Tanpa Peringatan Dini, Waduk Pun Meluap

Sumber:Kompas - 29 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta

Sejumlah korban banjir di kawasan Pluit, Jakarta Utara, mengaku tak menduga air bakal menggenang hingga setinggi 1,5 meter, Jumat (18/1) pagi. Tak ada peringatan dan informasi terkait kondisi air sehingga harta benda tak terselamatkan. Lebih dari sepekan banjir tak juga surut. Warga terpaksa mengungsi dengan bekal seadanya.

Banjir tak pernah setinggi betis (kurang dari 30 sentimeter). Saat air mulai naik Jumat pagi, saya dan suami hanya bawa pakaian beberapa biji. Ternyata, air sampai seleher (1,2-1,5 meter),” kata Sumuliah (39), warga Kampung Burung Pluit Timur, Kecamatan Penjaringan, Sabtu (26/1).

Kulkas, lemari, dan sepeda motor milik Sumuliah pun terendam air. Kondisi nyaris sama dialami warga lain yang rumahnya tergenang banjir di Penjaringan. Mereka tak menduga air bakal menggenang setinggi 1,2-1,5 meter selama sepekan.

John Daiman (62), warga RT 20 RW 17 Penjaringan, menambahkan, tak ada peringatan dari pemerintah soal ancaman banjir tersebut. Saat air naik dengan cepat pada Jumat pagi, warga kalang kabut menyelamatkan diri dan harta benda. Tak sedikit perabot dan peralatan elektronik yang rusak terendam air.

”Sudah 16 tahun tinggal di sini belum pernah ada banjir setinggi ini. Biasanya, air surut tak lebih dari lima jam. Kali ini sudah lima hari air tak surut,” kata John yang mengungsi bersama 10 anak dan cucunya di Masjid Nurul Ikhwan di Penjaringan.

Saat genangan mencapai 1 meter, John mengaku bingung harus mengungsi ke mana. Sejumlah tetangga menuju Rumah Susun Muara Baru, sebagian ke Pantai Mutiara, dan sebagian ke gedung-gedung yang tak tergenang di kawasan Penjaringan. Akibat terjebak, John kemudian mengungsi di lantai dua Masjid Nurul Ikhwan.

Kacau

Sejumlah pengungsi tak tahu harus ke mana menyelamatkan diri. Serombongan warga yang mengungsi di Pantai Mutiara akhirnya dievakuasi ke pos pengungsian di Jalan Pluit Selatan Raya serta sejumlah sekolah di Pluit dan Penjaringan karena terisolasi.

Rahmatia (39), warga RT 19 RW 17 Penjaringan, menyatakan, ia harus tiga kali pindah tempat selama delapan hari pengungsian. Setelah ke Pantai Mutiara, dia dan beberapa tetangganya pindah ke gedung sekolah di Jalan Pluit Karang Barat, kemudian ke gedung futsal di Jalan Pluit Selatan Raya.

Selain lokasi pengungsian, kekacauan terlihat dalam penanganan pengungsi. Tak sedikit pengungsi berpindah dari pos satu ke pos lain untuk mendapatkan bantuan lebih banyak. Pemandangan ini tampak di pos-pos banjir di Jalan Pluit Raya, Pluit Putra, Jembatan Tiga, dan Pluit Selatan Raya.

Kerumunan terlihat di beberapa titik pembagian bantuan. Orang-orang yang mengaku sebagai korban banjir berdesakan dan berebut bantuan pangan, selimut, atau perlengkapan bayi. Beberapa pengungsi mengaku tak kebagian bantuan, sementara pengungsi lain mendapat lebih dari satu.

Bantuan dinilai cukup, tetapi distribusinya tak merata. Pembagian juga kacau karena ketidaktertiban pengungsi. Lokasi pengungsian yang terisolasi genangan dan tak bisa dijangkau perahu karet, seperti Masjid Nurul Ikhwan di RT 20 RW 17 Penjaringan, mendapat bantuan tak sebanyak pos-pos yang terjangkau kendaraan.

Khawatir

Lebih dari sepekan terakhir warga Kampung Pulo, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, dilanda kekhawatiran. ”Banjir sudah di mana-mana. Ada kabar pula katanya hujan masih sampai Februari. Kami khawatir. Apalagi belum ada persiapan kalau terjadi banjir di sini,” kata Ketua RT 11 RW 03, Pondok Labu, Sugiyono, Kamis (24/1).

Menurut Sugiyono, belum ada lokasi yang disiapkan untuk tempat pengungsian. Selama ini, sistem peringatan dini juga belum tersedia. ”Kalau di hulu hujan deras atau hujan lebat di kawasan ini, biasanya kami mendapat telepon dari Dinas PU (Pekerjaan Umum) atau Pemkot Jakarta Selatan meminta agar bersiap-siap siapa tahu bisa kebanjiran,” ujarnya lagi.

