TARIF AIR PDAM

Sumber:Majalah Air Minum - 31 Juli 2007
Kategori:Air Minum
Tanggal 4 Juni dan 13 Juli 2007 di Jakarta berlangsung sosialisasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai pengganti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum PDAM. Sosialisasi tersebut diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri bersama Perpamsi dengan melibatkan pejabat pejabat terkait dari Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum/BPPSPAM dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan, ditujukan kepada para direksi dan Badan Pengawas PDAM serta wakil wakil eksekutif dan legislatif pemerintahan kabupaten dan kota.

Disayangkan bahwa pada dua kali pertama dari serangkaian pertemuan serupa hingga mencakup seluruh wilayah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, tidak semua utusan disertai oleh wakil legislatif, padahal mereka salah satu unsur yang sering sangat menentukan kebijakan kenaikan tarif di daerahnya masing masing.

Permendagri Nomor 23 Tahun 2006 menerapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery). Prinsip ini mengandung misi bahwa PDAM diharapkan mampu menghasilkan pendapatan tarif yang nilai minimumnya dapat menutup seluruh biaya operasional (biaya penuh). Dengan ketentuan pendapatan minimal tersebut, diharapkan PDAM mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanannya kepada masyarakat.

Sebelum Peraturan Menteri Dalam Negeri yang baru ini, peraturan yang bertaku adalah Permendagri Nomor 2 tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan TarifAir Minum PDAM. Jika pada peraturan lama ditekankan dua hal yang sebenarnya saling bertentangan, yakni antara profit dengan fungsi sosial, maka pada peraturan yang baru ini sudah lebih mengarah ke pengusahaan yang berorientasi kepada pemulihan biaya dalam arti, fungsi sosial tidak boleh begitu rupa sehingga menyebabkan pemulihan biaya tidak tercapai. Lebih dari itu, berdasarkan peraturan baru tersebut, PDAM pada hakikatnya mengarah ke perusahaan yang harus memperoleh pendapatan lebih untuk diinvestasikan kembali dalam rangka memperluas cakupan pelayanan.

Peraturan baru tersebut menyatakan bahwa peran, kendala dan tantangan PDAM pada masa lalu, masa kini dan masa depan jelas berbeda corak dan intensitasnya. Pada era sekarang seperti ditekankan oleh Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah, Drs. Fauzie Rafei, M.Si. pada sambutan pembukaan, fasilitas yang dapat diberikan oleh Departemen Dalam Negeri tidak bisa lagi seperti dulu sebelum sistem otonomi daerah diberlakukan di Indonesia. Domain Departemen Dalam Negeri dalam kaitannya dengan PDAM lebih terkait dengan fungsi fungsi regulasi, interrelasi kelembagaan (Pemilik/Pemda, Dewan Pengawas dan Direksi), tata kelola perusahaan yang baik, hubungan administrasi keuangan PDAM dengan APBD dan sebagainya.

Hampir seluruh PDAM modainya bersumber dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah selaku pemilik berhak dan berwenang dalam menentukan arah dan tujuan yang harus dicapai oleh sebuah PDAM. Walaupun berdasarkan Undang undang No. 32 tahun 2004 kepala daerah dilarang menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas, namun kedudukannya selaku wakil daerah pemilik sangat menentukan maju mundurnya PDAM. Dalam kaitan ini, kedudukan Dewan Pengawas sebagai kepanjangan tangan pemilik sangat strategis, sebab diharuskan untuk mampu merumuskan keinginan pemilik untuk diterjemahkan ke dalam program kerja yang operasional.

Ditegaskan, sesuai dengan namanya, maka misi PDAM harus lebih berperan dalam bidang pelayanan umum (public service), yaitu membantu pemerintah daerah menyediakan pelayanan air minum kepada masyarakat, dan bukan dalam hal mencari laba (profit oriented) untuk disetor ke kas daerah sebagai komponen PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Walaupun peranan PDAM bagi pemerintah daerah terasa penting, hingga saat ini belum banyak PDAM yang telah berhasil dalam menjalankan misi pelayanannya kepada masyarakat. Oleh karena itu, usaha pemberdayaan dan penyehatan PDAM perlu dilakukan dengan segera dan tepat. Untuk maksud itu, perlu kiranya para pejabat terkait, termasuk Eksekutif dan Legislatif daerah serta para direksi serta pihak pihak terkait lainnya lebih mendalami landasan yuridis dan teoritis hubungan antara pemerintah/pemerintah daerah, badan usaha negara/daerah dan dunia usaha swasta pada umumnya.

