Tak Ada Diskon Permanen

Sumber:Majalah Gatra - 28 Januari 2008
Kategori:Climate
Ilmuwan berdebat tentang kemampuan hutan menyerap karbon. Menanam pohon bukan satu-satunya cara untuk menyejukkan bumi. Hutan tropis terbaik menyedot karbon.

''Sebanyak 19 juta warga New York mengeluarkan emisi karbon lebih banyak dibandingkan dengan 766 juta penduduk dari 50 negara'' --Human Development Report 2008, UNDP.

Ketika gas polutan karbon dioksida merajalalela dan siap memanggang bumi, hutan pun menjadi tumpuan harapan. Pohon-pohon hutan kemudian menyerap zat asam arang itu, menyimpannya dalam bentuk kayu, ranting, akar, daun, bahkan buah. Metabolisme dalam skema fotosintesis itu kemudian malah menghasilkan oksigen (O2) yang dibutuhkan makhluk hidup.

Jika demikian, makin luas areal hutan tentu akan semakin bersih udara di atmosfer bumi ini. Benarkah demikian? Belum tentu. Kemampuan hutan menyerap gas polutan seperti karbon memang tak diragukan lagi. Namun sejumlah ahli mulai bersikap ''hati-hati'' atas penilaian terhadap potensi hutan itu. Bahkan hasil sejumlah riset menyebutkan, mengharapkan hutan sebagai penyejuk bumi adalah hal yang terlalu menyederhanakan soal.

''Fungsi hutan sebagai penyerap karbon sebenarnya hanya beberapa dasawarsa,'' kata Prof. Robert Jackson dari Duke's Department of Biology and Nicholas School of the Environment and Earth Sciences pada Office of News & Communications, Duke University. Masih banyak yang harus diperhitungkan. Selain berapa banyak karbon yang dapat diserap, kata Jakcson, masalah dampak lingkungan lain yang ditimbulkan pohon pun perlu dihitung. ''Jadi, kita harus teliti tentang kebijakan penyerapan karbon yang ada,'' katanya.

Karena itulah, para ahli terus mengejar jawaban masalah ini lewat berbagai penelitian. Salah satu, penelitian mutakhir yang dilaksanakan tim klimatolog yang dipimpin Prof. John Miller dari University of Colorado. Tim Miller meneliti kemampuan hutan menyedot karbon setidaknya pada 30 kawasan di belahan bumi utara selama dua dasawarsa. Kawasan itu meliputi Siberia, Alaska, dan Kanada, termasuk Eropa.

Miller ingin melihat pengaruh kehadiran hutan terhadap kadar karbon yang mengambang di atmosfer. Yang diteliti tidak hanya saat hutan mengambil karbon untuk berfotosintesis, melainkan juga ketika pohon-pohon itu mengeluarkannya selama proses respirasi. Tim peneliti juga memusatkan perhatian pada musim gugur, ketika hutan berubah peran dari penyerap menjadi produsen karbon karena proses penguraian. Butir-butir hasil penelitian Miller, antara lain:

Kemampuan hutan menyerap karbon yang timbul akibat aktivitas manusia makin lemah, berdasarkan hasil pengamatan sejak 1980-an dari 30 titik pengawasan di belahan bumi utara.

Fakta ini menunjukkan, bakal makin banyak karbon yang mengambang di atmosfer daripada yang tersimpan di dalam tanah atau pohon --yang akan membuat bumi makin panas.

Fakta ini juga mendukung hasil-hasil studi IPCC, lembaga panel antar-pemerintah tentang perubahan iklim, yang menyebutkan bahwa suhu bumi makin cepat meningkat.

Miller mengumumkan hasil penelitiannya di jurnal ilmiah Nature edisi Januari. ''Intinya, selama ini sebenarnya hutan telah membantu dengan diskon 50% gas-gas polutan. Tapi, sayang, mereka tak menjamin potongan itu dapat gratis diberikan terus-menerus,'' tutur Miller kepada The Guardian. Sifatnya tidak permanen.

Ihwal kemampuan hutan menyedot gas kotor itu juga pernah dibahas dalam pertemuan American Geophysical Union 2006. Pertemuan para geolog internasional ini membahas hasil penelitian Dr. Govindasamy Bala, ahli ekologi dari Lawrence Livermore National Laboratory.

