Tuntutan Keadilan Iklim Menguat

Sumber:Kompas - 03 Desember 2007
Kategori:Climate
Nusa Dua, Kompas - Kalangan masyarakat sipil yang tergabung dalam Civil Society Forum atau CSF menuntut adanya tata dunia yang lebih adil dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Tanpa penyelesaian terhadap ketidakadilan global, perubahan iklim hanya akan menambah beban miliaran warga miskin.

Desakan itu mengemuka dalam pertemuan non-governmental organization (NGO) menjelang konvensi di Nusa Dua, Sabtu dan Minggu (1-2/12). Pertemuan yang diprakarsai oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) itu diikuti oleh 60 NGO dan 100-an warga masyarakat lokal dampingan.

Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad mengatakan, selama ini negara-negara maju di Utara menerapkan standar ganda dalam model pembangunan global yang mereka jalankan, yaitu di satu sisi mendorong isu pemeliharaan lingkungan, tetapi di sisi lain mempertahankan pasokan bahan mentah murah yang menghancurkan wilayah sosioekologis penting di negara-negara Selatan.

Bagi negara Selatan, model pembangunan global ini lebih banyak menyumbangkan kemiskinan. Masyarakat di Selatan bergelut dengan berbagai krisis sosial-ekologis, rusaknya lingkungan, disintegrasi sosial, dan menghilangnya akses pada sumber kehidupan. Kelaparan, malanutrisi, bencana alam, kemiskinan adalah potret sehari-hari warga Selatan, sementara pemerintah negara Selatan sibuk memenuhi kuota kebutuhan konsumsi negara Utara, membayar utang, dan memberikan remah pembangunan bagi warganya

Pola konsumsi energi yang boros dan polutif dari negara-negara Utara ini, menurut Chalid, secara historis merupakan penyebab utama pemanasan global.

Perdagangan karbon

Dalam Kertas Posisi Masyarakat Sipil Indonesia, yang disusun CSF, upaya untuk mengatasi dampak pemanasan global telah tersesat dalam model transaksi ekonomi dan politik yang tidak akan mengatasi realitas penderitaan warga dunia. Solusi tawaran dalam skenario UNFCCC maupun yang disodorkan sukarela lewat kesepakatan bilateral intinya tetap dalam kerangka bisnis.

Penyelesaian berupa transfer teknologi serta pengaturan kembali ruang hutan diyakini para perunding mampu mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Lebih jauh dari itu, pasar dipercaya sebagai mekanisme utama dalam melakukan tindakan mengatasi perubahan iklim.

"Ini membuktikan bahwa sinyal perubahan iklim tidak cukup kuat mengubah cara pandang para pemimpin dunia dalam mengurus Bumi," kata Chalid.

Dalam pertemuan kemarin, yang dihadiri sedikitnya delapan kelompok NGO internasional, seperti Oil Watch, Friends of the Earth International, dan Jubilee 2000, dirumuskan model-model intervensi yang akan dilakukan untuk menyeimbangkan model arus utama yang berfokus pada perdagangan karbon.

Subsidi masyarakat lokal

Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, melihat model perdagangan karbon merupakan gambaran dari subsidi masyarakat lokal untuk gaya hidup di negara-negara maju.

"Tampaknya perundingan itu hanya melihat nilai karbon yang di atas kertas sangat tinggi, tetapi tidak mempertimbangkan bagaimana nasib masyarakat lokal yang akan mengalami tekanan lebih keras dari mekanisme ini," ujarnya.

Pembatasan penggunaan energi untuk pembangunan di negara berkembang, kata Hendri, juga merupakan bagian dari seluruh skenario ini. "Kita harus melakukan konversi energi dan macam-macam untuk mengamankan konsumsi negara maju," kata Hendri menambahkan.

Berkaitan dengan penyelenggaraan konferensi, penjagaan mulai ketat. Di sekeliling Bali International Convention Center (BICC) dan The Westin Resort di Nusa Dua, tempat penyelenggaraan konferensi, sebanyak 87 anggota satuan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai bertugas. Pihak Indonesia sendiri mengerahkan sekitar 6.000 polisi.

Senin pagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berkeliling di kawasan Nusa Dua, tetapi menurut rencana tidak singgah di BICC. Presiden baru akan hadir pada pertemuan tingkat tinggi para menteri pada tanggal 12 Desember 2007. (AIK/MH/OKI/ANS/AYS/ONG)



Post Date : 03 Desember 2007