Tinggal di Ibu Kota Negara Kok Sulit Air

Sumber:Kompas - 02 September 2004
Kategori:Air Minum
KESULITAN mendapat air bersih sudah berpuluh-puluh tahun dirasakan masyarakat kota Jakarta. Air tanah yang diharapkan menjadi sumber utama mendapatkan air secara gratis sudah sulit diperoleh akibat penurunan muka air tanah. Menggunakan air sungai jelas tidak mungkin mengingat air sungai di Jakarta lebih mirip seperti air selokan yang bau.

Masyarakat yang tinggal di Ibu Kota akhirnya berharap pada pasokan air bersih dari jaringan pipa. Namun ironisnya, pasokan air bersih melalui jaringan pipa yang didistribusikan PAM Jaya bersama dua mitra asingnya, Thames PAM Jaya (TPJ) dan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), tidak seluruhnya mampu menjangkau masyarakat yang membutuhkan air bersih. PAM Jaya hanya mampu menjangkau 58 persen penduduk di Jakarta. Sisanya, masih menggunakan air tanah.

Celakanya, menurut penelitian Badan Penelitian Lingkungan Hidup Daerah DKI, 90 persen air tanah di DKI tercemar bakteri fecal coli. Bakteri penyebab diare dan disentri ini ditemukan pada air tanah akibat masih banyaknya permukiman yang menggunakan septictank konvensional. Septictank yang seharusnya berjarak minimal 10 meter ini pada kenyataannya sangat berdekatan dengan sumur akibat semakin sempitnya lahan.

Kesulitan air bersih ini antara lain dirasakan warga di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Di Jakarta Barat, daerah yang sering dilanda kekurangan air adalah di wilayah Kelurahan Kalideres, Tegal Alur, Kamal, Semanan, Pegadungan, dan Duri Kosambi. Sekarang, warga sudah mengeluh kekurangan air bersih. "Kekurangan dirasakan mulai dari awal Juli," ujar Leman (30), warga Kelurahan Kalideres RT 03 RW 01, Jakarta Barat.

Celakanya, warga yang sudah tidak bisa memanfaatkan air tanah ini juga tidak mendapat pasokan air dari mobil tangki milik PAM Jaya. Akibat tidak adanya pasokan air, warga terpaksa membeli air dari pedagang keliling dengan harga Rp 2.000 per pikul (dua jeriken).

Sejak tahun 2000, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah melalui Pemerintah Kota Jakarta Barat menyalurkan 23 truk tangki guna memenuhi kebutuhan air bagi warga Kalideres. Tahun 2003, departemen tersebut memberikan bantuan empat truk tangki bagi warga Cengkareng.

Air yang dikirim melalui truk-truk tangki itu selanjutnya dipasok ke tandon-tandon air di sekitar permukiman warga untuk didistribusikan dengan harga Rp 250 per jeriken. Akan tetapi, persoalan ternyata belum selesai. Truk-truk tangki yang bertugas memasok air ke Kalideres itu kini tidak bisa lagi memasok air karena surat tanda nomor kendaraannya bermasalah.

Namun, warga justru menduga ada penyelewengan dalam pendistribusian air di Kalideres. Dalam pikiran mereka, air bersih untuk mereka itu disalurkan ke kawasan real estate. "Air dijual ke real estate karena warganya mampu membeli dengan harga tinggi," ujar Leman, seorang warga.

Koordinator yang ditunjuk Kantor Wali Kotamadya Jakarta Barat untuk mendistribusikan air, Samit Wirya, mengatakan bahwa dirinya sudah angkat tangan dengan urusan air di Kalideres. Pasalnya, semua urusan operasional sudah lama dilaksanakan aparat pemerintahan di tingkat kecamatan dan kelurahan.

Warga Duri Kosambi, Jakarta Barat, juga mengeluhkan soal kekurangan air bersih. Di wilayah tersebut, warga banyak menggunakan air tanah yang disedot dengan pompa. Lukman, warga yang tinggal di RT 07 RW 03, Kelurahan Duri Kosambi, mengungkapkan, sudah lama warga kesulitan mendapat air tanah. Sekarang ini air yang dipompa hanya bisa mengucur lancar selama satu jam. Setelah itu, air sudah tidak keluar lagi.

Lukman mengatakan, setiap hari dia harus bangun dini hari untuk memompa air tanah karena biasanya pada waktu itu air tanah terisi kembali. "Paling banyak saya hanya bisa menampung dua ember besar. Setelah itu tidak ada lagi," kata Lukman.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, warga terpaksa membeli air dari tempat lain meskipun jarak sumber airnya jauh dari rumah. Harga air pikulan di Duri Kosambi bisa mencapai Rp 2.000 per pikul (dua jeriken). Untuk membuat sumur baru, menurut Lukman, bisa mencapai kedalaman 30 meter. Itu pun kualitas airnya sangat buruk. "Kami ini sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta, tetapi hingga sekarang mencari air saja kok sulit," kata Lukman. (IND)

Post Date : 02 September 2004