Masalah perundang undangan

Dijelaskan, ternyata kita masih menghadapi permasalahan terhadap kerangka legal yang mengatur BUMD. Undang-undang yang pernah ada menyangkut BUMD adalah UU Nomor 5 talmn 1962 tentang Perusahaan Daerah. Undang-undang ini telah dicabut dan diganti dengan UU Nomor 6 tahun 1969.

Pada era UU No. 5 talmn 1962, direksi dan mayoritas pegawai PDAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi pemerintah daerah, sehingga pengelolaan BUMD dalam prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya, dalam banyak kasus, manajemen BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya.

Selain itu, UU No. 5 talum 1962 juga menyebutkan bahwa perusahaan daerah dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pelayanan umum dan sekaligus memupuk laba. Sebagai konsekuensinya, mayoritas BUMD pada saat ini memiliki orientasi tujuan ganda, yaitu public service oriented, dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan profit oriented untuk memupuk pendapatan guna disetor sebagai PAD.

Jika dikaji, public mission dan profit-mission sesungguhnya merupakan dua sisi yang kontradiktif dan sulit disatukan. Dalam hal ini akan tejadi semacam trade off, yakni kemanfaatan umum akan dikorbankan jika laba yang diutamakan; sebaliknya target laba akan dikorbankan jika kualitas pelayanan umum yang diprioritaskan. Oleh karena itu BUMD perlu dirancang sedemikian rupa sehingga di satu sisi, BUMD tertentu bertugas melaksanakan public mission dengan menyediakan pelayanan yang berkualitas baik dan terjangkau masyarakat, dan di sisi lain bagi bidang-bidang komersial, BUMD harus didesain untuk mampu bersaing secara fair dan adil dengan entitas bisnis swasta guna memperoleh laba dan berkontribusi pada PAD.

Atas dasar pemikiran tersebut, disusunlah Rancangan Undang undang mengenai Badan Usaha Milik Daerah (RUU BUMD) yang nantinya akan menjadi payung hukum bagi BUMD di masa mendatang dan merupakan Undang undang pengganti UU No. 5 tahun 1962.

RUU tersebut kini dalam pembahasan di tingkat Kabinet, dan diharapkan sudah akan masuk ke DPR untuk diproses lebih lanjut.

Masalah Tarif

Salah satu kendala lainnya dalam upaya pengembangan PDAM dewasa ini adalah tarif air minum yang ditetapkan lebih rendah dari biaya produksi. Dalam kondisi seperti itu sulit bagi manajemen PDAM untuk mempertahankan atau mengembangkan pelayanan kepada masyarakat pelanggan. Di samping itu akhir akhir ini terdapat keluhan dari beberapa daerah tertentu tentang sulitnya memperoleh persetujuan DPRD dalam hal penyesuaian tarif PDAM. Oleh karena itu sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada PDAM sebagai pengganti terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum PDAM.

Permendagri No. 23 tahun 2006 telah rnenerapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery). Prinsip ini mengandung misi bahwa PDAM diharapkan mampu menghasilkan pendapatan tarif yang nilai minimalnya dapat menutupi seluruh biaya operasional (biaya penuh). Dengan ketentuan pendapatan minimal tersebut, PDAM diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanannya kepada masyarakat.

Membela Rakyat yang Mana

Masalah tarif air produksi PDAM seperti diketahui sudah menjadi komoditi politis sejak lama, menyebabkan PDAM terseok seok bahkan terpuruk. Betapa tidak, PDAM harus menjual air di bawah biaya produksi. Dewasa ini biaya produksi rata rata air secara nasional berkisar Rp 1.800 per meter kubik, tetapi harga jual rata-rata Rp 1.500. Selisih atau kerugian itu siapa yang tanggung?

Dalam hal ini Drs. Eko Subowo, M.B.A., Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri menyorotinya antara lain dengan berkata, mereka (maksudnya: Legislatif, LSM dan sebagainya Red), tidak man tahu itu. Mereka tidak mau tahu bahwa biaya penyusutan harus diperhitungkan demi kelangsungan hidup PDAM untuk jangka panjang. Mereka tidak mau tahu harga jual lebih rendah dari biaya produksi.

Dalam sosialisasi itu diceritakannya, bahwa ia bahkan sering mempertanyakan kepada kepala daerah (bupati/walikota) tentang rakyat mana yang mereka bela karena mereka sering berdalih, bahwa demi membela rakyat, mereka melarang PDAM menaikkan tarif

Diceritakan, mereka, tidak tahu bahwa sesungguhnya PDAM telah mengeluarkan subsidi untuk seluruh golongan pelanggan, mulai dari rumah tangga golongan A1 sampai A5.

