Swastanisasi Air Rugikan Petani

Sumber:Suara Pembaruan - 06 Januari 2004
Kategori:Air Minum
JAKARTA - Swastanisasi sumber daya air hanya menguntungkan kalangan bisnis dan merugikan petani yang merupakan mayoritas penduduk negara-negara berkembang. Dewasa ini, sebanyak 60 sampai 70 persen sektor pertanian Asia terdiri dari petani dan kebanyakan hanya memiliki lahan seluas 1,5 ha.

Hal itu disampaikan salah seorang saksi ahli, Charles Santiago, dalam persidangan ke empat Judicial Review tentang pengujian Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2004. Lanjutan sidang sebelumnya, Rabu (15/12/2004) menyangkut UU yang mengatur Sumber Daya Air itu berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Medan Merdeka Barat 16, Selasa (5/1).

Charles adalah warga negara Malaysia yang banyak menekuni tentang Perdagangan Multilateral. Selain itu, dosen pengajar Globalisasi Perkembangan Ekonomi itu juga banyak mempelajari tentang swastanisasi air di berbagai negara.

Pada persidangan mendengar keterangan saksi ahli yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Jimly Asshiddiqie itu, juga menghadirkan saksi lainnya, Mae Buenaventura asal Thailand. Setelah mendapat gelar sarjana kewartawanan, perempuan tamatan Universitas Filipina ini juga banyak berkampanye dan menulis artikel tentang privatisasi air.

Selain itu, persidangan juga dihadiri kuasa hukum para pemohon diantaranya JJ Amstrong Sembiring (Komarta), dan P Raja Siregar bersama Isna H (keduanya dari Walhi) serta dua orang wakil departemen terkait.

Dalam membacakan keterangannya, Charles juga memberikan empat kota dari tiga negara yakni Porto dan Recive (Brazil), Gana (Afrika), dan Penang (Malaysia). Keempat negara itu dinilai berhasil mengelola sumber daya airnya karena melibatkan konsumen dalam manajemennya.

Keterlibatan masyarakat dalam mengolah air bersih itu ternyata tidak hanya mampu menekan tingkat kebocoran air tetapi juga dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan negara pengolah air bersih yang bersangkutan.

Di Penang, air memang dianggap barang komersial tetapi pengolahannya tetap ada unsur sosial. Dengan penanganan seperti itu justru meningkatkan efisiensi pendapatan perusahaan hingga mencapai 99 persen.

Bagaimana mungkin? Menurut Charles, hal itu tidak lain karena keuntungan diperoleh diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan. Pengolahan itu juga ternyata mendorong harga yang semakin terjangkau masyarakat luas.

Hal itu, menurut Charles, akan berbeda jika pengolahan air diberikan kepada pihak swasta yang sudah pasti berorientasi pada keuntungan. Konsumen akan menjadi tumpuan untuk membayar biaya operasi dan pemeliharaan fasilitas pelayanan pasokan air. "Jadi jelas, seluruh biaya produksi harus ditanggung konsumen termasuk penduduk miskin," katanya.

Bisnis air di dunia menurut Charles akan semakin meningkat. Bisnis itu bahkan diperkirakan akan lebih besar dari perdagangan minyak bumi. Saat ini bisnis air berkisar 400 juta sampai 3 triliun dolar AS.

Ditinjau Kembali

Sementara itu, P Raja Siregar dalam pembicaraan dengan Pembaruan mengatakan, peluang seperti digambarkan saksi itulah yang dinilai dapat menjadi alasan perlunya UU no 7/2004 ditinjau kembali.

Undang-Undang itu mengatur kepentingan air penduduk yang dikelola negara melalui badan usahanya (BUMN) dengan melibatkan pihak swasta. Sehingga dapat juga diartikan privatisasi yang terkandung di dalamnya memungkinkan perairan irigasi dikelola pihak swasta.

Pada pasal 45, menurut Raja, berkaitan dengan sumber daya air seperti danau, mata air, dan sebagian badan sungai dapat dikelola swasta. Pada irigasi tersier berasal dari sungai kecil memang diserahkan pengelolaannya kepada petani, namun irigasi sekunder dan primer dikelola swasta yang kemudian dapat melibatkan pihak swasta.

Hal itu akan semakin merugikan jika dikaitkan dengan pasal 80 yang menyebutkan pihak swasta sebagai pengelola mendapat kompensasi atas air yang dikelolanya. Karena UU no 7 tidak menyebutkan batasan penyediaan air yang mana yang dapat dipungut biaya dan tidak ada pembatasan mayoritas saham berarti jelas pungutan juga akan dikenakan pada perairan pedesaan atau pertanian.

Dampak lebih luasnya dari ketertindasan petani itu dapat mengancam ketahanan pangan. Menurut Raja, sebuah daerah di Sumatra Utara telah terjadi para petani beralih ke tanaman palawija karena kekurangan air. Sidang akan dilanjutkan kembali hari ini, Kamis (6/1), dengan agenda Pengujian Pasal 43 UU no 26/2000 tentang Pengadilan HAM. (Y-5)

Post Date : 06 Januari 2005