Songbanyu, Tak Secantik Alamnya

Sumber:Kompas - 03 Mei 2009
Kategori:Air Minum

Alam begitu cantik di Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul. Tangkapan ikan tuna melimpah di Pelabuhan Sadeng. Tebing-tebingnya menyimpan kekayaan limpahan biota karang dengan harga selangit, seperti lobster.

Sebagian wilayah dari desa yang namanya bermakna tebing berair ini pun merupakan muara Sungai Bengawan Solo Purba yang subur luar biasa. Limpahan kekayaan alam itu ternyata belum mampu mendongkrak perekonomian warga Mayoritas warga di Desa Songbanyu masih terpurak dalam kemiskinan.

Hanya dusun-dusun di wilayah selatan, seperti Dusun Putat, yang sudah mulai menampakkan wajah segar karena warganya memperoleh pendapatan lebih tinggi dari profesi ganda sebagai petani dan pengrendet (pemancing ikan di bukit karang terjal). Usaha petani untuk mengrendet ini pun belum menghasilkan panenan lobster optimal karena cara tangkap masih dari atas tebing yang rawan kecelakaan. Buruknya infrastruktur jalan dan kekeringan terus membekap warga sehingga sulit beranjak dari lumpur kemiskinan.

Para petani di Desa Songbanyu umumnya mengeluh panenan ladang mereka yang habis dimangsa tikus. "Tanahnya sangat subur, tetapi polong kacangnya habis dimakan tikus. Ini hanya tinggal memanen daunnya untuk pakan ternak sapi," keluh pasangan suami istri Marmo (74) dan Seni (40).

Jika tidak diserang tikus, Marmo dan Seni bisa memanen kacang tanah hingga satu kuintal dari ladang tadah hujan seluas seperempat hektar. Kini, mereka hanya membaya pulang 20 kilogram kacang tanah yang tidak mencukupi untuk benih musim tanam berikutnya Marmo mengaku telah berupaya memberantas tikus, tetapi gagal karena hanya sebagian kecil yang mati.

Meskipun bercocok tanam di muara Sungai Bengawan Solo Purba, ladang mereka pun tak luput dari ketiadaan air. Padahal, ladang tersebut sebenarnya sangatsubur dengan endapan aluvial yang dulu dibawa aliran Sungai Bengawan Solo Purba.

Satu-satunya sumur yang terletak di dekat Telaga Suling yang merupakan dasar lembah Sungai Bengawan Solo Purba barns dibor hingga 150 meter untuk memperoleh air yang kemudian dialirkan ke beberapa desa termasuk ke Desa Songbanyu lewat jaringan pipa.

Aliran air dari pengeboran dasar muara Sungai Bengawan Solo Purba itu harus menempuh jarak empat kilometer untuk menjangkau dusun terdekat di Desa Songbanyu. Untuk dikonsumsi, air tersebut masih harus disaring hingga tiga kali karena warnanya keruh.

Kepala Dusun Putat Slamet Sutrisno mengatakan, tiap kepala keluarga hanya mendapat jatah 10-60 liter air per minggu. Warga membayar Rp 100 untuk memperoleh 10 liter air. Harga air per tangki volume 5.000 liter bisa mencapai Rp 160.000, padahal sumber air melimpah di wilayah Pantai Sadeng. Aliran air dari pipa tersebut hanya mengalir empat jam dengan durasi satu pekan sekali. Air baru ditampung terlebih dulu di sebuah bak yang kemudian disalurkan ke warga dengan menggunakan jeriken. Tanpa adanya pemecahan untuk permasalahan air, konflik antara warga karena berebut air cukup tinggi.

Untuk menghemat air di puncak musim kemarau, warga terbiasa mencuci baju ke Pelabuhan Sadeng yang jaraknya empat kilometer dari dusun. Di Pantai Sadeng yang merupakan muara terakhir dari Sungai Bengawan Solo Purba, warga hanya perlu mengebor sedalam tiga meter untuk memperoleh air.

Kepala Desa Songbanyu Prihadi juga mengaku prihatin karena pembangunan infrastruktur pelabuhan di Pantai Sadeng belum membuahkan dampak signifikan bagi warga lokal. Di Dusun Songbanyu, misalnya, hanya ada tiga orang yang telah beralih dari petani menjadi nelayan. Mereka juga tak memperoleh bagian dari retribusi tempat pendaratan ikan.

Limpahan kekayaan laut bare bisa dinikmati oleh nelayan pengrendet di Dusun Putat. Kesejahteraan warga antara lain bisa dilihat dari kepemilikan ternak sapi di Dusun Putat yang bisa 80 ekor per dusun dibandingkan dengan di Dusun Songbanyu yang hanya 20 ekor.

Perumpamaan ibarat tikus yang kelaparan di lumbung padi agaknya menggambarkan kehidupan warga di Desa Songbanyu. Mereka masih terpuruk dalam kemiskinan dengan limpahan kekayaan alam yang setiap hari melingkupi ruang hidup warga Pembangunan infrastruktur menjadi kata kunci bagi secercah harapan perbaikan nasib.... (MAWAR KUSUMA WULAN)



Post Date : 03 Mei 2009