Surat dari Leuwigajah kepada Presiden yang Terabaikan...

Sumber:Kompas - 26 Februari 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Pak Presiden, tolong perhatikan kampung saya. Dulu pemandangannya indah. Tetapi, kini setelah ada tempat pembuangan akhir sampah, segalanya hancur. Kampung saya rusak, bau, dan kotor.

Rangkaian kalimat ini merupakan sebagian dari isi surat Lia Duriah (31) yang ia kirim 14 tahun lalu kepada-waktu itu-Presiden Soeharto. Kemudian Presiden Soeharto membalas surat tersebut lalu dikirim melalui Gubernur Jawa Barat, saat itu Yogie S Memet.

Lia menulis surat kepada presiden karena sangat sedih melihat keadaan kampung yang dibangun kakek buyutnya, Mad Tusi, sekitar tahun 1800-an. Kampung itu makin hari makin merana.

Namun, keprihatinan Lia Duriah dan perhatian presiden itu ternyata tidak digubris aparat Desa Batujajar Timur, Kabupaten Bandung.

Keprihatinan Lia Duriah kemudian terbukti. Pada Senin dini hari lalu, sampah yang sudah menggunung itu mengalami longsor dahsyat, dan menimbun ratusan penduduk yang tinggal di daerah lebih rendah dari TPA.

Tumpukan sampah di TPA Leuwigajah yang tingginya mencapai 60 meter, lebar 200 meter dan panjang 375 meter itu mendadak ambruk. Saat itu, sampah menggelinding sepanjang sekitar 625 meter, menggulung puluhan rumah di Kampung Cilimus dan Kampung Pojok Cireundeu dan menguburkan penduduk yang bermukim di sekitarnya.

DALAM kenangan Sari Enang (61), warga Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, sebelum TPA berdiri, penduduk di wilayah Batujajar menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Daerah itu diapit dua gunung, yaitu Gunung Kunci dan Gunung Pasir Panji, dan merupakan wilayah pertanian yang subur.

Di atas areal yang luasnya ratusan hektar itu hampir seluruhnya ditanami padi. Waktu itu, air yang digunakan untuk mengairi sawah berasal dari mata air Cilimus yang berada di antara kedua gunung tersebut. "Air yang berasal dari mata air Cilimus itu jernih. Selain untuk mengairi lahan pertanian, juga digunakan untuk mandi dan memasak," tutur Sari Enang.

Di masa lalu, dua desa yang dipisahkan oleh Gunung Kunci ini tersambung oleh jalan tanah yang rapi dan bersih. "Indah sekali pemandangannya. Di kiri-kanan jalan berjejer pohon buah-buahan," ujar Lia.

Orangtua Lia, Ny Mursi (55), juga memiliki kenangan indah tentang Desa Leuwigajah dan Desa Batujajar Timur yang asri. "Saat masih muda, saya sering jalan beriringan bersama saudara-saudara saya untuk melihat Kota Lembang yang indah dari puncak gunung. Hawanya di puncak gunung sejuk sekali," tutur Mursi yang kini harus kehilangan lebih dari 50 anggota keluarganya akibat bencana longsor sampah.

Hampir seluruh penduduk Kampung Cilimus dan Kampung Pojok Cireundeu memiliki ikatan keluarga. "Yang bukan keluarga hanya pendatang. Biasanya mereka bekerja sebagai pemulung sampah," tambah Aminah (43), seorang korban yang selamat dari bencana.

SARI Enang menuturkan, menjelang berfungsinya TPA Leuwigajah, banyak makelar tanah datang untuk membujuk penduduk agar mau menjual tanah sawah. Para makelar tanah menyatakan bahwa lahan yang dibelinya akan digunakan untuk penghijauan. Penduduk desa tidak begitu saja percaya pada bujuk rayu para makelar. Hanya satu dua penduduk yang mau menjual sawahnya.

Ketika itu harga tanah yang ditawarkan kepada makelar Rp 3.000 hingga Rp 7.500 per tumbak. Warga baru mengetahui, janji-janji makelar itu tak sesuai kenyataan saat truktruk sampah mulai berdatangan dan membuang sampah di wilayah Leuwigajah.

"Ternyata, tanah-tanah yang dibeli dari masyarakat digunakan untuk tempat pembuangan sampah. Makin lama gunungan sampah itu semakin tinggi," ungkapnya.

