Sri Gethuk dan Berkah Sumber Air Gunung Kidul

Sumber:Kompas - 29 September 2009
Kategori:Lingkungan

Berada di sekeliling air terjun Sri Gethuk di Desa Bleberan seperti melompat ke dunia lain, yaitu miniatur dunia impian Gunung Kidul nan hijau. Mawar Kusuma

Oase hijau yang mendominasi atmosfer Sri Gethuk merupakan paradoks di tengah kekeringan Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Gemercik air membahana dan hijau sawah terbentang sejauh mata memandang.

Hijau alam ini kontras dengan tanah kering kerontang, pohon jati meranggas, dan kesunyian ladang tadah hujan yang seolah ”memagari” Desa Bleberan. Sebanyak 50 petani pemilik sawah di Sri Gethuk ini memang sangat beruntung karena dianugerahi limpahan air.

Sungguh alam Sri Gethuk merupakan wajah lain dari kondisi alam Gunung Kidul pada umumnya, yang berbatu keras dan hanya mengandalkan hidup dari air hujan. Paradoks ini lantas menjadikan Sri Gethuk bagai wilayah ajaib di Gunung Kidul. Sebuah wilayah ijo royo-royo di tengah kegersangan.

Musram (60) berbaring dibuai semilir angin di tengah sawah yang menghijau pada Senin (31/8). Dua puluh empat hari lagi, Musram akan memanen padinya. Sepanjang pagi hingga sore selama sebulan ke depan, dia harus menjaga sawahnya dari incaran burung-burung pemakan biji-bijian.

Ditingkahi gemercik air, tidur Musram sungguh nyaman betul. Dengan mata tetap terpejam, beberapa menit sekali dia menggerakkan tali-temali yang saling terjalin sebagai pengusir burung.

Tiap tahun, petani di Sri Gethuk bisa memanen padi hingga tiga kali. Areal persawahan tersebut hampir bisa dipastikan tak pernah dibiarkan menganggur barang sejenak saja. Dari lahan seluas 670 meter persegi, Musram bisa memanen 300 kilogram padi sekali panen. Hasil yang cukup menenteramkan baginya.

Menghabiskan sebagian besar waktu di sawah, petani-petani ini pun sungguh bisa menikmati hidup. Di gubuk-gubuk yang tersebar di areal persawahan, mereka meletakkan bantal, guling, dan tikar. Beberapa pakaian tergantung di bawah atap genteng atau sekadar digeletakkan di alas berupa papan kayu.

Mereka pun melengkapi gubuk yang mirip rumah panggung mini ini dengan sajadah atau mukena untuk bersembahyang di sawah. Di sekeliling gubuk-gubuk ini, petani menanam sayuran seperti terung, cabai, atau tomat. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi di antara petak-petak sawah menawarkan kesegaran air degan ketika mentari sedang terik-teriknya.

Kenyamanan di tengah sawah tersebut agaknya merupakan pembayaran setimpal bagi jerih payah Musram yang harus berjalan kaki setengah jam menuju sawah dari rumah tinggalnya di Dusun Gubuk Rubuh, Desa Getas, Playen. Tiap hari, dia berangkat dari rumah pukul 06.00 dan pulang kembali pada pukul 17.30.

Ketika mayoritas warga Gunung Kidul sedang ditimpa bencana kekeringan, Musram dan seluruh warga di desa Bleberan menikmati limpahan air untuk kehidupan sehari-hari. Sebagai gambaran, warga di wilayah selatan Gunung Kidul yang sama sekali tak dianugerahi kekayaan air kini menjerit karena kenaikan harga air bersih. Sejak satu pekan sebelum Lebaran hingga kini, harga air dari penjaja air keliling naik hingga 20 persen.

Selama satu pekan sekali dalam setahun pada era tahun 1982, menurut Musram, warga pemilik sawah di sekitar air terjun Sri Gethuk bekerja bakti membangun saluran irigasi agar areal tersebut bisa ditanami padi sepanjang tahun. Limpahan air yang bermuara di air terjun Sri Gethuk ini berasal dari mata air dari goa-goa bawah tanah seperti Luweng Umbul, Luweng Laos, dan Luweng Membleg.

Seperti lokasi lain di Gunung Kidul yang menyimpan keunikan limpahan air, Sri Gethuk pun menyimpan cerita legenda yang hingga kini dipercaya penduduk sekitar. Menurut Kepala Desa Bleberan Tri Harjono, desa itu memiliki cerita tutur bahwa lokasi air terjun di Desa Bleberan, Playen, itu pernah jadi pusat kerajaan makhluk halus.

Bariah (40), warga setempat, mengaku hingga kini sesekali masih mendengar bunyi tetabuhan gamelan dari arah air terjun. Bunyi gamelan terdengar terutama ketika langit telah menjadi gelap atau menjelang turun hujan.

”Saat saya masih kecil, bunyi gamelan pasti terdengar saat maghrib. Kini sejak banyak pendatang, suara-suara itu mulai jarang,” tutur Mawardi (56).

Anugerah air yang mereka nikmati sebenarnya terjadi karena aliran sungai bawah tanah menyentuh permukaan.

Gunung Kidul sejatinya sangat kaya dengan limpahan air yang tersembunyi jauh di bawah tanah. Jika aliran sungai bawah tanah bisa diraih oleh warga dengan cara murah seperti di Sri Gethuk, niscaya kekeringan hanya menjadi nostalgia dari bumi Gunung Kidul.



Post Date : 29 September 2009