TPA, dari Sumber Bencana ke Sumber Devisa

Sumber:Pikiran Rakyat - 09 Maret 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
TPA Leuwigajah telah longsor dan memakan korban jiwa puluhan orang. Sungguh memilukan. Kita tidak dapat menyalahkan hujan deras. Hujan itu hanya pemicu saja. Kesalahannya jelas pada kelalaian instansi teknis di Pemda Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Jauh-jauh seharusnya mereka sudah melihat bahwa teknologi yang digunakan tidaklah layak teknis, terutama dalam kondisi curah hujan yang tinggi. Pengelola lokalnya seharusnya ditegur dan tekniknya diperbaiki. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Yang penting ialah melihat ke depan agar musibah yang serupa tidak lagi terjadi di TPA Leuwigajah dan TPA lainnya.

Sampah akan selalu bersama kita. Bahkan, jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya produksi sampah per orang. TPA kita perlukan. Karena itu, mutlaklah untuk mengelola TPA dengan baik. Teknik sanitary landfill sudah ada. Para ahli teknik lingkungan tentulah tahu caranya. Jadi tidak sulit untuk memperbaiki teknik yang sekarang digunakan di Leuwigajah dan di TPA lain. Masalahnya ialah untuk mengatasi ketidakpedulian pemda terhadap ketidaksehatan, ketidaknyamanan, dan ketidakamanan TPA serta membangkitkan kemauan dan kesediaan pemda untuk menyediakan anggaran belanja yang wajar. Untuk mengatasi kendala besar ini disarankan agar pemda mempelajari potensi penggunaan TPA sebagai sebuah projek Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) (Clean Development Mechanism (CDM)) dalam kerangka Protokol Kyoto. Cara ini sebenarnya telah saya kemukakan berulangkali, antara lain, pada waktu percekcokan antara Pemda Bekasi dan DKI memuncak tentang TPA Bantargebang. Tetapi, tak ada yang memerhatikannya.

Protokol Kyoto ialah sebuah persetujuan internasional untuk implementasi konvensi tentang Pemanasan Global. Protokol Kyoto menyetujui bahwa negara maju, yaitu negara yang disebut dalam daftar Annex I, diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). GRK terpenting ialah CO2. Pengurangan emisi CO2 ini dapat dilakukan dengan bekerja sama (jointly) dengan negara sedang berkembang (negara non-Annex I). Caranya ialah dengan jual beli emisi CO2. Secara umum disebut perdagangan emisi. Dalam hal Protokol Kyoto disebut perdagangan karbon, karena penurunan emisi itu menyangkut CO2 yang mengandung unsur karbon. Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi CO2 dapat berusaha untuk menurunkan emisi tersebut. Jumlah penuruan itu lalu dijual kepada negara Annex I. Karena ini soal jual-beli, tentu negara Annex I mencari negara yang mau menjual pengurangan emisi CO2-nya dengan harga yang murah. Terjadilah persaingan antara negara non-Annex I untuk menjual pengurangan emisi CO2. Penjual haruslah jeli melihat siapa pembeli potensialnya dan harga berapa yang dia bersedia membayarnya. Mekanisme jual beli inilah yang disebut Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) seperti tertera di atas.

GRK yang utama ialah CO2. Karena itu, GRK lainnya dihitung dalam ekivalensi CO2. Salah satu GRK lain ialah gas metan (CH4). Potensi pemanasan global metan hampir 25 kali CO2. Jadi satu molekul metan adalah ekivalen dengan 25 molekul CO2. Angka ini masih sering diperdebatkan. Untuk keperluan ilustrasi dalam artikel ini digunakan ekivalensi 25.

Metan adalah gas yang mudah terbakar dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Metan merupakan hasil fermentasi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen). Karena itu sering disebut biogas. Dalam TPA pun dihasilkan metan melalui proses fermentasi ini. Pada waktu metan dibakar terjadilah satu molekul CO2 dari satu molekul air. Setelah pembakaran, yang diemisikan ke udara bukan metan melainkan CO2. Karena potensi pemanasan global satu molekul metan adalah ekivalen dengan 25 molekul CO2, dalam pembakaran itu potensi pemanasan global diturunkan menjadi seperduapuluhlimanya (1/25). Penurunan potensi pemanasan global ini dapat dijual melalui projek MPB di pasar global dengan menghasilkan devisa. Yang diperjualbelikan bukanlah jumlah molekulnya, melainkan potensi pemanasan globalnya. Satu ton karbon metan adalah ekivalen dengan 25 ton karbon CO2.

Dengan keterangan singkat ini dapatlah TPA kita kelola agar menghasilkan metan semaksimum mungkin dengan membuat lapisan sampah kedap udara agar tidak ada oksigen. Ini dapat tercapai dengan membuang sampah berlapis-lapis dan dipadatkan. Setiap lapisan sampah yang dipadatkan ditutup dengan selapisan tanah yang dipadatkan pula. Metan yang terbentuk disadap dan dikumpulkan. Metan yang terkumpul digunakan sebagai bahan bakar. Teknologi TPA ini sudah tersedia. Pada hakikatnya teknologi ini adalah sebuah modifikasi sanitary landfill.

Dengan penggunaan TPA sebagai sebuah projek MPB kita dapatkan beberapa keuntungan. Pertama, menghasilkan devisa dari penjualan penurunan potensi pemanasan global. Kedua, terjadi pengelolaan TPA yang aman dan sehat. Ketiga, penduduk lokal mendapatkan bahan bakar untuk keperluan rumah tangga dan usaha rumah tangga.

Sudah barang tentu perdagangan karbon internasional tidaklah mudah karena adanya persaingan global. Kita sudah terlambat. Meskipun Protokol Kyoto sebenarnya baru berlaku tanggal 1 Febriuari 2005 yang lalu, tetapi jual-beli karbon sudah ramai. Banyak negara yang telah melakukannya. Misalnya, negara-negara Eropa Timur, Cina, dan India.

Diberitakan bahwa Rumania telah menjual karbon kepada Belanda senilai jutaan euro yang mencakup pula TPA. Jadi kita harus berjuang keras untuk mendapatkan pangsa pasar. Kesempatan belumlah tertutup. Kita telah meratifikasi Protokol Kyoto. Belanda telah menyatakan berminat membeli projek MPB Indonesia.

Dari semula haruslah diwaspadai agar usaha baru ini tidak menjadi sumber KKN baru. Haruslah diusahakan pula agar masyarakat setempat dapat mendapat manfaat yang layak dari MPB ini, yaitu sebagian dari devisa serta bahan bakar metan untuk memasak dan industri rumah tangga. Karena ini masalah dagang, para birokrat tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Haruslah dilibatkan dunia bisnis. Ini pun harus diwaspadai agar projek MPB TPA itu tidak dicaplok oleh para usahawan dengan hanya memberi keuntungan marginal kepada peduduk lokal.

Langkah pertama tentulah untuk menghitung apakah MPB TPA ini layak ekonomi. Terus terang sebagai seorang awam dalam dunia usaha saya tidak mengetahuinya. Tetapi kenyataan bahwa ada jual beli karbon dari TPA menunjukkan adanya potensi yang cukup baik. Mudah-mudahan sebagai sumbangsih untuk meringankan beban penduduk yang menderita musibah sangat besar itu, badan seperti Lions Club dan Rotary Club yang punya anggota usahawan dan/atau Kadin mau menjadi relawan membantu pengembangan perdagangan karbon dengan MPB TPA.

OTTO SOEMARWOTO, Penulis adalah Guru Besar Emeritus Lingkungan Hidup Unpad.

Post Date : 09 Maret 2005