Teknologi di TPST Bojong

Sumber:Kompas - 07 Desember 2004
Kategori:Sampah Jakarta
JAKARTA sebagai ibu kota negara masih terus berbenah diri untuk menjadi kota yang lebih baik dari hari ke hari. Salah satu permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan adalah permasalahan sampah. Tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, keterbatasan lahan, serta ketidakpedulian masyarakat akan masalah sampah membuat sampah terus menumpuk di berbagai sudut Jakarta tanpa sentuhan penanganan yang baik.

JUMAT, 1 Oktober 2004, mulai dilaksanakan uji coba untuk pengoperasian Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, untuk pembuangan sampah dari Jakarta. Teknologi yang akan digunakan didatangkan dari Jerman, dengan kontraktor lokal, yaitu PT Wira Guna Sejahtera.

Telah ditandatangani pula kontrak antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Bogor, dan PT Wira Guna Sejahtera bahwa akan diadakan uji coba selama dua bulan. Tujuannya untuk memastikan keberhasilan teknologi tersebut. Jika dalam waktu dua bulan pengoperasian itu ternyata memberikan hasil yang tidak memuaskan, kontrak kerja sama akan diputus.

Selain itu, sumber pembiayaan untuk TPST itu juga tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta atau Kota Bogor, melainkan merupakan investasi asing (dalam hal ini Jerman) dalam bidang teknologi pengolahan sampah.

Teknologi pengolahan menggunakan pemilihan dengan ban berjalan (belt conveyor), diikuti dengan pemadatan dengan teknologi bala press. Dengan pemadatan ini, air yang berasal dari sampah akan terperas dan diolah dengan menggunakan proses anaerobik, untuk kemudian dibuang ke badan air penerima, yaitu sungai di sekitar TPST Bojong. Sedangkan sampah yang sudah dipadatkan, dan telah memiliki kadar air lebih rendah karena proses pemadatan yang telah dilakukan sebelumnya, akan dibakar dalam tungku bakar secara terkontrol (proses insinerasi).

Unit pemilahan

Pemilahan sampah dilakukan di atas delapan unit ban berjalan (belt conveyor) yang masing-masing panjangnya 33 meter. Di sisi kanan kiri ban berjalan itu berdiri para pemulung (jumlah totalnya 1.000 orang) yang bertugas memilah sampah berdasarkan jenisnya. Sampah yang akan dipilah umumnya adalah sampah plastik, logam, gelas, kaleng, dan kertas. Para pemulung tentunya akan memilah sampah yang masih memiliki nilai jual, di mana sampah tersebut masih utuh dan masih dapat digunakan.

Harapannya, sampah yang tidak ikut dipilah (akan masuk ke unit pemadatan) adalah sampah yang tidak memiliki nilai ekonomis untuk dijual kembali dari unit pemilahan sampah. Selain itu, sampah yang masuk ke unit pemadatan itu juga telah bersih dari benda-benda yang tidak lagi mengandung komponen berat dan atau berukuran besar, yakni balok kayu, batu, kerikil, dan lain-lain.

Namun, pada kenyataannya, mungkin saja masih ditemukan sampah dengan komponen yang berat dan besar tersebut. Jika ini terjadi, memang dapat berpeluang merusak ban berjalan. Volume sampah yang berlebihan ke atas ban berjalan juga berpotensi menimbulkan terjadinya ceceran sampah (tumpah keluar dari ban berjalan) sehingga menurunkan efisiensi pemilihan.

Untuk itu, lebar ban berjalan, pengaturan laju ban berjalan, laju dan volume sampah yang dimasukkan ke atas ban berjalan, jumlah pemulung yang melakukan pemilahan, serta laju pemilahan yang dilakukan pemulung adalah parameter-parameter yang harus diperhatikan untuk mempertahankan kinerja pada unit pemilahan.

Dalam aplikasinya yang telah diterapkan di beberapa negara, lebar ban berjalan umumnya 1-1,2 meter dengan laju ban berjalan 4,5-25 meter per menit.

Unit pemadatan

Pemadatan sampah dilakukan dengan menggunakan teknologi bala press. Unit ini berfungsi untuk meningkatkan densitas atau massa jenis sampah, serta untuk memeras air yang terkandung dalam sampah. Umumnya, unit ini digunakan untuk pemadatan sampah yang akan ditempatkan di tempat pemusnahan akhir (TPA) dengan sistem lahan uruk saniter atau pemadatan untuk sampah-sampah yang akan didaur ulang.

Produk yang diharapkan dari unit ini adalah sampah dengan densitas yang lebih tinggi (sehingga akan memudahkan penanganan pada unit berikutnya, yaitu unit insinerasi), serta meningkatkan keterbakaran sampah pada saat pembakaran pada unit insinerasi. Air yang terperas dari sampah akan diolah pada unit pengolah air sampah atau yang dikenal sebagai unit pengolah air lindi.