Mereka juga tidak tahu, bahwa dengan melarang PDAM menaikkan tarif sesungguhnya mereka hanya membela kelompok masyarakat yang mampu, yang mampu berlangganan PDAM, sedangkan kelompok masyarakat yang belum terjangkau pelayanan PDAM yang justru kebanyakan rakyat miskin sama sekali tidak terpikirkan oleh mereka. Kelompok masyarakat miskin itu dibiarkan membeli air minum setiap hari dengan harga Rp 500 hingga Rp 2000 perjerigen, yang berarti 50 kali lebih mahal dari tarif PDAM.

Bahwa sikap mereka yang melarang kenaikan tarif PDAM itu tidak benar juga diperlihatkan dengan gamblang oleh Ir Rachmat Karnadi, Ketua BPPSPAM. Dikatakannya, cakupan pelayanan PDAM di perkotaan dewasa ini rata rata barn 40%, sementara yang tidak terlayani dengan sendirinya 60%. Melarang kenaikan tarif tentu hanya menguntungkan bagi kelompok masyarakat yang 40% tadi, yakni yang sudah berlangganan PDAM, dan mereka rata rata masyarakat bepenghasilan menengah ke atas. Berarti melarang kenaikan tarif PDAM tidak ada kaitan sama sekali dengan kepentingan kelompok masyarakat yang jumlahnya lebih besar itu, yakni yang 60%, yang karena terpencil belum terjangkau PDAM. Jadi sesungguhnya mereka tidak membela rakyat kecil tersebut, melainkan hanya membela kepentingan orang orang berpenghasilan menengah ke atas.

Lebih tragis lagi, banyak di antara rumah tangga yang berlangganan PDAM itu beristri dua bahkan lebih, dan mereka disubsidi. Nah, di mana rasa keadilan kita bila hal ikhwal tarif ini tidak kita dudukkan dalam proporsi yang tepat. Pelanggan golongan niaga pun menurut Eko Subowo ternyata banyak yang disubsidi.

Ditegaskan, yang pantas mendapat subsidi hanyalah rumah tangga A1, yang pemakaian airnya kurang dari 10 meter kubik per bulan. Selebihnya tentu saja tidak.

Selain itu ditegaskan, bahwa Permendagri yang baru ini menemukan, bahwa penetapan tarif air minum tidak sekadar masalah perhitungan harga jual, tetapi lebih pada masalah kebijakan.Yaitu harga jual air minum per meter kubik menurut kebijakan Kepala Daerah. Tetapi sebaliknya, kalau ada kebijakan, tentu ada konsekuensi dari kebijakan itu, termasuk subsidi bila diperlukan. Itu yang perlu ditekankan dalam Permendagri yang baru ini, yang ingin disampaikan kepada semua pihak yang berkepentingan, baik kepada Kepala Daerah, masyarakat pelanggan, Legislatif dan stakeholder lainnya.

Melibatkan Semua Unsur

Permendagri ini menurut Eko Subowo disusun dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Pemda diajak, PDAM/Perpamsi diikutsertakan, Lembaga Konsumen dilibatkan, termasuk juga perguruan tinggi. Jadi katanya, kalau Permendagri ini dipahami dengan baik dan tersosialisasikan dengan baik pula, maka bisa dijadikan sebagai alat atau sarana komunikasi timbal balik antara manajemen PDAM dengan Pemda, dengan Legislatif, dengan perguruan tinggi, dengan masyarakat pelanggan dan sebagainya.

Tentu saja manajemen PDAM harus menguasai betul isi dan makna Permendagri tentang tarif ini supaya mereka dapat dengan baik mengkomunikasikannya kepada semua pihak yang berkepentingan. Masalahnya, tarif bersifat kuantitatif, menyangkut angka yang akan diperoleh dengan memperhitungkan segala faktor biaya. Bila ini dikomunikasikan dengan baik dan transparan kepada semua stakeholder, diharapkan semua pihak akan memahaminya.

Perbedaan antara Permendagri 1998 dengan Permendagri 23 tahun 2006 ini terletak pada dasar kebijakannya. Permendagri No. 23 didasarkan pada Peraturan Pernerintah No. 16 tahun 2005 dengan memperhitungkan keterjangkauan dan keadilan, pelayanan, biaya efisiensi, transparansi dan perlindungan air baku.

Dari segi keterjangkauan dan keadilan misalnya, untuk pemakaian air sampai dengan 10 meter kubik, harus terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan sama dengan upah minimum. Hitungan-hitungannya misalnya, kalau upah minimurn Rp 500.000, maka 4% dari angka itu adalah Rp 20.000. Harga Rp 20.000 untuk 10 meter kubik masih lumayan untuk pemakai di bawah 10 meter kubik.

