Teror dan Ketakutan Itu Terus Berlanjut...

Sumber:Kompas - 27 Nopember 2004
Kategori:Sampah Jakarta
HARI masih pagi. Baru sekitar pukul 05.30. Namun pada Jumat (26/11) itu Eneng (bukan nama sebenarnya), warga Desa Bojong, Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten Bogor, sudah keluar rumah. Sambil menggendong Riza, anaknya yang berumur 10 bulan, wanita itu tergopoh-gopoh pergi ke Posko Pembebasan Korban Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong.

TADI jam 01.00 Pami diambil dari rumah temannya di Pangkalan Jemben. Yang mengambil enam orang berpakaian hitam-hitam," kata Eneng kepada petugas Posko Pembebasan Korban Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong yang menemuinya.

"Salah seorang dari yang mengambil Pami sempat bilang, Kita bawa langsung saja ke Polres," ujarnya.

Informasi Eneng ini langsung menaikkan darah orang-orang yang berada di posko tersebut. Di tengah dinginnya udara pagi itu, mereka saling berpandangan dengan wajah geram menahan marah.

Kalau laporan Eneng itu benar, berarti jumlah warga Bojong yang "diambil" oleh orang-orang tak dikenal sesudah insiden antara pengunjuk rasa yang menolak keberadaan TPST Bojong dan aparat keamanan pada Senin lalu bertambah menjadi 20 orang.

Kegeraman ternyata tak berhenti dengan laporan diciduknya Pami. Sebab, satu setengah jam kemudian Eneng datang lagi ke posko. "Rumah Asep terbakar. Tadi sekitar pukul 02.50 ada yang melempar bom molotov ke dapur rumahnya," kata Eneng yang seperti penghubung antara warga dan posko..

Sama seperti Pami, Asep merupakan sebagian dari warga Bojong yang menolak keberadaan TPST di daerah mereka. Seperti halnya ratusan pria warga Bojong lainnya, sejak Senin lalu Pami dan Asep juga telah pergi dari Bojong karena takut "diambil" oleh aparat keamanan.

Ironisnya, meski sudah menyingkir, Pami tetap tertangkap juga di tempat persembunyiannya. Sedangkan Asep harus menerima kenyataan rumahnya terbakar.

TEROR belakangan ini memang menjadi cerita sehari-hari warga Bojong yang sekarang hampir semua penduduknya merupakan wanita dan anak-anak.

Teror itu telah mengubah keadaan Bojong. Terlebih pada malam hari, suasana menjadi senyap seperti kampung mati karena hampir semua warganya takut keluar rumah.

Ketakutan untuk keluar rumah itu terlihat sekali ketika hari Kamis sekitar pukul 22.00 aliran listrik di sekitar Bojong tiba-tiba mati sekitar 25 menit.

Saat itu tidak ada seorang pun warga keluar dari rumahnya. Juga tidak terlihat warga yang berusaha menyalakan lilin atau obor sebagai alat penerang pengganti lampu.

Suasana mencekam itu makin terasa di dalam rumah-rumah penduduk. Untuk mencegah adanya warga yang tiba-tiba "diambil" seperti yang dialami Pami, sekarang warga Bojong memilih tidur bersama-sama di ruang tengah.

Padahal, tidur bersama-sama itu juga tak menghapus rasa takut. Ketika terdengar suara ketukan pintu, mereka sepertinya ketakutan.

"Maaf, ada yang mengetuk pintu rumah," kata seorang warga dengan wajah takut sambil membangunkan Kompas yang kebetulan tidur di rumahnya. Padahal di luar sudah agak terang, dan si pengetuk pintu itu ternyata Eneng, yang mengabarkan pengambilan Pami.

MESKI berbagai teror terus menimpa warga Bojong, mereka tetap teguh menolak keberadaan TPST di daerahnya.

"Di Indonesia, di mana sih ada sampah yang tidak bau dan mencemari lingkungan? Janji sampah yang akan dibawa ke Bojong diangkut dengan truk tertutup rapat itu hanya teori," kata beberapa warga saat ditanya alasan mereka menolak keberadaan TPST Bojong.

