Soal Sampah, DKI Tak Mau Repot

Sumber:Kompas - 24 Nopember 2004
Kategori:Sampah Jakarta
KETIKA libur Lebaran lalu, sampah di Jakarta menumpuk di berbagai tempat. Sebab, saat itu petugas kebersihan juga libur sehingga tak sempat mengangkut sampah dari pinggir-pinggir jalan raya, pasar-pasar, kompleks perumahan dan permukiman, saluran air, got-got, bahkan sampai terbawa aliran sungai.

Bisa jadi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah pusing tujuh keliling mengatasi soal sampah itu. Tetapi, warga juga mempunyai andil besar menghadirkan sampah dalam jumlah banyak. Mereka membuang sampah sembarangan di jalanan, got-got, dan sungai-sungai.

Akibatnya, dana yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah seperti orang menyiram garam ke laut. Sepertinya tidak pernah ada hasilnya. Sampah tetap saja menjadi masalah.

Lihat saja di Bajir Kanal Barat kawasan Tanah Abang. Sampah bertumpuk di aliran sungai sehingga membentuk seperti daratan. Tengok juga Kali Cideng, Krukut, dan sekitar Waduk Pluit. Sampah menumpuk. Belum lagi di rumah-rumah penduduk dan jalanan.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta mencatat, setiap hari warga Jakarta menghasilkan 6.000 ton sampah. Sebesar 57 persen adalah sampah yang dihasilkan dari rumah tangga. Sebanyak 30 persen dihasilkan dari pasar-pasar dan selebihnya 13 persen dihasilkan oleh industri, hotel, dan restoran.

Dari sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota, selama ini 2.000 ton dibuang ke Bantar Gebang, Bekasi. Sementara sekitar 1.000 ton dibuang ke Duri Kosambi (Jakarta Barat) dan 1.000 ton ke Cakung (Jakarta Utara). Sisanya diolah atau didaur ulang oleh warga.

PENGELOLAAN sampah di Jakarta sepertinya tak pernah tuntas. Selalu saja menimbulkan masalah bagi daerah lain di luar Jakarta. Dan harus diakui, masalah sampah pelik dan tidak pernah selesai. Hal itu setidaknya menjadi pukulan telak bagi Gubernur Sutiyoso.

Sutiyoso sendiri mengakui, sampah merupakan masalah pelik di wilayah pemerintahannya. Dari tahun ke tahun, Pemprov DKI tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah tersebut secara tuntas. Berbeda dengan masalah pembenahan transportasi, di mana Sutiyoso sedikit berlega hati karena paling tidak sudah ada pola transportasi makro seperti dengan kehadiran bus jalur khusus atau busway dan monorel (kereta rel tunggal).

Sampah adalah masalah krusial yang tak bisa ditangani secara tuntas. Sutiyoso berjanji dan menargetkan akan menuntaskan masalah sampah sebelum dirinya menyelesaikan tugas sebagai gubernur. "Masalah krusial sampah itu sudah harus tuntas," ujar Sutiyoso suatu ketika.

Lantas, kenapa sampah di Jakarta tidak pernah tuntas? Wakil Ketua Komisi D (membidangi Pembangunan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Mukhayar menilai, tak tuntasnya masalah sampah di Jakarta karena buruknya manajemen pengelolaan sampah.

Buruknya manajemen pengelolaan sampah mengakibatkan pengelolaan sampah di Jakarta amburadul. Dulu, diusulkan setiap kelurahan harus membangun insenerator. Tetapi itu tak berjalan. Lalu disepakati swasta akan mengelola dengan teknologi tinggi di Jonggol. Sampai sekarang belum juga beroperasi. Eh muncul lagi rencana menggunakan insenerator.

Pengelolaan sampah tidak berjalan baik sebagaimana yang direncanakan Pemprov DKI. "Dalam Rencana Pembangunan Tahunan Daerah pada tahun 2003 secara jelas sudah digariskan Pemrov DKI akan mengelola sampah di daerah sumber," papar Mukhayar. Sumber di sini adalah rumah tangga, pasar, dan industri. Sayangnya hal itu tidak berjalan dengan baik. Rencana yang ada tinggallah sebuah rencana dan tidak pernah terealisasi.

Akhirnya harus diakui, masalah sampah pelik dan tidak pernah selesai. Hal itu setidaknya menjadi pukulan telak bagi Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Ingatkah ketika warga di sekitar Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang memboikot sampah dari Jakarta akhir tahun 2001 dan awal tahun 2002? Waktu itu, sampah menggunung di mana-mana dan bisa dikatakan Jakarta laksana dikepung oleh timbunan sampah.

Bagaimana pula dengan rencana menggunakan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Bogor? Dua kali uji coba, namun selalu mendapat protes warga.

Mukhayar mengatakan, karena uji coba pengelolaan sampah di TPST Bojong selalu mendapat protes warga, sebaiknya Pemprov DI Jakarta mengkaji kembali kerja sama tersebut. "Dari perjanjian itu, setiap kali DKI membuang sampah di TPST, kita harus membayarnya. Jika tidak membuang sampah, ya kita tidak membayarnya. Artinya, kita tidak terikat. Kita tidak rugi kalau tidak membuang sampah di TPST. Jadi kalau sudah begitu, seharusnya perjanjian kerja tersebut dibatalkan saja. Bubarkan saja kerja sama itu," ujar Muhkayar menjelaskan.

Ia mengatakan, DKI harus mengeluarkan sekitar Rp 103.000 untuk per satu ton sampah yang buang ke TPST Bojong. Ia merinci, DKI Jakarta harus membayar kepada PT Wira Guna Sejahtera (PT WGS) sebesar Rp 53.000 per satu ton sampah yang dibuang ke TPST Bojong. Selain itu, DKI harus membayar kepada PT WGS biaya pengepresan sampah di Cilincing dari Rp 48.000 sampai Rp 50.000 per ton sampah.

Kalau perjanjian kerja sama itu diputus, paling DKI hanya merugi sekitar Rp 8 miliar yang sudah dikeluarkan untuk membangun jalan sepanjang 2 kilometer di kawasan TPST Bojong. Kalau Pemprov DKI memaksakan tetap bekerja sama dengan TPST Bojong, seharusnya PT WGS melakukan pendekatan dengan masyarakat.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta jangan terlalu percaya diri dengan Bantar Gebang dan TPST Bojong. Bagaimanapun juga itu adalah wilayah orang. Pemprov DKI jangan egois sendiri tidak mau mengotori dirinya sendiri dengan membuang sampah ke rumah orang.

Gubernur Sutiyoso pernah mengatakan, tetangga Jakarta juga membutuhkan kesejahteraan, kenapa kita tidak membantu mereka dengan memberikan dana dalam mengelola sampah.

Namun mengacu dari berbagai kejadian, sudah selayaknya sampah dikelola di wilayah sendiri. "Seharusnya, di setiap wilayah memiliki tempat pembuangan sampah dan dikelola dengan baik dengan teknologi tinggi. Masyarakat juga diwajibkan mengelola sampahnya sendiri," kata Mukhayar. (Pingkan elita dundu)

Post Date : 24 November 2004