Unit pemadatan dengan sistem bala press menggunakan tekanan 690-1.390 kN/m. Sampah yang dipadatkan akan dibentuk menjadi kubus dengan kisaran ukuran 1,2 x 0,75 x 1 m hingga 1,8 x 0,75 x 1,2 m. Massa setiap 1 kubus sampah yang terpadatkan berkisar 600 kilogram hingga 900 kilogram. Dalam hal ini, pemadatan sampah dapat mencapai 200-260 persen sehingga akan sangat mempermudah penanganan saat sampah diinsinerasi.

Unit insinerasi

Unit ini bertujuan untuk mereduksi volume sampah yang tersisa dari unit pemilahan dan juga telah dipadatkan pada unit pemadatan sampah dalam bentuk kubus-kubus. Reduksi volume sampah pada insinerator dapat mencapai 60-80 persen, di mana 20-40 persen volume akan menjadi abu yang masih dapat dimanfaatkan.

Penelitian terbaru menunjukkan, abu dari hasil pembakaran sampah sangat baik untuk dijadikan agregat pada batu bata dan batako. Dalam hal ini, terdapat peluang kewirausahaan baru yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola TPST atau diserahkan kepada penduduk sekitar sehingga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pengelola atau masyarakat.

Sebagai suatu proses pembakaran, gas buang dari insinerator akan menjadi hal yang paling dikhawatirkan dari produk pembakaran sampah pada insinerator. Batasan yang umumnya digunakan adalah berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 03/BAPEDAL/09/ 1995 tentang baku mutu emisi insinerator. Parameter utama yang penting dan umumnya digunakan di Indonesia adalah partikulat (maksimum 350 mg/m), nitrogen dioksida (maksimum 1.000 mg/m), serta sulfur dioksida (maksimum 800 mg/m).

Ketiga parameter itu merupakan parameter kunci yang umum digunakan dalam setiap pemantauan kinerja insinerator di Indonesia, ditinjau dari segi gas buang yang dihasilkan. Masih ada beberapa parameter lain, seperti emisi karbon monoksida, emisi logam berat, serta emisi dioksida atau furan. Namun, dalam pelaksanaannya di Indonesia, umumnya hanya tiga parameter yang tersebut di atas yang selalu dijadikan sebagai acuan kontrol.

Salah satu isu yang cukup hangat saat ini adalah mengenai isu emisi dioksida dan furan, yang dikhawatirkan sebagai senyawa karsinogenik (senyawa pencetus kanker pada manusia). Senyawa dioksida dan furan umumnya terbentuk dari pembakaran senyawa chlorinated organic pada suhu $< 600 C. Senyawa-senyawa ini umumnya terkandung sampah yang mengandung plastik. Dalam hal ini, kinerja pemilahan sampah plastik pada unit pemilahan sampah mutlak untuk dipertahankan sehingga dapat mengantisipasi apabila terjadi proses yang kurang sempurna pada proses insinerasi, serta berpeluang menghasilkan senyawa dioksin dan furan.

Unit pengolahan air lindi

Air hasil pemadatan sampah yang dikenal sebagai air lindi (leachate) umumnya kaya dengan senyawa organik dan dinyatakan dalam Chemical Oxygen Demand (COD) yang dapat mencapai 10.000 mg/1. Pengolahan yang dilakukan di TPST Bojong adalah pengolahan air lindi secara anaerobik, di mana proses pengolahannya tanpa kehadiran oksigen sebagai oksidator untuk mereduksi kandungan COD dalam air lindi. Sebagai perbandingan, proses aerobik memiliki kinerja lebih rendah ketimbang proses anaerobik dalam pengolahan air lindi dengan kandungan COD tinggi ini.

Hasil akhir yang diharapkan dari proses ini adalah effluent (air limpasan) yang memiliki nilai COD di bawah baku mutu yang disarankan, yaitu 100 mg/1. Di samping itu, akan dihasilkan gas metana (CH4) yang memiliki nilai kalor dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sumber energi ini dapat dimanfaatkan untuk pengadaan sebagian kebutuhan energi pada TPST Bojong itu sendiri.

Selain itu, proses ini membutuhkan energi listrik yang lebih sedikit, penanganan lumpur yang lebih sedikit, serta pengoperasian dan perawatan yang lebih mudah daripada proses aerobik. Di samping kelebihan, proses anaerobik juga memiliki kekurangan, yaitu kebutuhan luas lahan yang lebih luas ketimbang proses aerobik, untuk pengolahan laju alir air lindi yang sama.