"Lagi pula, mengapa sampah orang Jakarta harus dibuang ke sini?" kata warga lainnya.

Bila menyimak jawaban-jawaban di atas, penolakan warga Bojong terhadap keberadaan TPST Bojong agaknya sudah merupakan keputusan tak tergoyahkan.

Sikap warga Bojong dalam menolak TPST itu juga terlihat dari tindakan berani mereka untuk menolak keberadaan TPST.

Hal itu misalnya terlihat pada tanggal 30 Juli 2004. Saat itu sekitar 400 warga Bojong mendatangi Gedung DPRD dan Balaikota DKI Jakarta untuk "membuang" sampah ke pelataran kedua gedung tersebut.

Aksi itu dilanjutkan oleh sekitar 500 warga dari Desa Bojong, Cikahuripan, dan Situsari, yang pada tanggal 1 Agustus 2004 berunjuk rasa di areal sekitar TPST.

Pada 29 September 2004 warga Bojong kembali berunjuk rasa dengan cara melintangkan sebatang pohon tepat di pintu masuk lokasi TPST.

Ketika mesin pengolah sampah dikirim ke Bojong, warga protes lagi. Kali ini protes sudah diwarnai dengan tindak kekerasan oleh aparat dengan cara memukul dan menangkap sejumlah warga yang menghadang laju kendaraan yang mengangkut mesin pengolah sampah.

Ironisnya, berbagai aksi warga Bojong di atas tidak pernah dianggap serius oleh Pemkab Bogor dan PT PT Wira Guna Sejahtera (WGS) sebagai pengelola TPST Bojong. Ini terlihat dari sikap ngotot PT WGS untuk tetap melakukan uji coba pada Senin lalu, meski pada malam sebelumnya suasana di Bojong sudah amat mencekam.

Tiadanya tanggapan yang serius terhadap sikap warga Bojong ini, selain semakin mengentalkan sikap mereka untuk menolak keberadaan TPST Bojong, juga membuat mereka menjadi lebih militan dalam mengelola aksi.

Militansi ini terbukti pada insiden Senin lalu. Ribuan warga secara serentak merusak apa saja yang ada di dalam kompleks PT WGS dan melawan aparat.

"Peristiwa Senin itu membuat banyak pihak kaget dengan militansi orang Bojong. Banyak yang bilang, untuk mempersiapkan aksi seperti itu butuh waktu selama satu tahun. Padahal, warga Bojong tidak pernah mengikuti pelatihan masyarakat madani atau kepemimpinan," kata Erwin, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang sudah 1,5 tahun mendampingi warga Bojong.

IRONISNYA, penolakan mereka tidak pernah ditanggapi serius oleh para pihak yang mestinya dari awal menaruh perhatian. Dampak pemberitaan terhadap kasus itulah yang memicu tanggapan dan tindakan dari berbagai pihak.

Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, misalnya, meminta TPST Bojong tutup sementara. DPRD Kabupaten Bogor minta Pemkab Bogor meninjau ulang izin untuk PT WGS.

Setelah "dicaci maki", polisi akhirnya juga mulai menggelar sidang Pelanggaran Kode Etik Kepolisian di Kepolisian Wilayah Bogor terhadap enam bintara anggota Pengendalian Masyarakat Satuan Samapta Polres Bogor yang diduga terlibat dalam insiden Senin lalu.

Dewan Sidang yang diketuai Komisaris Rastra Gunawan dengan Wakil Ketua Komisaris Triemi Purnomo dan anggota Ajun Komisaris Sahroni, Iptu Sarif Hidayat, serta Iptu Saharyo menyatakan, ketika menangani massa dalam bentrokan Senin lalu, para bintara itu tidak berpedoman pada ketentuan disiplin anggota Polri dan tidak bekerja dengan ikhlas dalam memberi pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, mereka dituduh telah melanggar Pasal 4 (a) PPRI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Namun, upaya penyelesaian TPST itu belum dilakukan sepenuh hati. Buktinya, sampai sekarang warga Bojong masih menerima berbagai teror.... (M Hernowo/ Ratih P Sudarsono)

Post Date : 27 November 2004