Kini kekhawatiran warga Kampung Pulo bertambah karena kondisi waduk dan juga tanggul di kawasan itu tidak terlalu bagus. Waduk yang berfungsi menampung air dari permukiman di sekitarnya, yaitu RT 07, 08, 10, dan 14, ternyata kini sering meluap. Luapan air tersebut menggenangi RT 11.

Di RT 11, seperti terlihat Kamis lalu, sudah dilengkapi fasilitas pompa air. Ketika ada genangan, air bisa cepat surut karena cepat dipompa ke sungai atau waduk. ”Tetapi, kalau hujan besar, waduk ini penuh dan tidak ada saluran pembuang air ke sungai. Sementara sungainya kadang masih meluap juga. Pekan lalu, kami sempat terendam selama satu hari satu malam,” tutur Sugiyono.

Selain masalah waduk, warga Kampung Pulo juga khawatir tanggul yang baru dibangun untuk membentengi luapan Kali Krukut tidak kuat. Tanggul yang ada di antara RT 09 dan RT 14, misalnya, sudah terlihat ada retakan. Saat hujan deras dan debit air Kali Krukut tinggi, air merembes masuk melalui retakan tanggul.

”Saya dan warga sudah melapor ke Pemkot Jakarta Selatan dan ke Dinas PU langsung. Kami sudah laporkan sejak Desember 2012, tetapi belum ada tanggapan sampai hari ini,” ungkap Sugiyono.

Pada akhir 2011, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta menggunakan anggaran sebesar Rp 1 miliar untuk penanggulangan banjir di Kampung Pulo. Ada beberapa program yang dilakukan, yaitu membangun waduk seluas 1,7 hektar, normalisasi Kali Krukut dengan melebarkan badan sungai menjadi 6 meter, dan pembangunan tanggul sepanjang 300 meter.

Ketiga program tersebut sudah terlaksana. Akan tetapi, seperti pantauan kemarin, ternyata fungsi waduk dan tanggul belum sepenuhnya bisa menekan hingga minimal potensi banjir di Kampung Pulo.

Sebelumnya Lurah Pondok Labu Safri Djani mengatakan, di wilayahnya ada 5 dari 10 RW yang tergolong rawan banjir. Berdasarkan data dari kelurahan setempat, lokasi yang berpotensi tergenang saat hujan lebat atau mendapat banjir dari kawasan hulu adalah RT 12 di RW 01, RT 01, 10, 11, 12, dan 14 di RW 03, RT 05, 06, dan 07 di RW 07, serta RT 01 dan 02 di RW 10.

Di RW-RW rawan banjir, banyak permukiman warga di gang-gang sempit. ”Kalau banjir, perahu karet sulit masuk ke gang sempit karena tidak cukup dan juga rawan kena paku atau seng tajam. Sekali kena paku, menambalnya susah dan tidak bisa di sembarang tempat. Warga saya akhirnya banyak yang pakai bak penampung air bekas dari fiberglass,” kata Safri.

Kepala Seksi Perencanaan Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Selatan Deddy Budi Widodo menyatakan, untuk menghadapi cuaca buruk dan potensi banjir di wilayah kerjanya, pihaknya konsentrasi membersihkan saluran air dari sampah dan mengeruk endapan di badan sungai yang menghambat aliran air.

Saatnya era baru

Ahli tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menyatakan, ketidaksigapan menghadapi bencana banjir terjadi di seluruh penjuru Jakarta. Tidak heran, saat banjir datang, kekacauanlah yang terjadi. Bencana banjir tidak bisa diantisipasi dengan program struktural seperti proyek fisik triliunan rupiah dari kanal, normalisasi sungai, sampai membuat waduk.

”Upaya nonstruktural mulai dari pembenahan drainase, konservasi kawasan hulu, hingga mendidik masyarakat berperilaku yang tepat dalam penanganan sampah sampai tak menempati bantaran dan mitigasi bencana berperan amat penting. Mengapa upaya nonstruktural ini seperti selalu kalah dengan program struktural? Apakah karena lebih ’basah’ uangnya?” kata Yayat.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali meminta agar kekacauan penanganan bencana banjir dan penyebab banjir yang kacau dicukupkan sampai saat ini saja.

”Banyak ide brilian dari kaum muda yang ada di dalam birokrasi maupun di luar birokrasi. Saatnya bagi pemimpin, baik Gubernur DKI Jakarta Jokowi maupun Presiden, untuk merangkul mereka dan memberikan dukungan penuh,” kata Rhenald.

Dukungan penuh itu, kata Rhenald, mulai dari pendanaan hingga jaminan kelangsungan program. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ NELI TRIANA)



Post Date : 29 Januari 2013