Bala bahkan berpendapat, membiarkan hutan tumbuh di kawasan subtropis hingga kedua kutub bumi justru kontraproduktif. ''Hasil penelitian kami menunjukkan, keuntungan aspek iklim yang diperoleh dari hutan-hutan di kawasan Benua Amerika dan Eropa nyaris nol,'' kata Bala kepada BBC.com.

Bala, bekerja sama dengan Dr. Ken Caldeira dari Carnegie Institution of Washington, menentukan kesimpulan itu berdasarkan sejumlah model data iklim dari berbagai kawasan bumi yang diolah dengan komputer. Hasilnya adalah tiga faktor utama:

Hutan dapat menyejukkan bumi dengan menyerap gas-gas kaca pada saat proses fotosintesis.

Hutan juga dapat menurunkan suhu bumi dengan penguapan serta meningkatkan ketebalan awan yang akan memantulkan radiasi sinar matahari balik ke angkasa.

Namun hutan dapat berpengaruh menyimpan panas dari sinar matahari ke permukaan bumi karena warnanya yang gelap.

Bala juga menyimpulkan, hutan tropis adalah yang terbaik karena lebih optimal menyimpan karbon. ''Semakin jauh dari kawasan ekuator, kemampuannya semakin lemah,'' tutur Bala. Karena itu, dari sudut perubahan iklim, hutan di kawasan itu tak memberi hasil optimal.

Berdasarkan temuan itu, Bala menganjurkan agar skema kebijakan mendinginkan bumi melalui hutan perlu memperhatikan hasil penelitian ini. ''Jika Anda menanam pohon untuk memperlambat kenaikan suhu bumi, harus dipikirkan benar di mana lokasi yang tepat untuk itu. Dari hasil penelitian kami, kawasan tropis adalah yang paling tepat,'' kata Bala.

Menurut Agus P. Sari, Direktur Ecosecurities Indonesia, hutan memang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar pada berbagai vegetasi dan tanah. Hutan juga sangat berperan dalam proses siklus karbon melalui proses fotosintesis dan respirasi tanaman. Agus kemudian memaparkan data penelitian perkiraan persediaan karbon kehutanan Indonesia. Data itu menunjukkan kemampuan penyerapan karbon berdasarkan tipe penggunaan lahan. ''Potensi persediaan karbon Indonesia mencapai total 24.704 juta ton,'' kata Agus (lihat tabel).

Jenis hutan yang paling efisien menyerap karbon, menurut Agus, adalah hutan yang baru tumbuh. Sayang, hutan baru di Indonesia memang tidak banyak. Penelitian mendalam soal ini memang belum ada. Tapi, Agus memperkirakan, jumlahnya hanya 10% dari hutan nasional, sebanyak 10 juta-11 juta hektare. Apalagi, ''Ia akan efektif menyerap karbon selama 25-30 tahun. Tapi, jika lebih dari itu, hutan hanya bertindak sebagai reservoir alam,'' ujar Agus, yang kerap memimpin berbagai penelitian tentang karbon.

Bahkan, untuk waktu dan kondisi tertentu, hutan memang dapat berperan sebaliknya, sebagai penghasil karbon. ''Itu terjadi jika hutan rusak akibat ulah manusia atau kejadian alam,'' kata Agus. Kerusakan itu bisa berupa kebakaran hutan, penebangan liar, hingga konversi lahan hutan. Namun Agus mengingatkan bahwa kondisi ini tidak lantas membenarkan aksi penebangan pohon untuk membuat hutan baru. ''Membuka lahan hutan haruslah dihitung dengan cermat untung dan ruginya terhadap iklim. Jangan-jangan akibatnya malah lebih parah,'' katanya.

Kalau begitu, bagaimana jalan terbaiknya? Manajer Perubahan Iklim Walhi, Torry Kuswardono, menawarkan cara yang dianggapnya paling efektif. Ya, langsung mengurangi kegiatan yang menimbulkan polusi. ''Misalnya, menata kembali sistem transportasi dan industri yang lebih ramah lingkungan. Ini cuma kemauan politik,'' ujarnya. Jadi, hutan tak perlu dikutak-katik.Nur Hidayat



Post Date : 28 Januari 2008