Keberhasilan TPST Bojong

TPST Bojong dirancang untuk mengolah 2.000 ton sampah per hari. Padahal, berdasarkan data Dinas Kebersihan Kota, sampah yang dihasilkan sehari 6.000 ton. Artinya, TPST Bojong hanya melayani 33 persen dari seluruh sampah yang dihasilkan warga Jakarta.

Dengan kata lain, 67 persen sampah dari penduduk Jakarta tidak dapat dilayani oleh TPST Bojong dan terpaksa masih harus dialihkan ke TPA Bantar Gebang. Pada penanganan sebelumnya (sejak tahun 1999 hingga sekarang), sampah Jakarta seharusnya diolah di TPA Bantar Gebang dan TPA Cilincing. Namun, tidak tuntasnya tahapan konstruksi dari TPA Cilincing menjadikan TPA Bantar Gebang harus menangani seluruh sampah Jakarta. Hal ini merupakan suatu contoh penanganan yang buruk dan diharapkan tidak terjadi pada TPST Bojong yang akan menerima sampah di luar kapasitas operasinya. Dengan kata lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih harus memikirkan masalah penanganan 67 persen sampah Jakarta yang belum tertangani.

Biaya retribusi sampah yang harus dibayarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kota Bogor adalah Rp 54.000/m sampah. Sebagai acuan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus membayar lebih mahal kepada Pemerintah Kota Bekasi saat pengoperasian TPA Bantar Gebang, yaitu sebesar Rp 64.000/m sampah. Dalam hal ini, biaya retribusi yang lebih murah ini akan memungkinkan adanya alokasi dana yang tersisa pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dana yang tersisa ini dapat dialokasikan untuk menunjang sistem pengumpulan serta pengangkutan sampah, sebelum sampah diolah di TPST Bojong, sehingga kinerja total sistem persampahan akan meningkat secara signifikan.

Pada unit pemilahan sampah dibutuhkan penanganan dan pengaturan pemulung yang akan mengoperasikan kegiatan pemilahan sampah. Sangat mungkin terjadi perebutan lahan kerja dari pemulung di TPST Bojong, yang akan memberikan friksi-friksi sosial dan akhirnya menurunkan kinerja pemilahan sampah pada unit ini. Pada unit ini sangat diharapkan pula akan tercapai lebih kurang 30 persen volume sampah yang dapat terpilah sehingga hanya terdapat 70 persen volume sampah yang tersisa untuk diinsinerasi. Dalam hal ini, pemilahan telah memberikan efek penurunan biaya pengoperasian pada unit insinerasi sampah.

Pada unit pemadatan diperlukan pengawasan yang ketat, khususnya untuk sampah-sampah tertentu yang berukuran besar. Hal ini perlu untuk menghindari kerusakan alat pemadat (baler) Untuk mengantisipasi hal ini, pengembalian sejumlah sampah yang membutuhkan penanganan lanjut, seperti pemotongan sampah, mutlak dibutuhkan.

Pada unit insinerasi sampah diperlukan pengawasan secara ketat terhadap emisi gas buang yang dihasilkan. Insinerasi sebagai proses yang menghasilkan gas buang akan memberikan dampak lingkungan, khususnya kualitas udara ambien secara signifikan. Hal ini akan sangat menjamin keberlangsungan TPST Bojong itu sendiri. Seperti diketahui, sebagian warga di sekitar TPST Bojong menolak kehadiran insinerator karena mereka mengkhawatirkan adanya pencemaran udara akibat gas buang dari insinerator. Penghentian operasi, apabila emisi gas buang telah melebihi baku mutu yang disyaratkan, harus menjadi suatu standar prosedur pengoperasian.

Pada unit pengolahan air lindi dibutuhkan pengawasan secara ketat akan kualitas effluent yang dihasilkan. Berdasarkan pengalaman dari instalasi pengolahan air lindi TPA Bantar Gebang, telah terjadi pencemaran tanah, air tanah, dan sungai di sekitar TPA Bantar Gebang sekitar secara serius akibat kualitas effluent dari pengolahan air lindi yang berada di atas baku mutu yang disyaratkan. Hal ini tidak boleh terjadi kembali di TPST Bojong sehingga tetap dapat meyakinkan penduduk sekitar akan kinerja yang tinggi dari instalasi air lindi di TPST Bojong ini.

Kita sepatutnya mendukung upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pengadaan dan pengoperasian TPST Bojong, yang diharapkan dapat memperbaiki kinerja penanganan sistem persampahan Jakarta. Partisipasi masyarakat secara aktif dengan peningkatan kesadaran akan penanganan sampah mutlak dibutuhkan dan akan meningkatkan kinerja sistem persampahan secara total dan signifikan. Sejauh TPST Bojong dapat ditangani secara profesional, transparan, dan terbukti memberikan kinerja yang baik, mengapa kita harus menolak?

Sandhi Eko Bramono Anggota Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia

Post Date : 07 Desember 2004