Sudahkah Kita Menghargai Air?

Sumber:Suara Pembaruan - 23 Maret 2009
Kategori:Air Minum

Tanggal 22 Maret 2009 diperingati sebagai World Water Day atau Hari Air Sedunia. Di Indonesia, Hari Air Sedunia tidak banyak mendapat perhatian. Walaupun air adalah kebutuhan dasar manusia, namun sejauh ini cenderung hanya merupakan pokok pembahasan para pakar yang peduli pada air.

Hari Air Sedunia dimunculkan pada United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. PBB menetapkannya sebagai Hari Air Sedunia dan setiap tahun dikeluarkan resolusi. Setiap negara anggota yang memperingati Hari Air ini diharapkan mau melaksanakan berbagai rekomendasi PBB dan berbagai kegiatan nyata sesuai dengan kondisi masing-masing.

Masalah air menjadi demikian penting, karena merupakan kebutuhan paling dasar untuk hidup, selain oksigen. Untuk menghasilkan makanan perlu air, untuk menghasilkan pakaian perlu air, untuk mandi perlu air. Bisakah kita hidup tanpa air? Namun, apakah kita sudah memperlakukan air dengan baik?

Sebuah liputan BBC News pekan lalu mengutip Prof John Beddington, Chief Scientific Advisor untuk Pemerintah Kerajaan Inggris, yang mengatakan, peningkatan jumlah populasi dunia akan menghasilkan dampak yang disebutnya perfect storm (bencana yang sempurna), berupa kelangkaan pangan, energi, dan air pada 2030.

Dalam perhitungan Beddington -pakar bidang biologi populasi terapan di Imperial College, London- kebutuhan yang demikian besar terhadap air akan memunculkan krisis pada 2030 dengan dampak yang mengerikan. Dia menghitung kebutuhan pangan dan energi akan naik 50 persen pada 2030 dan kebutuhan air baku (fresh water) naik 30 persen, pada saat itu jumlah penghuni bumi mencapai 8,3 miliar manusia. Dia menyamakan situasi itu seperti krisis keuangan global yang kini dialami secara merata di seluruh dunia.

Program Lingkungan PBB (UNEP) memprediksikan kelangkaan air akan mulai menyebar secara global di Afrika, Eropa, dan Asia pada 2025. Jumlah air yang bisa diperoleh per kepala akan menurun drastis. Menurut laporan yang dirilis World Wide Fund for Nature (WWF) di Inggris, setiap orang di negara itu memanfaatkan air secara langsung (makan, minum, mandi, cuci dan lain-lain) sekitar 150 liter per hari, namun jumlah air yang dikonsumsi secara "virtual" (yang terkandung dalam makanan, pakaian, dan berbagai benda lain) setara dengan 58 bak mandi air bersih setiap hari.

Peduli Air

Sebuah penelitian membuktikan, untuk menghasilkan seliter minuman cola dibutuhkan air segar (langsung atau tidak langsung) hingga 250 liter. Dan untuk menghasilkan satu liter air dalam kemasan yang kita beli setiap hari, dibutuhkan lebih dari satu liter air pegunungan di Gunung Salak, Sukabumi. Berapakah jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu ton padi atau satu kilogram beras yang kita konsumsi di rumah setiap hari? Untunglah, sejumlah daerah di Indonesia mulai menerapkan System of Rice Intensification (SRI) yang mengurangi penggunaan air untuk tanaman padi dan pupuk kimia.

Kita di Indonesia mungkin tidak sebanyak berbagai pihak di atas dalam mengonsumsi air, namun idealnya, kita juga ikut dalam barisan yang peduli terhadap gerakan hemat air. Apakah kita sudah menghemat penggunaan air? Mungkin masyarakat yang tinggal di kawasan Pantai Utara Pulau Jawa atau kawasan-kawasan sulit air bersih di wilayah Jakarta Utara, misalnya, berperilaku hidup hemat air sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ukurannya adalah berapa kaleng air dalam sehari untuk masak, mandi, dan cuci. Bagaimana mereka yang berada di kawasan yang masih bebas dan seenaknya menyedot air tanah untuk gedung-gedung bertingkat, jasa pencucian mobil, dan menyiram tanaman (bahkan jalan!)?

Dalam pertemuan beberapa waktu lalu di Jakarta, sejumlah pimpinan PDAM mengeluhkan perilaku warga yang rela mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk membeli pulsa telepon, namun marah-marah kalau tagihan air mereka (yang mungkin nilainya hanya puluhan ribu) naik. Padahal, kelompok masyarakat tersebut bisa hidup tanpa telepon dan pasti tidak bisa hidup tanpa air. Atau memang masih terlalu mudah di negeri ini mencari alternatif sumber air di luar PDAM (yang baru sebatas bisa memasok kurang dari 30 persen kebutuhan air bersih bagi penduduk di Indonesia).

Yang pasti, air akan semakin langka. Ada baiknya kita mulai bertanya dan merenungkan, sudahkan kita menghargai air? Berapa banyak air yang kita sia-siakan? Sudahkah ada upaya untuk mendaur ulang air yang kita gunakan? Budaya kita mengajarkan banyak kearifan, khususnya dalam melestarikan lingkungan termasuk air. Menghargai air adalah menghargai kehidupan. Oleh karena itu, mari berjuang secara kolektif untuk kelestarian air agar kegembiraan tidak hilang dari wajah anak-anak kita di masa depan.

Jannus TH Siahaan Mahasiswa Program S-3 bidang Sosiologi Universitas Padjadjaran Bandung



Post Date : 23 Maret 2009