Hal lain yang penting menurut Permendagri itu adalah prinsip pemulihan biaya yang biasa disebut sebagai full cost recovery. Angka itu bisa didapatkan dengan memperhitungkan semua faktornya. Kalau angka yang didapatkan itu lebih tinggi dari harga jual, maka harus ada subsidi dari Pernerintah Daerah karena ada pasal yang menentukan seperti itu. Biaya perhitungan secara penuh dicapai dari perhitungan tarif rata rata minimal. Dalam hal ini juga harus ada tingkat keuntungan, karena ini Perusahaan Daerah Air Minum. Sebab kalau tidak untung, itu bukan perusahaan namanya. Soal untungnya itu untuk apa, ada ketentuan tersendiri untuk mengaturnya, tetapi seharusnya keuntungan itu diinvestasikan kembali dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, termasuk untuk memperluas cakupan pelayanan.

Permendagri No. 23 juga mencantumkan masalah efisiensi pemakaian air. Ini dimaksudkan untuk memayungi prinsip tarif yang bersifat progresif. Semakin banyak konsumsi, akan semakin mahal tariff per unit. Kenapa begitu, seperti pernah dipertanyakan YLKI, prinsipnya adalah demi efisiensi pemakaian air dan demi perlindungan sumber daya air. Sebab air merupakan benda yang tidak tergantikan. Prinsip tarif progresif ini menurut Eko Wibowo bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat. Itu katanya pernah ditanyakannya kepada wakil wakil berbagai negara dalam suatu konferensi air internasional. Tarif progresif ini disusun berdasarkan blok-blok konsumsi.

Penetapan tarif ini juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Prinsip transparan berarti, PDAM harus menyampaikan secara jelas dan terbuka informasi proses perhitungan dan penetapan tarif itu seperti apa. Itu harus disampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan. Kemudian perlu dicari secara sungguh sungguh segala aspirasi menyangkut penetapan tarif itu dari para pemangku kepentingan seluruhnya. Selain itu harus pula diperhatikan, bahwa proses penetapan tarif itu harus mudah dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh pemangku kepentingan.

Faktor lainnya yang dimasukkan sebagai dasar pembuatan Permendagri No. 23 tahun 2006 ini adalah perlindungan dan pelestarian sumber daya air. Dalam hal ini, penetapan tarif progresif ditujukan untuk perlindungan air baku. Perbedaannya dengan yang lama, pada Permendagri yang baru ini blok konsumsinya hanya dua, blok I dan blok 2. Blok I adalah pemakaian minimum hingga 10 meter kubik per rumah tangga per bulan, dan lewat dari itu masuk blok 2.

Disederhanakan

Sementara itu kategorisasi pelanggan disederhanakan menjadi empat kelompok saja yakni kelompok 1, 2, 3 dan khusus. Blok I adalah yang tergolong pada pemakai kebutuhan minimum 10 meter kubik per rumah tangga per bulan. Kelompok 2 merupakan pelanggan yang membayar tarif dasar, kelompok 3 tarif penuh, sedangkan yang berikutnya adalah kelompok khusus yang membayar tarif air minum berdasarkan kesepakatan. Mau lebih tinggi boleh, lebih rendah pun boleh, tetapi biasanya kelompok seperti ini membayar lebih tinggi.

Satu prinsip yang juga harus dipegang, walaupun pelanggan miskin, tetapi kalau dia boros, ya harus dikenai biaya penuh, tidak disubsidi lagi. Jadi lebih sederhana. Miskin tapi boros, harus kena.

Sementara itu PDAM dapat menetapkan kebijakan tersendiri di masingmasing kelompok sesuai karakteristik pelanggan di masing masing daerah. Asalkan tidak mengubah blok kelompok. Maka yang bisa,dilakukan nanti adalah kelompok I a, b, c, d dan seterusnya.

"Tetapi tolong dibuat sederhana saja, misalnya a, b, c, d saja, karena nanti kalau terlalu ruwet maka orang tidak mudah memahaminya," ujar Eko Subowo.

Ia mengingatkan, kalau terlalu ruwet, bisa mengundang penolakan. Perlu diingat, tidak semua orang, termasuk anggota DPRD paham betul tentang seluk beluk PDAM. Jadi, klasifikasi itu harus dibuat sesederhana mungkin agar orang yang paling awam sekali pun cepat mengerti.

