) kepada Media. Kepada Puteh, Aliansi Ornop meminta agar segera menghentikan pembangunan Jalan Ladia Galaska secara resmi, dan merujuk pada saran-saran pembangunan ruas-ruas jalan alternatif yang sudah sering disampaikan oleh berbagai pihak, antara lain Menteri Lingkungan Hidup (LH), Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas, dan Menteri Kehutanan. Hasjrul menganggap Puteh telah melakukan pelecehan dan pelanggaran peraturan, serta perundang-undangan dengan mengeluarkan SK Gubernur No 15 Tahun 2003, tertanggal 2 Juni 2003. SK itu, menurutnya telah mengesahkan kelayakan dokumen Amdal proyek Ladia Galaska dan saat ini sedang digugat di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Akibatnya, banjir bandang dan tanah longsor datang secara bertubi-tubi di Tanah Rencong itu. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana banjir bandang itu melanda empat kabupaten di Aceh, yaitu Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Abdya. Keempat kabupaten itu merupakan daerah hilir bagian barat Proyek Ladia Galaska yang mengalami banjir besar pada 7-8 Mei lalu. Tercatat, seorang penduduk tewas hanyut terbawa arus banjir bersama empat rumah. Selain itu, lanjut Hasjrul, ribuan warga harus mengungsi ke luar permukimannya dan tidur di jalan saat rumah mereka digenangi banjir. "Banyak fasilitas umum tergenang, transportasi macet, dan aktivitas pendidikan terhenti," ujar Direktur Eksekutif Walhi Longgena Ginting. Banjir tersebut terjadi setelah hujan lebat yang mengakibatkan tiga daerah aliran sungai (DAS) besar di daerah tersebut, yaitu Krueng Seunagan, Krueng Meurebo, dan Krueng Tripa, meluap. Berkurangnya areal resapan air (catchment area) pada tiga DAS besar itulah yang diduga menyebabkan rentannya daerah hilir dan menyebabkan banjir hebat itu. "Dua dari DAS tersebut merupakan kawasan DAS yang dipotong oleh proyek Ladia Galaska, " ujar Longgena. Karena itu, Aliansi Ornop tersebut menganggap tuntutan tersebut paralel dengan desakan kepada komisi-komisi terkait di DPR dan DPRD I Aceh. Sebab, hingga kini belum ada sikap sinergis di antara beberapa komisi terkait. Komisi VIII DPR, secara tegas telah menentang pembangunan Jalan Ladia Galaska. Sementara, Komisi IV dan IX malah mendukung, menyetujui, dan mendorong terjadinya pencairan dana pembangunan jalan tersebut yang hingga saat ini hampir berjumlah Rp400 miliar. Di antara fraksi-fraksi yang ada, menurut Hasjrul, juga telah terjadi pro dan kontra terhadap proyek tersebut. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai Golkar (F-PG) diketahui gencar mendukung pembangunan dan pendanaan proyek tersebut. (Nuz/V-1) Post Date : 17 Mei 2004 |