Tantangan Menuju Kesepakatan

Sumber:Kompas - 25 Januari 2010
Kategori:Climate

Banyak negara ingin melihat kesuksesan di Kopenhagen, Denmark, tetapi ternyata pertemuan yang dikenal dengan COP 15 itu belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menetapkan aksi bersama yang mengikat secara hukum.

Harapan itu dilatari kondisi ancaman dampak perubahan iklim yang jauh dari terhindarkan.

Meskipun demikian, ada sisi positif, yaitu keterlibatan banyak kepala negara/pemerintahan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut menyusun Copenhagen Accord sebagai suatu upaya melakukan terobosan terhadap kebuntuan proses negosiasi.

Hasil yang sangat mengecewakan adalah tidak tercapainya kesepakatan mengenai periode komitmen Protokol Kyoto pasca-2012 sebagai satu-satunya instrumen yang mengikat negara maju secara hukum untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Copenhagen Accord juga tidak menghasilkan suatu kesepakatan komprehensif terkait aksi kerja sama jangka panjang. Dipimpin Amerika Serikat yang bergabung dengan negara-negara berkembang besar, seperti Brasil, Afrika Selatan, India, dan China, akhirnya berhasil disepakati Copenhagen Accord yang di dalamnya memuat, antara lain, komitmen penurunan emisi GRK berdasarkan kesanggupan setiap negara maju serta referensi terhadap pendanaan sebesar 30 miliar dollar AS untuk aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang selama periode 2010-2012 dan komitmen memobilisasi 100 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2020.

Negara berkembang diminta menunjukkan transparansi atas aksi mitigasinya melalui National Communication yang dilaporkan setiap dua tahun sekali. Adapun aksi mitigasi dengan dukungan pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas dari negara maju dilaporkan melalui ”Registry” di mana akan dilakukan secara measurable, reportable, verifiable (MRV) berdasarkan panduan internasional.

Copenhagen Accord dijadikan catatan pertemuan sehingga sifatnya hanya sebagai suatu keinginan politis yang tidak mengikat secara hukum. Status resmi dan program tindak lanjutnya dipertanyakan banyak negara pihak karena ketidakjelasan prosedural pada saat-saat terakhir konferensi ditutup. Beberapa negara berkembang lainnya menganggap Copenhagen Accord merupakan suatu proses di luar Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Sejauh ini baru 29 negara yang menandatangani Copenhagen Accord. Negara pihak lainnya, yang belum menandatangani tetapi berminat mengasosiasikan diri, perlu mengirimkan surat secara resmi kepada Sekretariat UNFCCC.

Jalan terjal

Tidak penting lagi pendapat ”melihat gelas setengah kosong” atau ”melihat gelas setengah isi”. Tidak ada jaminan bahwa dalam enam bulan ke depan, saat pertemuan di Bonn, Jerman, akan ada kesepakatan. Diperkirakan, justru akan pertemuan memicu debat berkepanjangan. Padahal, periode pertama Protokol Kyoto akan berakhir 2012. Banyak hal masih harus diklarifikasi dan disepakati sebelum Copenhagen Accord dapat dioperasionalkan dan dijadikan rujukan sebagai suatu terobosan mempercepat proses negosiasi selanjutnya.

Beberapa elemen penting yang merefleksikan harapan dan keinginan semua negara sudah ada di Copenhagen Accord walaupun belum lengkap. Contohnya adalah menjaga agar kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat celsius, bahkan ada kajian yang direncanakan pada 2015 agar kenaikan temperatur dijaga sekitar 1,5 derajat celsius. Prinsip common but differentiated responsibilities and respective capabilities masih tercantum di dalamnya walaupun dipersempit cara perbedaannya.

Selain itu, juga aksi adaptasi menjadi prioritas yang seimbang dengan aksi mitigasi.

Pendanaan jalur cepat, seperti yang disebutkan sebelumnya, memberikan sedikit harapan bagi negara berkembang. Namun, pengaturan institusi pengelolanya di Copenhagen Green Climate Fund, prosedur untuk mengakses maupun cara pendistribusiannya masih harus dibahas dan disepakati. Selain itu, pentingnya peran REDD+ berikut mekanisme untuk memobilisasi pendanaannya serta pemberian insentif juga diakui.

Hasil positif lainnya adalah pencantuman perlunya pembentukan mekanisme teknologi untuk mengakselerasi pengembangan dan transfer teknologi agar dapat memfasilitasi aksi mitigasi dan adaptasi.

Copenhagen Accord tidak mencantumkan kesepakatan penurunan emisi GRK dalam jangka menengah 25-40 persen pada 2020 dan jangka panjang sebesar 80-90 persen pada 2050. Selain itu, landasan tahun untuk target penurunan emisi GRK juga berbeda-beda sehingga sukar dilakukan perbandingan, seperti tercantum di Bali Action Plan. Mengingat status Copenhagen Accord tidak mengikat, maka bagaimana ketentuan penaatan (compliance) dapat dipenuhi negara maju, seperti yang ada di Protokol Kyoto?

Ada beberapa pilihan. Pertama, dengan langsung mengasosiasikan diri tanpa syarat. Kedua, mengasosiasikan diri dengan beberapa klarifikasi soal kewajiban yang harus ditaati di kemudian hari dan jaminan bantuan untuk peningkatan kapasitas SDM, teknologi dan bantuan pendanaan.

Ketiga, menunggu dan melihat perkembangan lebih dahulu karena batas waktu submisi tanggal 31 Januari 2010 adalah soft deadline. Keempat, tidak mengasosiasikan diri sama sekali atau menolaknya. Pilihan terbaik bagi Indonesia adalah menyikapi secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan strategi ke depan terkait tindak lanjut Copenhagen Accord demi pembangunan yang pro-poor, pro-job, dan pro-environment”.

Pertemuan COP 16 di Meksiko pada Desember 2010 akan menentukan keberlanjutan dari Protokol Kyoto dan status Copenhagen Accord.

Walaupun sulit untuk berpikiran positif dan optimistis, tetapi masih ada secercah harapan untuk melangkah maju jika ada kemauan politis dari semua negara untuk mengatasi masalah perubahan iklim global.

Liana Bratasida Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional/Ketua SBI-UNFCCC 2008-2009



Post Date : 25 Januari 2010