Dengan cara cara yang mudah dimengerti dan dengan tranparansi menurut Eko Subowo, mudah mengkomunikasikan tata cara penctapan tarif seperti yang pernah dihadirinya di suatu Kabupaten di Surnatera Barat. Di situ hadir Bupati, anggota DPRD, wakil perguruan tinggi setempat dan LSM. Begitu transparannya dan begitu sederhananya permasalahan PDAM dibuka di forum membuat semuanya memahami, bahwa kalau biaya produksi sekian, penyusutan sekian, dan unsur-unsur biaya lainnya sekian, maka wajar kalau ada kenaikan tarif Melihat angka-angka yang didapat, bahkan mereka justru menyarankan kenaikan tarif tidak perlu bertahap, melainkan sekaligus saja.

Dari konsep biaya, Peraturan Menkeu 23 ini lebih sederhana, hanya ada satu konsep biaya, yakni biaya usaha. Jadi ada total biaya, baru dibagi dengan volume air, maka nanti ketemu biaya dasar yang nanti akan menjadi tarif dasar, barulah lari ke tarif rendah, tarif penuh dan tarif kesepakatan setelah juga memperhitungkan kehilangan air. Dulu katanya ada lima konsep biaya, yang menyulitkan orang awam. Bahkan ada Badan Pengawas yang kurang mengerti misalnya apa itu biaya financial, biaya ini itu dan seterusnya.

Total biaya itu didapatkan dari perhitungan berdasarkan pedoman akuntansi PDAM. Ada biaya pengolahan, biaya transmisi, distribusi dan seterusnya, maka ketemulah biaya usaha, termasuk biaya bunga dan biaya depresiasi. Jadi gampang. Maka ketemulah biaya usaha. Dengan demikian lebih mudah kita menjelaskan kepada stakeholder tentang biaya usaha PDAM. Dengan begitu lagi, mudah bagi orang meneliti, biaya mana yang boros, apakah misalnya boros di biaya manajemen dan sebagainya.

Corporate Plan

Eko Subowo mengatakan, ke depan PDAM juga harus membuat program kerja jangka panjang yang disebut corporate plan atau businessplan dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Ini ada kaitannya dengan siklus penganggaran yang berlaku di Pemda. "Ini yang kawan-kawan di PDAM sering lupa," ujarnya. Ini dimaksudkan untuk mensinkronkan pembangunan di daerah, termasuk juga pembangunan PDAM.

Kalau ingin PDAM dibiayai oleh APBD, maka harus ada titik temu. Ini harus diketahui oleh Direksi PDAM, Badan Pengawas dan Pemda supaya ada titik temu antara rencana pembangunan PDAM dengan APBD. Jangan sampai nanti PDAM punya rencana pengembangan jaringan misalnya yang ingin mendapatkan biaya dari APBD, tetapi karena tidak dianggarkan di APBD muncul masalah. Jadi harus ada saling keterkaitan antara corporate plan PDAM dengan APBD.

Sosialisasi Permendagri No. 23 tahun 2006 masih digulirkan secara bertahap sampai menjangkau seluruh PDAM yang ada beserta unsur unsur Eksekutif dah Legislatif. Menurut Ketua Umum Perpamsi Ir. Achmad Marju Kodri yang bertindak selaku moderator dalam mengantarkan penjelasan Drs. Eko Subowo, masalah tarif air minum di berbagai daerah memang unik. la mencatat, ada tiga unsur utama penentu kenaikan tarif, yakni Pemda, Eksekutif dan pelanggan itu sendiri. Sering terjadi, dua unsur sudah setuju satu unsur menolak. Yang lucu lagi, tiga unsur sudah setuju, tetapi karena ada pihak yang menjadikannya sebagai komoditi politik, tahu tahu muncul di koran, sehingga terhambatlah rencana kenaikan tarif itu.

Salah satu masalah yang kita hadapi dalam penyesuaian tarif menurut Kodri, tarif kita selama ini memang sudah tidak normal karena banyak mengalami kelambatan oleh berbagai faktor, terutama faktor politis. Sesungguhnya pembahasan mengenai penentuan tarif secara objektif dan logika mudah saja dimengerti, termasuk di antaranya memperhitungkan faktor inflasi yang biasanya berkisar 10%. Tetapi karena bukan bicara kenaikan 10% lagi, melainkan ada yang 20%, 30% karena keterlambatan sebelumnya, maka masalahnya jadi pelik.

Akhirnya ia berharap, dengan adanya tata cara perhitungan yang diatur dalam Permendagri ini di mana perhitungan dilakukan secara normatif dan logis, ke depan penentuan tarif itu dapat lebih lancar sehingga tidak menghambat pertumbuhan PDAM yang akan dengan sendirinya mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap masyarakat. (Victor Sihite)



Post Date : 31 Juli 2007