Sumur tanpa (Dasar) Air

Sumber:Majalah Tempo - 14 April 2008
Kategori:Air Minum

Jakarta mengalami defisit air tanah. Pemerintah berencana menaikkan tarif air tanah setara dengan harga dari perusahaan air minum. 

Amran dan Itung menangguk rezeki dari musibah yang dialami warga Perumahan Radio Republik Indonesia di Jakarta. Dua pekan sekali keduanya memperdalam sumur pompa warga Kelurahan Tanjung Duren, Jakarta Barat, itu yang menyusut. ”Jika tak diperdalam, pompa sulit dapat air,” kata Amran, yang bersama Itung dikenal sebagai ahli membuat sumur pompa.

Selasa siang pekan lalu, keduanya mengebor sumur pompa milik Sasri Rais, warga Rukun Warga 06, hingga kedalaman 28 meter. Muhidin, tetangga Sasri, bahkan sudah dua kali mengeduk sumurnya. Awalnya dia memperdalam sampai 18 meter, tapi tak bertahan lama. ”Airnya menyusut lagi,” kata Muhidin kepada Tempo. Dia minta bantuan Amran mengebor lagi hingga kedalaman 26 meter.

Sumur milik Harun Prawira dan puluhan warga Perumahan Radio Republik Indonesia lainnya juga harus diperdalam agar airnya keluar. Harun menunjuk Central Park, proyek pembangunan apartemen, mal, perkantoran, dan hotel di belakang rumahnya, yang menjadi penyebab menyusutnya air tanah. Central Park merupakan superblok seluas 21 hektare.

Kehidupan yang luar biasa pun dialami penduduk yang tinggal di Rukun Warga 02, Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. Sejak enam bulan lalu, sumur dan mesin pompa mereka kering kerontang. ”Lihat, tuh, mesin pompa saya menganggur,” kata Maryem. Pompa tangan milik umum juga tak berfungsi lagi. Warga menunjuk pembangunan superblok di Jalan Arteri Pondok Indah sebagai biang keladinya.

Mengapa sumur warga menjadi kering? Apakah krisis air tanah di Jakarta kini semakin parah? Ahli hidrologi Institut Teknologi Bandung, Lambok M. Hutasoit, menunjuk pengurasan air tanah (dewatering) oleh kontraktor proyek gedung jangkung sebagai penyebab utama. Memang pada saat membuat fondasi dan basement, mereka menyedot air tanah untuk pengeringan lahan. Biasanya dewatering ini dilakukan pada akuifer atau lapisan jenuh air tanah dangkal. ”Akibatnya, sumur warga di sekitarnya ikut terpengaruh,” kata dosen di Kelompok Keahlian Geologi Terapan institut itu.

Dian Wiwekowati, yang menjabat Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bawah Tanah dan Bahan Galian Dinas Pertambangan Jakarta, berpendapat senada. Menurut Dian, sering kali kontraktor membuang begitu saja air tanah yang disedot oleh pompa ke sungai. ”Seharusnya disuntikkan lagi di tempat lain agar sumur warga di sekitarnya tak kering,” ujarnya.

Dari penelitian Dinas Pertambangan Jakarta, ada empat zona terjadinya fluktuasi muka air tanah yang tajam antara musim hujan dan kemarau. Zona waspada meliputi Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cengkareng, Tambora, Sawah Besar, Kelapa Gading, Grogol, Petamburan, Gambir, dan Kebon Jeruk. Zona rawan menjangkau daerah Cakung, Makasar, Cilandak, Menteng, Pulogadung, dan Cempaka Putih.

Zona sangat rawan berada di Tanah Abang, Johor Baru, Kramat Jati, Pasar Minggu, dan Jagakarsa. Terakhir, zona kritis meliputi daerah Kebayoran Lama, Pasar Rebo, dan Setiabudi. Di zona kritis itu kedalaman muka air tanah setempat lebih dari 12 meter dengan fluktuasi lebih dari 6 meter.

Selain menyuntikkan kembali air ke dalam tanah, kontraktor gedung jangkung harus menampungnya. ”Bagikan ke warga sekitar selama masa pembangunan proyek,” kata Lambok.

Pengembang superblok Gandaria City sejak enam bulan lalu menyalurkan air ke rumah warga di sekitarnya yang menjadi korban. Pengembang Agung Podomoro yang membangun Central Park menjelaskan pihaknya sudah mengikuti aturan. ”Kami belum dapat laporan soal keringnya sumur warga,” kata Indra Widjaja Antono, Direktur Pemasaran Agung Podomoro.

Izin dewatering kini jadi persoalan tersendiri. Pada 2005, sudah keluar Peraturan Gubernur Jakarta yang memberi kewenangan Dinas Pertambangan memberi izin proses pengurasan air. Sayangnya, hingga saat ini belum keluar petunjuk pelaksanaannya sehingga Dinas Pertambangan tak mengetahui kontraktor dan pengembang mana saja yang sedang menguras air.

Selama ini Dinas Pertambangan mengeluarkan izin pengambilan air bawah tanah, baik melalui sumur pantek maupun sumur bor. ”Kami ingin warga tak menggunakan air tanah,” ucap Dian. Namun, karena dua mitra asing Perusahaan Air Minum Jakarta tak sanggup memenuhi kebutuhan warga dan perusahaan, dinas ini akhirnya mengeluarkan izin. Perusahaan Air Minum memang baru mencukupi separuh dari keseluruhan kebutuhan sekitar 547,5 juta meter kubik per tahun.

Akibatnya, warga, hotel, apartemen, pabrik, dan perusahaan beramai-ramai menyedot air tanah, baik legal maupun sembunyi-sembunyi. Tiga tahun lalu, air tanah yang disedot, menurut perkiraan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta, mencapai 251,8 juta meter kubik. Angka ini belum termasuk penyedotan untuk proyek pembangunan gedung.

Sesuai dengan ketentuan, batas aman penyedotan air bawah tanah adalah 186,2 juta meter kubik dari potensi keseluruhannya yang mencapai 532 juta meter kubik per tahun. Potensi ini diukur dari curah hujan sepanjang tahun dan daya resap tanah di Jakarta. Ini berarti telah terjadi defisit air di Jakarta.

Untuk mencegah krisis air tanah, Pemerintah Provinsi Jakarta berencana menaikkan tarif air tanah hingga mendekati tarif air Perusahaan Air Minum. Saat ini harga air tanah cuma Rp 550-3.300 per meter kubik, sedangkan air Perusahaan Air Minum Rp 1.050 untuk warga dan Rp 12.550 per meter kubik bagi pelanggan besar serta gedung-gedung tinggi. Menurut Dian, pihaknya sudah meminta masukan dari Institut Teknologi Bandung dan menyimpulkan harga ideal air tanah Rp 8.800-23.300 tiap meter kubik. ”Biro Hukum sedang mengkaji, setelah itu diajukan ke dewan perwakilan rakyat daerah,” katanya.

Dinas Pertambangan Jakarta juga akan membuat peraturan baru, yaitu pembuatan sumur bor yang disesuaikan dengan jumlah keluarga. Selama ini satu gedung berhak membuat satu sumur bor dan wajib memiliki satu sumur resapan. ”Sekarang tidak, apartemen yang dihuni 3.000 keluarga harus membuat 3.000 sumur resapan,” ujar Kepala Dinas Pertambangan Peni Susanti. Untung Widyanto, Iqbal Muhtarom



Post Date : 14 April 2008