Teknologi Bioretensi Atasi Banjir Jakarta

Sumber:Suara Pembaruan - 23 Maret 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

[BOGOR] Setelah lubang biopori, satu lagi teknologi temuan salah satu peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk mengatasi masalah limpasan dan banjir Jakarta. Teknologi itu disebut bioretensi. Prinsip dasar bioretensi menahan air di lahan untuk mengisi aquifer bebas. Sehingga air dapat dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat. Sistem bioretensi ini menggabungkan antara sumur resapan dan tanaman. 

"Bioretensi merupakan teknologi aplikatif yang menggabungkan unsur tanaman, green water dan blue water dalam suatu bentang lahan dengan semaksimal mungkin meresap air ke dalam tanah. Air itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat," papar Pakar Bidang Hidrologi dan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Fakultas Kehutanan IPB Nana M Arifjaya kepada wartawan di Kampus IPB Darmaga, Bogor, baru-baru ini.

Menurut Nana, green water adalah air yang tersimpan di pohon dan lahan. Sedangkan blue water adalah air yang tertampung dalam bentuk mata air, sungai, dan danau.

Menurut Nana, sekitar 44,91 persen atau 28.902 hektare (ha) lahan di DKI Jakarta mampu meresap air dengan baik. Bisa dikatakan, wilayah ini menjadi busa raksasa yang siap menyimpan air. Masalahnya, luasan lahan itu sudah tertutup bangunan maupun aspal.

Dengan rata-rata curah hujan di DKI Jakarta 2.000 milimeter per tahun, pemanfaatan teknologi bioretensi pada lahan itu mampu menyimpan 578,34 juta meter kubik (m3) air per tahun atau 1,6 juta m3 per hari. Jumlah ini cukup untuk memenuhi keperluan domestik sekitar 7,9 juta masyarakat perkotaan.

"Dengan jarak dua hingga tiga meter dari sumur bioretensi itu, warga bisa memasang pompa air, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan air PAM," kata Nana. Pembuatan bioretensi dapat dilakukan di halaman rumah, selokan, trotoar, taman, lahan parkir, dan gang-gang sempit padat penduduk. Tidak perlu pembebasan lahan, dan tidak menghilangkan luasan lahan," tuturnya.

Sederhana

Proses pembuatannya terbilang sederhana. Pertama, pembuatan selokan kecil menuju sumur resapan. Kedua, penggalian sumur resapan satu meter persegi dengan kedalaman 2,7 meter.

Ketiga, pemasangan bius penahan dinding sumur resapan. Bius terbuat dari cetakan beton, berbentuk seperti jendela persegi panjang berukuran satu meter dan memiliki empat lubang.

Bius dipasang di samping kanan kiri dan atas bawah dinding sumur resapan. Keempat, pemasangan ijuk dan batu kali di dinding bawah sumur resapan sedalam 1,7 meter. Ijuk dan batu kali ini berfungsi menyerap air dan menahan energi kinetik air yang masuk ke bawah sumur. Kelima, pemasangan penutup sumur. Penutup ini terbuat beton.

Air limpasan hujan sengaja diarahkan masuk ke sumur melalui sebuah pipa, sehingga air tidak semuanya langsung mengalir ke daerah lebih rendah. Pada tahun 2008, tim IPB membuat sumur bioretensi di 800 lokasi di Jakarta. Tahun ini, direncanakan akan dibuat 100 sumur lagi. Kawasan-kawasan yang memungkinkan untuk pembuatan sumur ini sebagian besar berada di wilayah Jakarta Timur, Barat, dan Selatan.

Dalam perhitungan Tim IPB, jumlah ideal sumur bioretensi untuk seluruh DAS di Jabodetabek adalah 261.622 unit dengan kemampuan meresap air hujan 437,2 m3 per detik. Sebanyak 123.706 unit di antaranya dibuat di Jakarta dan 6.642 unit di Kota Bogor.

Dana untuk membuat satu sumur bioretensi sekitar Rp 2,5 juta per unit. Biaya mencakup penggalian, pembuangan tanah, pembuatan dan pemasangan sumur resapan. Untuk membuat lebih dari 261.000 sumur bioretensi di Jabodetabek diperlukan dana sekitar Rp 1 triliun, jauh lebih rendah ketimbang biaya pembangunan banjir kanal timur yang mencapai Rp 13 triliun.

Bioretensi berbeda dengan sumur resapan pada umumnya. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan bioretensi seperti kedalaman air tanah lebih dari 3 meter, tanah yang dipilih tidak jenuh air, merupakan lahan terbangun (berdiri bangunan), bukan tanah aluvial (lumpur sedimen), jarak dari septic tank lebih dari 8 meter, dipilih lokasi geologi tanah kipas aluvail yang memiliki daya serap tinggi seperti busa. "Penyebab kegagalan pembuatan sumur resapan terjadi karena pembuatannya tidak mempertimbangkan geologi tanah, tanpa perencanaan dan pengawasan matang," ujar Nana. [126]



Post Date : 23 Maret 2009