Sungai Mengering, Kemiskinan Bergeming

Sumber:Kompas - 04 Mei 2012
Kategori:Lingkungan
Hidup para petani tanpa tanah di desa-desa di sekitar Tuban, Jawa Timur, ibarat memunguti remah-remah sisa makan para tuan. Gerak hidup kian sempit. Tanah, air, dan udara yang mendukung kehidupan makin kehilangan dayanya karena kepungan perusakan.
 
Lahan garapan Dani (64), warga Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, kini ditambang untuk pabrik semen. Ia menyambung hidup dengan memelihara sapi, tetapi, ”Sekarang cari rumput susah,” ujarnya.
 
Sejak pabrik semen beroperasi, warga kehilangan lahan persil garapan milik Perhutani. Saat ini petani hanya bisa leles (memanfaatkan lahan sisa yang belum ditambang) untuk bercocok tanam. ”Hanya yang muda bisa kerja di pabrik, itu pun kontrak,” kata Mawarni (46).
 
Selain itu, getaran dari peledakan batu kapur menyebabkan dinding rumah retak-retak. Tanaman jenis nangka dan mangga susah berbuah.
 
Semua terdampak
 
Debu semen yang menebal menghambat bertemunya putik dan serbuk sari, membuat penyerbukan terganggu. Unsur hara berkurang sehingga pertumbuhan tanaman kurang sempurna. ”Sekarang buahnya lebih kecil,” lanjut Mawarni, ”Ternak kurus-kurus karena rumputnya berdebu, harus dicuci dulu sebelum dimakan ternak.”
 
Warga juga mengeluhkan gangguan pernapasan dan pusing-pusing. ”Daun saja seperti ini, bayangkan kalau masuk ke pernapasan,” kata Nurhadi, pegiat Serikat Tani Indonesia Tuban, menunjukkan daun-daun yang warnanya sudah putih kecoklatan.
 
Ia mengisahkan, pada tahun 2000 terjadi peledakan yang menyebabkan ambrolnya tanah sedalam 15 meter dengan diameter 10 meter. Dahlan (54), warga Senori, Kecamatan Merak Urak, Tuban, menambahkan, sumber air mengering pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan, selain terjadi intrusi air laut.
 
PT Semen Gresik mulai membebaskan lahan di Tuban antara tahun 1989 dan 1990. Proyek dimulai tahun 1991 dan produksi mulai tahun 1994.
 
Potensi kerusakan
 
Peneliti karst dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Eko Haryono, mengatakan, dampak penambangan batu karst dirasakan secara gradual. Kawasan karst berfungsi sebagai tangkapan sungai bawah tanah. Penambangan karst yang tak sesuai dengan aturan akan menghancurkan epikarst atau permukaan karst. Tanah di permukaan itu berfungsi menyimpan dan menyaring air.
 
Kalau tanahnya tergerus, air di atas permukaan tanah melaju turun langsung, mencemari sungai bawah tanah. Apalagi kalau penambangan berada di atas jalur sungai bawah tanah, seperti di Desa Bedoyo, Ponjong, Gunung Kidul, tambah Sunu Wijanarko dari Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta.
 
Eko mengatakan, sekitar 70 persen air yang mengalir bertahap ke sungai bawah tanah berasal dari epikarst. Hancurnya epikarst menyebabkan debit air menyusut pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.
 
Pakar karsto-speleologi, dr Robby Ko King Tjoen, mengingatkan, eksploitasi karst di daerah Cibinong, Jawa Barat, untuk Semen Cibinong pada tahun 1970-an mengakibatkan hancurnya kawasan karst Cibinong. Situasi yang hampir sama terjadi di daerah Gresik, Jawa Timur.
 
”Di Citatah, pada tahun 1950-an, mata air masih banyak. Maraknya penambangan karst menyebabkan perubahan hidrologi,” lanjut dr Ko. ”Banyak mata air terkait dengan batu gamping. Kalau batunya diganggu, mata airnya juga terganggu.”
 
Penambangan karst Citatah di pegunungan kapur Padalarang menjadi faktor penting semakin dangkalnya Situ Ciburuy, sumber pengairan sawah desa-desa sekitar.
 
Serius
 
Edy Toyibi, Direktur Cagar, lembaga konservasi dan perlindungan sumber daya alam Kabupaten Tuban, mengungkapkan, penambangan batuan kapur di wilayah Tuban yang hampir merata telah mengoyak bentang kawasan karst.
 
Penambangan kapur di Jurang Tretes, Kecamatan Rengel, menyebabkan berkurangnya debit air secara drastis dan kehancuran lembah-lembah. Limbah material sisa penambangan yang terbawa aliran air permukaan menyebabkan pendangkalan irigasi alam dan mengotori lahan pertanian.
 
Kawasan karst merupakan tandon raksasa air bawah tanah. Edy mengutip hasil penelitian Badan Geologi Bandung (2002) yang menyebutkan, setiap meter kubik batuan kapur mampu menyimpan 165 liter-190 liter air.
 
Ketua Bidang Sains dan Konservasi Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (Hikespi) itu menambahkan, berdasarkan tinjauan speleologi (penelusuran dan penelitian gua), di kawasan karst Tuban terdapat 150-an mata air yang mengalir konstan di segala musim dengan debit sampai 1.500 liter per detik. Namun, eksploitasi kapur dan pembabatan hutan menyebabkan lebih dari 30 sumber air mati dan sisanya menyusut.
 
Kusdarwanto dari Lembaga Karst Indonesia memperkirakan, sekitar 40 persen sumber air di Jawa berasal dari kawasan karst yang membentang dari timur ke barat Pulau Jawa. ”Kerusakannya sudah serius, 20-30 persen sudah tereksploitasi. Kondisi eksokarst terancam penggundulan hutan,” ujarnya.
 
Kemiskinan
 
Utuhnya vegetasi di kawasan karst akan mengoptimalkan cadangan air di dalam akuifer yang didistribusikan ke lahan pertanian pada musim kemarau. ”Keutuhan ekosistem karst berarti memperkuat ketahanan pangan. Salah satunya adalah karst Sukolilo untuk pengairan sawah di Pati,” ujar Mas Noerdjito, pakar vegetasi kawasan karst, pensiunan Peneliti Utama LIPI.
 
Eko memperkirakan, tutupan vegetasi kawasan karst di Jawa telah hilang sekitar 60 persen, morfologi 15-20 persen. Daya dukung lingkungan mungkin 80 persen sudah terlampaui.
 
”Daya dukung kehidupan di kawasan karst Gunung Sewu, misalnya, telah 3,5 kali lipat dari daya dukung lingkungan, tetapi pertanian tak mencukupi lagi sehingga terjadi migrasi tenaga kerja sebagai TKW-PRT, ” ujar Eko.
 
Perusakan itu tak berhenti di Jawa. Atas nama ”pembangunan”, kawasan karst di luar Jawa menjadi incaran para pemodal yang tak kunjung kenyang. (MH/FIT/ACI)


Post Date : 04 Mei 2012