Sumba Timur Krisis Air Bersih

Sumber:Kompas - 29 April 2005
Kategori:Air Minum
Waingapu, Kompas - Sebagian besar penduduk Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, kini mengalami krisis pangan dan air bersih akibat kekeringan. Stok pangan keluarga petani sudah menipis dan untuk mendapatkan air bersih harus berjalan kaki sedikitnya enam kilometer setiap harinya.

Kenyataan itu terekam antara lain ketika Kompas menyusuri sejumlah desa di Kecamatan Haharu, pesisir utara Sumba Timur, Kamis (28/4). Desa-desa itu, misalnya, Temu, Kuta, Hambapraing, Mondu, Rambangaru, Kadahang, Wunga dan Napu, yang semuanya dikitari sabana yang membentang luas.

Penjabat Bupati Sumba Timur Alex Babys bahkan mengatakan, krisis pangan saat ini adalah sesuatu yang pasti dialami oleh sebagian warganya. Bahkan dia memberikan data dari Badan Bimas dan Ketahanan Pangan setempat yang menyebutkan bencana kekeringan terjadi di seluruh wilayah.

Ia mengatakan, krisis pangan terjadi setelah beberapa jenis tanaman pangan utama seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan gagal panen dan gagal tanam. Ada 9.437 hektar (58,89 persen) tanaman pangan mengalami kekeringan dan 4.893 hektar lagi gagal tanam karena rendahnya curah hujan.

"Jika dihitung secara matematis antara produksi setelah adanya kekeringan yang menyebabkan gagal panen, serta gagal tanam, maka rawan pangan adalah sesuatu yang pasti terjadi saat ini," kata Alex Babys yang baru dilantik sebagai Penjabat Bupati Sumba Timur, medio April ini.

Krisis pangan itu dialami sekitar 20.355 keluarga petani atau sekitar 87.589 jiwa yang tersebar di 138 desa. "Upaya yang kami lakukan kini mencegah jangan sampai terjadi rawan daya beli. Jika sampai terjadi rawan daya beli di masyarakat, maka akan berdampak buruk," katanya.

Ada dua upaya yang coba dilakukan Pemkab Sumba Timur, yakni mengajak warga untuk mengoptimalkan daerah aliran sungai dengan menyediakan benih jagung dan kacang. Upaya lain dengan proyek padat karya. Namun, seperti apa operasional proyek itu sedang mereka koordinasikan.

Warga Desa Temu, Kuta, Praibaku, Hambapraing, Mondu, Rambangaru, Kadahang, Wunga dan Napu cemas akibat menipisnya pangan di rumah mereka. "Tanaman jagung saya seluas 40 are, serta kacang tanah 20 are, gagal panen," kata Wula Ngadu Lewa, warga Dusun Baturua, Dewa Praibakul.

Bahkan, Ngadu Lewa sama sekali tidak memiliki bahan makanan di rumahnya, tetapi hanya memiliki 10 ekor ayam (6 ekor jantan). Setiap minggu dia menjual dua ekor ayam jantan seharga Rp 15.000-Rp 20.000 per ekor. "Sebagian uangnya untuk beli beras 1-2 kilogram buat bertahan dua hari," katanya.

Kesulitan pangan

Dia bingung bagaimana mendapatkan bahan pangan untuk menghidupi enam anggota keluarganya setelah ayamnya habis terjual. Beberapa daerah aliran sungai yang masih menyediakan air terletak cukup jauh dari rumahnya coba diolah, tetapi dia tidak memiliki benih jagung dan kacang-kacangan.

Hal ini juga dialami tetangganya dan warga desa lain. Marten Taramata (45), tokoh masyarakat Desa Rambangaru, yang memiliki areal kebun jagung seluas 0,5 hektar pun mengalami gagal panen Maret lalu karena tanaman jagungnya mati ketika usia tanam satu bulan.

"Tanaman kacang-kacangan yang diusahakan secara tumpang sari dengan jagung itu pun mati, gagal panen. Untuk menghidupi keluarga, yang menjadi tanggungan saya seluruhnya 13 orang, saya memancing ikan di laut, dan hasilnya pas-pasan," katanya.

Warga Desa Wunga dan Napu lebih parah lagi. Selain mengalami krisis pangan, mereka kesulitan air bersih. Marselina Geli (29), Hina Unju Mbani (37), Anus Nggaba (33), dan Mai Atambana (35) menuturkan, air bersih merupakan masalah utama di samping krisis pangan. "Kami harus mengambil air hingga sejauh enam kilometer," kata Marselina.

Sekretaris Camat Haharu Ary Watimena dan Kepala Seksi Pemerintahan Camat Haharu John Taramburu membenarkan, seluruh warga Desa Wunga dan Napu kesulitan air bersih. Setiap bulan memang ada bantuan air bersih dengan mobil tangki, hanya satu tangki per bulan, sehingga amat tidak memadai.(CAL)



Post Date : 29 April 2005