Tertib Buang Hajat

Sumber:Pikiran Rakyat - 08 Maret 2007
Kategori:Sanitasi
MANG Dasim, bukan nama sebenarnya, warga Kampung Cigablogan, Desa Mandalamekar, Kec. Cimenyan, Kab. Bandung, setiap pagi keluar dari semak-semak jalan setapak. Jalan setapak itu menghubungkan dirinya dengan sungai kecil yang tak jauh dari rumahnya. Tiap kali ditanya, pulang dari mana, ia memberi jawaban tak jelas. Bahkan terkesan menghindar. Meski demikian, si penanya sebetulnya tidak butuh jawaban karena sebenarnya sudah mengetahui apa yang dilakukan Mang Dasim, buang hajat alias buang air besar (BAB). Mang Dasim, dan warga kampungnya yang senasib (tidak punya WC di rumahnya), selalu buang hajat ke sungai.

Perilaku buang hajat di sembarang tempat alias bukan pada tempatnya, seperti dilakukan Mang Dasim, bukan hal aneh bagi sebagian masyarakat di tanah air. Perilaku demikian bisa dijumpai di banyak tempat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Inilah sisi buruk dari potret sanitasi di negeri kita.

Air merupakan subtrat yang paling rentan menerima berbagai jenis bahan pencemar. Selain pencemaran akibat buangan tinja (feces) sebagai pembawa bakteri E.coli, juga diakibatkan oleh jenis-jenis pencemar yang bersumber dari limbah domestik (rumah tangga) dan limbah industri.

Jenis-jenis pencemar yang masuk badan air, langsung atau tidak, akan berpengaruh pada kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri, maupun keperluan-keperluan lainnya.

Akibat semakin tingginya kadar buangan terutama limbah domestik memasuki badan air, tak heran jika berbagai jenis penyakit secara endemik atau pun epidemik berjangkit dan menjadi permasalahan kesehatan baik secara regional maupun nasional. Setiap tahun jutaan anak mengalami serangan penyakit perut dengan jumlah angka kematian yang juga signifikan. Kasus-kasus semacam itu lebih parah dialami oleh daerah-dearah padat penduduk dengan sanitasi yang buruk.

Tangki septik komunal

Berbagai cara dan usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran pencemaran terhadap air dapat dihindari, dikurangi, atau minimal dapat dikendalikan. Penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat, misalnya, telah dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah, individu, maupun lembaga-lembaga swadaya. Namun, keadaan ekonomi yang mengimpit kehidupan masyarakat miskin, penyediaan infrastruktur sanitasi masih menjadi kendala utama. Untuk buang hajat saja, harus dilakukan di sembarang tempat.

Prakarsa perlunya penyediaan tangki septik (septic tank) komunal di kawasan-kawasan padat penduduk kiranya bisa menjadi solusi dalam pelaksanaan sanitasi lingkungan. Suatu prakarsa yang dilakukan ESP, misalnya, adalah melakukan kegiatan penyiapan masyarakat untuk menerima, menggunakan dan mengelola tangki septik komunal. Walau belum sepenuhnya mencapai target yang ditetapkan, kini beberapa hasil positif program sudah bisa dirasakan manfaatnya.

Menurut Selvina Hehanusa, aktivis ESP Jabar, program ini sejalan dengan program pembangunan sarana sanitasi berupa pembuatan tangki septik komunal di bawah Dinas Tata Ruang dan Permukiman Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk Kab. Bandung, di tahun anggaran 2005/2006 Pemrov Jabar menyediakan anggaran hanya Rp 300 juta untuk pembangunan dua unit sarana sanitasi tersebut.

Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memiliki sarana sanitasi, berada di lingkungan yang padat, dan tergolong warga miskin perkotaan. Lokasi pembangunan ditentukan bersama antara pemerintah daerah dan desa. Kampung Dara Ulin RW 06, Desa Nanjung, Kec. Margaasih dan Kampung Penclut RW 05, Desa Rancamanyar, Kec. Baleendah, Kab. Bandung terpilih sebagai lokasi pembangunan. Dua unit tangki septik komunal yang diperkirakan akan melayani sekitar 800 jiwa atau 400 rumah di lokasi tersebut.

Di Indonesia, bentuk sanitasi semacam itu, dalam praktik pengelolaannya ada yang dilakukan oleh pemerintah melalui PDAM (institutional based) yang dikenal dengan IPAL (Instalasi Pengolahah Air Limbah) dan TPAL (Tempat Pengolahan Air Limbah). Sedangkan septik komunal biasanya diprakarsai dan dikelola pemerintah bersama masyarakat (community based). Cara kerja dan fungsinya, baik IPAL/TPAL maupun tangki septik komunal relatif sama.

Tangki septik komunal selain berfungsi sebagai tangki septik tinja juga berfungsi sebagai tempat pembanguan limbah rumah tangga. Buangan tinja dan air limbah rumah tangga yang banyak mengandung pencemar organik, anorganik, dan bakteri patogen sebelum dibuang ke alam, diolah terlebih dahulu dalam tangki septik komunal. Tangki septik model ini sangat efektif jika ditempatkan di pemukiman padat penduduk.

Berbeda dengan tangki septik pada umumnya, tangki septik ini menggunakan sistem tiga ruangan yaitu ruang aerobik, fakultatif, dan anerobik serta ruang filter dan bak klorinasi. Tangki septik ini juga tidak membutuhkan bidang peresapan dan dibangun secara komunal sehingga dapat menghemat lahan. Kegiatan mikroorganisme dalam proses biodegradasi merupakan faktor pendukung utama pada alat ini, karena pada umumnya air limbah rumah tangga mudah diuraikan (didegradasi) oleh mikroorganisme.

Tangki septik komunal dipandang lebih efektif dibandingkan dengan tangki septik pada umumnya, karena dapat mengolah air limbah baik dari WC maupun non WC dan dapat mengurangi pencemaran air karena kualitas effluent-nya relatif jauh lebih baik.(Cecep Sukmara/dari berbagai sumber).



Post Date : 08 Maret 2007