Anda (37) dan keluarganya menjual sebagian tanahnya pada pembeli yang menyatakan akan membuat kuburan China. "Keluarga kami percaya saja, karena setelah dibeli langsung ditanami pohon kamboja," ungkapnya.

Demikian pula Arma (64), warga Kampung pojok Cireundeu, keluarganya menjual tanah di lembah dengan alasan pembeli mau melakukan penghijauan. "Memang ditanami kopi dan sirih wangi, tetapi seperti tidak dipelihara," tutur Arma.

Selang setahun hingga dua tahun setelah terjadi pembelian tanah secara besar-besaran milik penduduk oleh beberapa orang luar, lembah tersebut diuruk dengan sampah. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1983.

Semenjak TPA Leuwigajah mulai berfungsi, mata air yang semula digunakan untuk mandi, memasak, dan mengairi sawah, sama sekali tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini karena mata air itu telah tertimbun oleh sampah.

Apalagi setelah gunungan sampah itu longsor pada tahun 1994. Waktu itu tujuh rumah di Kampung Cilimus hancur tertimpa longsor.

"Setelah ada sampah, mata air itu bercampur air hitam seperti air kopi dari rembesan sampah. Bau sekali," ungkap Aminah. Mulai saat itu, keluarga Aminah dan penduduk lainnya tidak bisa lagi memiliki sumur air bersih. "Ada airnya, tapi tak bisa dipakai karena licin, asin, dan bau. Kalau dimasak, ada endapan putih seperti tepung," ungkapnya pula.

MAKIN hari gunungan sampah makin tinggi. Kadang sampah jatuh ke sawah-sawah penduduk. "Air sampah yang masuk ke sawah membuat padi langsung merah, lalu mati," kata Aminah.

Air sampah yang masuk ke tanah juga membuat ubi tidak manis dan singkong yang ditanam tidak empuk. Akibatnya, setiap air sampah atau sampah mulai masuk ke tanah pertanian, pemilik tanah langsung menjualnya pada pengelola TPA karena tidak punya harapan bisa menanaminya lagi. Lahan sampah TPA pun makin hari meluas.

Untuk keperluan mencuci, memasak, dan minum, penduduk akhirnya berdemo, minta air bersih ke pengelola TPA. Permintaan dikabulkan, tapi satu rukun warga (RW) hanya dibuatkan satu jet pump. Akibatnya, penduduk harus antre air pada siang maupun malam hari. Ada dua RW di Kampung Cilimus dan satu RW di Kampung Pojok Cireundeu.

"Pukul 07.00, saya taruh lima wadah air yang masing-masing berisi 30 liter. Karena antre, baru pukul 15.00 saya berhasil membawa pulang air bersih," tutur Aminah.

Selain air, bau sampah menyeruak ke kampung, masuk ke dalam rumah-rumah penduduk. Lalat pun menutupi seluruh kampung. "Banyaknya lalat sampai melebihi penduduk kampung," papar Aminah sambil mengenang lantai dan dinding rumahnya yang penuh dengan lalat.

HUSDI (62) menuturkan, ia bahkan sering didatangi tukang semprot lalat, tetapi ia harus membayar Rp 1.000. Selain itu, ketika kemarau, asap tebal seperti kabut melingkupi kampung. Segala gangguan itu membuat penduduk sering sesak napas dan sakit perut. "Kami merasa ditipu," ucap Rachmat.

"Saya terpaksa bekerja di sampah karena tidak ada pekerjaan lain," ujar Syafruddin. "Sebaiknya TPA ini ditutup saja selamanya. Saya tidak butuh pekerjaan itu lagi. Saya bisa cari kerja yang lain," tambahnya.

Secara terpisah, Wali Kota Cimahi Itoch Tochija menyatakan, pihaknya untuk sementara akan menutup TPA Leuwigajah. Tetapi, Bupati Bandung Obar Sobarna menghendaki agar TPA Leuwigajah ditutup untuk selamanya, mengingat masyarakat merasa trauma.

Obar menambahkan, pihaknya telah memikirkan lokasi lain yang bisa digunakan sebagai alternatif tempat pembuangan sampah, antara lain di Cileungsing, Cipatat, Cijeruk, Cirawa Mekar, dan Jelekong. (mhd/y06)



Post Date : 26 Februari 2005