TPST Bojong Langgar Perda Bogor No 17/2000

Sumber:Media Indonesia - 25 Nopember 2004
Kategori:Sampah Jakarta
JAKARTA (Media): Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Ornop) menolak peruntukan kawasan Bojong sebagai lokasi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Sesuai dengan Perda Kabupaten Bogor No 17/2000 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah, Bojong ditetapkan sebagai area pariwisata.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Slamet Daroyni mengatakan hal itu kepada wartawan, kemarin.

Koalisi Ornop yang tergabung dalam Solidaritas untuk Warga Bojong itu, di antaranya Walhi, YLBHI, PBHI, Kontras, serta Imparsial.

Menurut Slamet, ketidakkonsistenan pemkab tersebut mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat sesuai dengan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Terlebih pada kasus itu, ruang konsultasi publik ditutup dalam perumusan penggunaan lahan," terangnya.

Keberadaan TPST yang terletak di dalam areal permukiman warga tersebut, katanya, berpotensi mencemari lingkungan hidup, baik terhadap tanah, kualitas air minum warga, hingga pencemaran udara yang dapat mengganggu kesehatan publik.

Menurut dia, terjadi perubahan jenis teknologi pengelolaan sampah seperti yang tercakup dalam Amdal yang menyatakan pada awalnya akan memakai sanitary landfill menjadi incenerator, perlu dikritisi.

"Karena teknologi itu sudah tidak dipergunakan oleh negara asalnya, sampah yang dibakar itu akan menghasilkan gas dioksin yang menjadi pencetus kanker," terangnya.

KLH jadi mediator

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar kepada wartawan mengatakan, pihaknya siap menjadi mediator dalam perundingan antarpihak yang berseberangan pada kasus TPST Bojong. Selain itu, Kementerian LH juga akan segera melakukan audit lingkungan serta teknologi terhadap keberadaan TPST tersebut.

Lebih jauh, Rachmat menilai terjadi proses sosialisasi yang terputus mengenai TPST itu kepada warga sekitar. "Harus terjadi sosialisasi yang intensif pada publik secara baik-baik dan perlahan serta damai," ujarnya. Sebab, lanjutnya, tahap konsultasi publik merupakan upaya akomodasi semua kepentingan guna mencegah titik rawan konflik.

Terkait dengan persoalan izin operasi dan perangkat Amdal yang harus dipenuhi pihak industri, katanya, akan kembali ditinjau. Meskipun demikian, dari hasil laporan yang diketahuinya semua kelengkapan dokumentasi tersebut telah dipenuhi. "Kita akan segera kembali mempelajari, agar masalah ini dapat cepat terselesaikan," ujar Rachmat.

Pada kesempatan itu, Rachmat berharap agar terdapat itikad kuat yang baik dari semua yang terlibat untuk menuntaskan kasus Bojong. "Hal ini kan bisa dirundingkan, ada banyak cara yang dapat dipakai," sebutnya. Termasuk memberikan kompensasi atas ganti rugi yang dirasakan warga, penghentian operasi, maupun upaya relokasi.

Problem persoalan penggunaan tata ruang, sambung Rachmat, terkait dengan dampak ekologi yang terjadi akibat penggunaan lahan bagi aktivitas tertentu. Namun demikian, dia berjanji akan segera melakukan evaluasi atas semua perizinan dokumen Amdal. "Kita akan lihat kondisi aktual, bisa saja Amdalnya sudah tidak up to date," tuturnya.

Sementara itu, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPLH-LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) melihat kasus Bojong seperti sebuah puncak gunung es dalam masalah pengelolaan sampah di Indonesia.

"Konflik kekerasan yang terjadi di TPST Bojong, pada dasarnya merupakan puncak pertarungan kepentingan untuk memperoleh kualitas lingkungan yang bersih," kata Soeryo Adiwibowo, Direktur PPLH-LPPM IPB di Bogor, kemarin.

Pernyataan itu disampaikan khusus kepada wartawan berdasarkan kajian PPLH-LPPM IPB atas masalah di TPST Bojong. Menurut dia, pertarungan kepentingan yang bermuara pada konflik kekerasan itu berakar pada sejumlah persoalan mendasar bahwa pengelolaan sampah di DKI Jakarta, dan juga kota-kota besar lainnya, masih bertumpu pada paradigma lama.

Pengelolaan sampah sekarang ini, katanya, pada dasarnya baru dilakukan di hilir, TPA atau TPST, yakni dari sumber penghasil sampah (rumah tangga, kantor, industri, pasar dan lainnya), di mana sampah hanya mengalami proses pemindahan dan pengangkutan dari titik ke titik yang lain.

"Tidak ada pemilahan dan sortasi, mulai dari hulu sumber penghasil sampah oleh semua pihak secara bersungguh-sungguh dan konsisten dari waktu ke waktu," katanya. (YD/Ant/J-2)

Post Date : 25 November 2004